Wakatobi (bagian 3)-Kaledupa, Tanah Subur Wakatobi
Lautan adalah saudara ku
-Suku Bajo-
Alunan kapal kayu membelah lautan dengan lembut. Angin segar menerpa wajah saya dengan beberapa penumpang lain. Kami melewati deretan rumah-rumah panggung, seolah timbul dari laut. Kampung Sama Bahari, rumah orang-orang 'Sama'. Tidak jauh dari situ tampak pulau kecil dipagari deretan pohon-pohon cemara laut dan pantai berwarna biru muda cerah. Di seberang pulau tersebut terlihat dermaga beton, menjorok dari daratan lebih lebih luas. Sosok-sosok tubuh berdatangan siap menyambut kapal di Pelabuhan Ambeua. Tanda saya sudah tiba di pulau kedua dari singkatan kata Wakatobi, yaitu Kaledupa. Untuk kesekian kalinya saya menjejakkan kaki di tempat menyenangkan ini.
Laut bening dan indah ketika musim teduh mengelilingi Pulau Hoga
Mungkin di antara semua pulau, tempat ini yang paling saya kenal. Di sekretariat organisasi lokal Forkani, letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Ambeua, saya bisa duduk berjam-jam, diskusi dengan Beloro (dia adalah tokoh masyarakat) dan teman-temannya. Bila cuaca teduh, bersepeda motor menjelajahi pulau, menengok ke Pajam, Montigola atau Sombano, adalah kegiatan rutin yang tidak bisa dilewatkan. Jalan aspal terhampar mengitari pesisir dan memotong perbukitan di bagian tengah dari pulau berwujud agak langsing memanjang arah tenggara-barat laut seluas kira-kira 104 km2. Daerah selatan lebih sulit dijangkau, jalan masih terbatas. Termasuk pulau-pulau satelit di sekitarnya. Paling besar adalah Lentea, hampir menempel ke pulau utama, diikuti Derawa di sebelahnya. Satu lagi terdapat di utara, muncul tidak jauh dari daratan utama, Pulau Hoga nan cantik. Pada beberapa lokasi, lapisan tanah masih bisa ditemukan, di antara dominasi batu karang. Ketika musim hujan, terbentuk aliran-aliran air sementara pada tempat-tempat tertentu. Tanah dan curah hujan ini merupakan media tepat bagi pertumbuhan pepohonan, lebat menutupi Kaledupa.
Tetapi laut adalah tetap dominan. Selepas dari pantai sisi barat pulau, dari karang-karang tepi, sebelum memasuki Laut Banda, berdiri kokoh karang atol, diberi nama sama, yaitu Karang Kaledupa. Atol memanjang sejajar pulau sejauh kurang lebih 48 km. Ketika penerbangan dari Makassar langsung ke Wangi Wangi masih ada, saya bisa menyaksikan bentuknya. Lingkaran tidak beraturan langsing memanjang dan tidak simetris. Di sinilah sumber bagi kehidupan. Bagi ikan, biota laut, dan tentu manusia. Malam hari dari puncak perbukitan, nampak atol terbesar di Wakatobi ini terang dipenuhi lampu-lampu dari para penangkap ikan dan biota laut. Seperti pasar malam di tengah laut.
Tetapi laut adalah tetap dominan. Selepas dari pantai sisi barat pulau, dari karang-karang tepi, sebelum memasuki Laut Banda, berdiri kokoh karang atol, diberi nama sama, yaitu Karang Kaledupa. Atol memanjang sejajar pulau sejauh kurang lebih 48 km. Ketika penerbangan dari Makassar langsung ke Wangi Wangi masih ada, saya bisa menyaksikan bentuknya. Lingkaran tidak beraturan langsing memanjang dan tidak simetris. Di sinilah sumber bagi kehidupan. Bagi ikan, biota laut, dan tentu manusia. Malam hari dari puncak perbukitan, nampak atol terbesar di Wakatobi ini terang dipenuhi lampu-lampu dari para penangkap ikan dan biota laut. Seperti pasar malam di tengah laut.
Perkampungan Suku Bajo 'Sama Bahari' dibangun di atas karang terpisah dari daratan utama
Batuan karang dimana-mana. Seperti itulah semua pulau di Wakatobi. Ada yang terendam air, ada yang timbul ke permukaan. Waktu berjalan dan kehidupan berevolusi. Karang di bawah air berubah menjadi terumbu karang, hunian bagi beragam ikan dan biota laut. Vegetasi secara perlahan menginvasi karang di atas permukaan air dan lama kelamaan melapisi daratan. Ketika sumber daya alam mulai mendukung, manusia mulai datang untuk menetap dengan alasan berbeda-beda.
Tidak banyak catatan tertulis mengenai sejarah kedatangan manusia ke pulau ini. Dalam buku Etnografi Suku-suku di Wakatobi, Ali Hadara menyebutkan kisah rakyat mengatakan bahwa Masyarakat Kaledupa berasal dari keturunan 2 keluarga, merupakan manusia pertama penghuni Kaledupa, yaitu Sangia Yiperopa dan Sangia Yigola. Menyusul kemudian sekelompok orang datang dari Buton datang melalui Kapala Nupasi (ujung barat atol). Nama Kaledupa itu sendiri tidak bisa terlepas dari legenda perjalanan La Patua. Datang dari Cina mengunakan kapal besar, tokoh ini menjelajahi kepulauan Wakatobi dari selatan mulai dari Binongko, Tomia, Kaledupa hingga Wangi Wangi (Hamid, 2016). Dalam perjalanannya dia bