Tanjung Puting- Tanah Para Kera Besar

Kera besar atau dalam bahasa Inggris 'great ape' selalu menarik perhatian saya. Entah karena tampilan, kenakalan atau kelucuannya. Atau mungkin alam bawah sadar saya mengatakan karena mahluk ini sangat mirip dengan manusia dalam banyak hal. Sangat dekat sebab secara genetik hanya memiliki perbedaan dari kita 1,6%. Kecerdikan mereka mendekati kepandaian manusia. Kita beruntung karena salah satu anggota kera besar hidup di Indonesia. Gorilla, simpanse dan bonobo semuanya di Afrika. Orang utan, kita menamakannya. Hidup di hutan-hutan Pulau Kalimantan dan Sumatera. Banyak tempat untuk melihat orang utan, termasuk hampir di seluruh kebun binatang dan taman safari. Tapi bagi saya, sejauh ini, tempat terbaik untuk menemuinya adalah Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.

Orang utan, penghuni pepohonan di hutan-hutan Pulau Kalimantan
Udara terasa panas dan lembab saat saya berjalan menuju lokasi pemberian makan orang utan. Semak belukar paku-pakuan menutupi permukaan tanah pada tempat-tempat terbuka. Singkapan berwarna putih dan berpasir, menandakan tanah miskin nutrisi. Memasuki naungan pepohonan, udara berubah teduh namun tetap lembab. Kini tanah terlapis oleh serasah daun-daunan diselingi karpet lumut. Tampak pada beberapa tempat tumbuhan kantung semar muncul, memanfaatkan situasi ini, menunggu serangga lengah jatuh ke dalam jebakannya. Pohon-pohon berdiri tegak lurus ke atas ibarat tiang-tiang, berukuran tidak terlalu besar dan tidak terlalu rapat. Ini adalah hutan kerangas. Meskipun tidak sekaya hutan tropis dataran rendah lainnya, namun tetap merupakan habitat favorit orang utan di Tanjung Puting. Pada bagian lain, sungai hitam mengalir, menandakan kehadiran hutan rawa gambut. Sulit ditembus namun tersedia banyak makanan. Orang utan tahu hal tersebut dan jalur pepohonan mempermudah rawa gambut dijelajahi oleh mereka. 

Karena tinggal di hutan tropis seperti itu, orang utan adalah kera besar tersulit untuk dipelajari. Vegetasi lebat, bentang alam terjal atau berawa, cuaca lembab, hujan, banjir, hewan-hewan melata pengganggu atau satwa-satwa besar berbahaya; sering mengendorkan semangat para peneliti. Belum lagi orang utan itu sendiri sulit dideteksi karena pemalu dan pendiam, bisa berada di atas kita tanda disadari. Saya tidak berharap mengalami kesulitan seperti ini untuk bertemu orang utan di Tanjung Puting.   

Memiliki lengan kuat dan panjang, orang utan dengan mudah bergerak di tajuk-tajuk pohon.
Orang utan diperkirakan terpisah dari leluhurnya menjadi spesies baru sekitar 14 juta tahun lalu. Pada masa pertengahan epos miosen tersebut (sekitar 23,8-5,3 juta tahun yang lalu), kera-kera besar yang keluar dari tanah asal benua Afrika telah mencapai dan hidup di Asia. Para kera besar ini menyeberang melalui jembatan darat pada 20 juta tahun lalu, terbentuk antara benua Afrika dan Asia pada awal Miosen, saat iklim mendingin dan laut menyusut. Dalam buku Ancestor Tale, Richard Dawkin menyebutkan berdasarkan penemuan fosil, beberapa jenis kera besar berkeliaran di Asia seperti  Sivapithecus, Gigantophitecus,  Lufengphitecus,  Ouranophitecus dan Dryopithecus, dan salah satu dari mereka mungkin merupakan nenek moyang dari orang utan. Mereka menyebar ke wilayah yang luas hingga ke Himalaya dan bertahan hidup lama di hutan-hutan Asia Tenggara. Van Schaik dalam bukunya Among Orangutan, mengatakan hutan rimba luas dan tidak pernah terpisah-pisah sehingga mereka leluasa dalam bergerak di pepohonan dan aman dalam ketersediaan makanan, kemungkinan merupakan alasan para kera besar ini bertahan cukup lama. Namun dengan berjalannya waktu, kepunahan-kepunahan tidak dapat dihindari, kera besar terpojok di Pulau Sumatera dan Borneo. Ketika saya menyaksikan orang utan memanjat dan bergelantungan di pohon, terkadang perasaan bercampur aduk. Saya berhadapan dengan keturunan terakhir para kera besar Asia tersisa.   

Tatapan tajam orang utan jantan, mudah dikenali dari ukuran yang besar dan bantalan pipi yang melebar

Penduduk penghuni Pulau Sumatera dan Borneo sudah sejak lama mengenal saudara tua ini. Mereka memanggilnya orang utan, mawas, maias atau kahiyu, yaitu mahluk mirip manusia yang tinggal di hutan. Menurut van Schaik mungkin orang Eropa pertama yang pernah melihat orang utan adalah Marco Polo pada abad ke 13, saat menginjakkan kaki di Aceh. Informasi mengenai orang utan mulai mengalir  pada abad ke 17 dari para penjelajah maupun pekerja dari Eropa. Nama primata ini muncul ke permukaan ketika Alfred Russel Wallace menerbitkan buku penjelajahannya di Nusantara dengan judul : The Malay Archipelago: Land of Orang-Utan and Bird of Paradise.

Walaupun tampilannya mirip, tetapi sesungguhnya orang hutan penghuni Pulau Sumatera dan Borneo adalah dua jenis berbeda. Analisi genetik membuktikan, Pongo abelli tinggal di Sumatera dan Pongo pygmaeus menghuni Borneo, terpisah sejak 400.000 tahun yang lalu.  Orang utan Sumatera umumnya memiliki warna rambut lebih terang, lebih tebal dan lebih panjang; wajah lebih terang dan berbentuk lancip; dibandingkan dengan saudaranya di Kalimantan. Ruang gerak orang utan Sumatera terkonsentrasi di bagian utara pulau sejak supervolcano Toba meletus, kemungkinan menyapu sebagian besar populasi di selatan.  Lain halnya di Borneo, Pegunungan Schwaner-Muller melintang di jantung pulau berakibat membatasi pergerakan orang utan dan akhirnya menciptakan variasi lebih banyak. Berdiri dihadapan saya sekarang di Tanjung Puting adalah subspesies Pongo pygmaeus wurmbii.  Berat badan sang betina rata-rata 45 kg, namun jantannya bisa sampai sebesar gorilla, 120 kg. Lengan panjang dan kekar dengan rentangan bisa mencapai 2 meter. Dia akan dengan mudah melemparkan saya. 

Dua orang utan asyik menyantap jatah pemberian makan di bekas Pusat Rehabilitasi Tanjung Harapan.

Waktunya makan! Seorang petugas menuangkan sekarung pisang pada dek panggung kayu. Pohon-pohon bergoyang, menandakan orang utan berdatangan. Mereka dengan segera menuju ke lokasi makan dan langsung menyantap buah tersebut. Mulutnya penuh tapi tangan tidak berhenti memasukkan pisang terus. Susu cair yang dituangkan ke ember atau baskom segera diseruput habis. Manakala buah-buahan sedang sulit didapat di hutan, tempat pemberian makan ini ramai oleh para orang utan. Tidak semua langsung mengerumuni jatah makanan ini. Biasanya di awal sekelompok orang utan tertentu menguasai meja makan. Lainnya menunggu, tidak berani mengusik. Mungkin ini merupakan kelompok dengan hirarki sosial tinggi atau paling kuat. Setelah puas dan pergi, baru orang utan lain berani menuju ke tempat makan untuk mengambil jatah berikutnya. 

Saat musim buah, sebagian orang utan memilih untuk mencari makan di tajuk-tajuk pohon. Mereka pemanjat handal, dengan mudah bergerak di antara pepohonan. Lengan panjang, tubuh lentur dan kaki yang bisa berfungsi seperti tangan merupakan bentuk adaptasi orang utan hidup di atas tanah. Gayanya santai dan tenang, tanpa ada gerakan meloncat, tanpa berakrobat. Bila ada jarak ke pohon berikutnya maka orang utan akan mengayun dan membengkokkan pohon yang ditumpangi dengan berat badannya untuk meraih pohon selanjutnya. Buah-buahan adalah sasaran utama dicari, makanan kesukaan. Namun daun, bunga, telur burung, madu, rayap dan kulit pohon masuk ke dalam menu terutama saat buah sulit dicari. Para peneliti mencatat setidaknya ada 400-500 jenis makanan orang utan.  

Hubungan anak orang utan dan induk sangat dekat dalam kurun waktu cukup lama hingga sang anak mandiri.
Diantara keramaian orang utan pada tempat pemberian makan, orang utan anak-anak dan remaja tidak pernah ketinggalan turut serta. Mereka selalu ditemani oleh induknya, para orang utan betina. Hubungan mereka sangat akrab. Rengekan manja anak bila diabaikan dan reaksi sang induk dengan menjemputnya, hampir tidak ada bedanya dengan reaksi ibu pada manusia. Jeritan anak orang utan ini mengundang perhatian para pengunjung. Seorang wisatawan wanita dari Indonesia meyeletuk, ' Aduh jadi ingat anak saya di rumah'. 

Para peneliti orang utan menemukan bahwa pada usia 6-8 tahun saat anak orang utan menginjak remaja, mulai melepaskan diri  dari induknya. Namun proses penyapihan ini memerlukan masa transisi. Van Schaik menuliskan baru pada umur 10-11 tahun mereka bisa benar-benar pergi meninggalkan induknya. Proses pendewasaan ini tergolong lama di dalam dunia mamalia. Orang utan betina tidak kawin dan melahirkan selama masa merawat anak tersebut. Jarak antara kelahiran yang panjang ini tidak menguntungkan buat suatu populasi. Orang utan menjadi rentan terhadap kepunahan.  Bila mendadak ada serang wabah penyakit, kebakaran hutan atau serang masif predator, kemungkinan habis satu generasi makin besar. 

Menginjak masa remaja, orang utan mulai berani bermain sendiri meskipun tetap dalam jangkauan pengawasan sang induk. 

Melihat orang utan jantan dominan bernama Kosasih atau generasi penerusnya Tom di tempat penelitian Camp Leakey, saya merasa kagum campur was-was. Takjub karena tidak menyangka orang utan bisa tumbuh sebesar itu. Mungkin bobotnya lebih dari 100 kg. Saya membayangkan bagaimana dia mengangkat tubuh seberat itu untuk  memanjat dan menjelajahi tajuk pepohonan. Dan tentu perasaan kawatir karena jantan satu ini sangat kuat. Dibalik sikapnya yang terlihat santai, tidak ada satu pun yang berani mengusik. Bila lewat semua menyingkir. Saya pernah menyaksikan Kosasih datang ke dek tempat pemberian makan. Semua orang utan lain memberi jalan. Ember plastik tebal tempat minum susu terbelah jadi dua, tidak mampu menahan bantalan pipi Kosasih. Setiap kali ke Camp Leakey selalu ada keinginan untuk bertemu sang jantan dominan, walaupun hanya berani mengamati dari jarak yang aman. 

Di dalam hutan, sesungguhnya orang utan adalah pengelana sendirian. Setelah lepas dari induknya, mereka mulai menjelajahi hutan. Beberapa hidup dalam kelompok kecil, umumnya induk dan anak-anaknya. Melalui kesempatan mungkin para orang utan penyendiri ini akan saling berjumpa, namun mereka jarang berkelahi kecuali para jantan yang memperebutkan betina untuk dikawini. Sifat penyendiri ini menurut para ilmuwan merupakan hasil evolusi merespons keterbatasan ketersediaan makanan akibat musim buah yang tidak pasti di Borneo. Dengan demikian tidaklah menguntungkan bila hidup berkelompok besar karena akan menimbulkan kompetisi dalam mencari makan.  Situasi berbeda di jumpai pada jenis orang utan Sumatera. Mereka lebih sosial dan hidup dalam kelompok ketika pohon-pohon berbuah secara bersamaan.  

Raut wajah dan cara memandang orang utan setidaknya menunjukkan bahwa mahluk ini cerdas

Sebagai anggota kera besar -bersama simpanse, bonobo dan gorilla- orang utan adalah mahluk cerdas. Kedekatan genetik dengan manusia tidak bisa dipungkiri lagi, banyak bukti akan kepintaran mahluk ini. Setiap hari orang utan membangun sarang di atas pohon untuk tidur. Mereka bisa membangun tempat tidur dari ranting dan daun-daunan kokoh dengan rancangan dasar sederhana namun efektif. Saat hujan orang utan mencari ranting berdaun lebat untuk dijadikan payung. Para orang utan peliharaan manusia, orang utan di pusat rehabilitasi atau orang utan di hutan rawa Suaq Belimbing Aceh-Sumatera, bahkan telah memanfaatkan alat untuk membantu mencari makan. Ranting panjang digunakan untuk mengaduk-ngaduk sarang rayap atau lebah madu, sementara batang kayu pendek dipakai membantu membuka buah-buah dengan lapisan luar keras. Saya pernah mengamati bagaimana seekor orang utan di Camp Leakey mengutik-utik kunci pintu dengan jarinya mencari cara membukanya. Atau juga mendengar kisah-kisah tentang kedekatan  orang utan dengan manusia perawatnya dan bisa cemburu bila pengasuhnya tersebut dengan dengan orang lain. 

Saya selalu ingat pengalaman dahulu saat pertama ke Tanjung Puting. Ketika itu saya dan satu keluarga wisatawan dari Amerika sedang berada di dermaga Tanjung Harapan. Kami sedikit disulitkan dengan orang utan menginjak remaja kala itu bernama Gistok. Dia tidak mau melepaskan pegangan tangannya ke salah satu wisatawan putri yang masih remaja. Langit sudah mendung gelap saat itu dan tiba-tiba dikejauhan kami melihat speedboat melaju kecepatan tinggi. Dibelakangnya tampak dengan jelas hujan mengejarnya dengan cepat. Kami langsung panik dan dalam hitungan detik berlarian ke perahu kelotok untuk berlindung dari hujan. Begitu meloncat ke kapal ternyata Gistok sudah ada di sana duluan. Dia mengambil keputusan lebih cepat dari kita semua.    

Sekelompok wisatawan sedang mengamati orang utan pada waktu pemberian makan.

Deretan bangku kayu berjajar menghadap panggung tempat pemberian makan di Camp Leakey mulai terisi wisatawan. Sebagian besar berasal dari manca negara. Mereka turun dari perahu-perahu kelotok khusus untuk wisata. Jam pemberian makan tiba, ditandai dengan munculnya petugas membawa buah-buahan dan susu. Para orang utan menyusul kemudian. Para wisatawan berdiri, berebut menuju pagar pembatas. Kamera berbagai dari jenis dan merek keluar. Jepretan demi jepretan kamera tiada henti. Tanjung Puting telah menjelma menjadi destinasi wisata populer. Tiap tahun kunjungan  mengalami kenaikan terus. Meskipun untuk menuju ke sana harus ditempuh dengan menggunakan perahu memakan waktu hingga satu sampai dua hari, namun ini tidak mengurangi minat orang untuk datang. Sekitar 14.000 pengunjung datang untuk melihat orang utan pada tahun 2014. 

Situasi ini menurut saya tidaklah mengherankan, siapa yang tidak tertarik untuk datang ke sini. Bagi saya Tanjung Puting adalah tempat terbaik untuk melihat orang utan di dunia. Hanya satu jam terbang terbang dari Jakarta ke Pangkalan Bun dilanjutkan 20 menit menggunakan mobil ke Kumai sebelum naik ke perahu kelotok. Dari sini pengalaman luar biasa dimulai selama 3 atau 4 hari. Tinggal di perahu, menembus hutan dengan menyusuri alur-alur sungai hitam jernih, bermalam di bawah ribuan bintang, mengamati monyet bekantan di tepian sungai pada pagi dan sore hari, dan tentu puncaknya bertemu para orang utan. Jangan berpikir akan sengsara tinggal di perahu kelotok. Malah sebaliknya sangat nyaman sekali. Pelayanan yang diberikan sangat prima baik itu dalam hal kenyamanan, makanan maupun informasi. 

Pagi hari di perahu kelotok, berjalan perlahan membelah aliran sungai hitam jernih.

Popularitas Tanjung Puting tidak bisa terlepas dari jasa seorang wanita asal Kanada kelahiran Jerman, Birute Galdikas. Dia tiba di Tanjung Puting pada tahun 1971 untuk menjadi orang pertama meneliti orang utan. Pada waktu itu wilayah ini adalah tempat terpencil dan sulit ditembus. Dia harus mengatasi kehidupan di hutan yang tidak mudah dengan ancaman dari buaya yang ganas, ular-ular berbisa, ular sanca siap membelit, beruang madu yang temperamen, babi berjanggut bertaring tajam dan macan dahan yang dapat muncul mendadak. Obyek pengamatannya pun yaitu orang utan juga tidak mudah ditemui hingga berbulan-bulan. Namun dia tidak menyerah dan kawasan ini menjadi tempat tinggalnya selama tiga dekade kemudian. Lokasi penelitiannya dia namakan Camp Leakey dan kini menjadi tempat utama melihat orang utan selain di Tanjung Harapan dan Pondok Tanggui. Birute sendiri akhirnya dikenal sebagai satu dari tiga angels peneliti kera besar, disamping Jane Goodal dengan simpansenya dan Dian Fossey dengan gorilla. 

Birute kemudian mendirikan pusat rehabilitasi untuk merawat orang utan sitaan dari para kolektor agar dapat dilepas liarkan kembali ke habitat aslinya. Orang-orang utan semi-liar inilah yang sebenarnya saya lihat selama di Tanjung Puting. Pembukaan pusat rehabitasi untuk kegiatan wisata banyak mengundang kritik dari para peneliti orang utan lainnya. Tetapi dia berargumen bahwa hal ini untuk kepentingan kesadaran publik yang lebih luas akan pentingnya orang utan. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapatnya. Ketika bertemu dengan orang utan langsung di habitatnya sangat berbeda dengan di kebun binatang. Melihatnya keterampilannya memanjat, pindah satu pohon ke pohon lain, kedekatan anak dan induk, menatap matanya langsung, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang diistilahkan oleh Galdikas sebagai pengalaman spritual. Tanpa perlu banyak dikuliahi, kita akan paham mengapa harus menghargai mahluk ini. Bagaimana bisa mengharap  banyak orang mau mendukung perlindungan orang utan jika hanya para peneliti yang diperbolehkan merasakan aura keagungan dari binatang ini. Dan aura ini hanya bisa dirasakan ketika kita mengunjungi tempat tinggalnya. 

Permainan warna cahaya yang langka pada langit berawan di Tanjung Puting

Saya pertama kali mengunjungi Tanjung Puting pada pertengahan tahun 1990-an. Ketika itu perahu kelotok wisata bisa dihitung dengan jari dan Sungai Sekonyer terasa lebar. Perairan di depan Rimba Lodge  jernih dan buaya muara sesekali tampak berjemur pada batang kayu di Sungai Sekonyer Kanan. Saya merasakan bermain air dan berenang dengan tenang di sungai depan Camp Leakey. Penambangan emas tradisional di Aspai sudah ada pada masa tersebut, mencemari bagian hulu sungai. Setelah itu ada jeda waktu lama hingga mulai mengunjungi lagi pada tahun 2012. Total sudah empat kali saya ke sana. Tentu banyak perubahan terjadi. Menggembirakan karena bekantan masih banyak, demikian juga dengan orang utan. Tapi ada yang mengkawatirkan. Sungai Senyoker makin keruh dan sempit. Mungkin karena sedimentasi karena kegiatan penambangan ditambah pembalakan kayu liar yang marak di akhir tahun 1990an. Akibatnya para buaya terdesak dan masuk ke anak-anak sungai yang masih jernih. Kini Sungai Sekonyer Kanan bukan tempat aman untuk berenang karena banyak buaya. Fenomena terbaru adalah kehadiran enceng gondok mulai menutupi permukaan Sungai Sekonyer, mempersulit laju perahu. Tumbuhan air ini melimpah sejak dibukanya perkebunan kelapa sawit di dekat Sungai Sekonyer. Pemandangan sungai jernih sudah hilang di sini. 

Perkembangan pariwisata juga menggelisahkan. Memang benar  kegiatan ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana kampanye dan menggalang dukungan untuk pelestarian orang utan. Pariwisata juga memberikan manfaat besar bagi masyarakat lokal yang sebagian besar ikut terlibat dalam usaha ini. Tetapi lihatlah Tanjung Puting saat puncak musim kunjungan atau ketika kapal pesiar besar tiba di Kumai membawa ribuan wisatawan. Dermaga di Camp Leakey dan Pondok Tanggui penuh sesak.  Bahkan kemacetan dijumpai di Sekonyer Kanan karena dipenuhi oleh 60-70 perahu kelotok. Ini sudah berlebihan. Belum lagi sampah yang dihasilkan dan cairan sabun dari cucian piring atau aktifitas menyikat perahu, masuk bebas ke sungai. Para orang utan pun pasti akan merasa terganggu bila jumlah manusia yang mendatangi rumah mereka terlalu banyak. Jika dibiarkan seperti ini terus, pada akhirnya pariwisata akan berbalik menghancurkan tempat ini. 

50.000 orang utan tersisa di Borneo dan Tanjung Puting adalah salah satu benteng pertahanan terbesar. Ketika mamalia besar mengalami kepunahan akibat manusia pada masa pleistosen, orang utan mampu bertahan. Tapi sekarang kerusakan habitat karena konversi lahan dan kebakaran hutan, terus berlangsung, belum menunjukkan tanda-tanda menurun. Dapatkan orang utan bertahan? Seriuskan kita mau berbagi ruang dengan kerabat terakhir di Asia ini? Apakah   kita mengakui bahwa orang utan kerabat kita ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi pikiran saya, sambil mengingat tatapan mata sang orang utan yang tidak bisa dilupakan.  



Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Sisi Lain Gunung Bromo (Bagian 2)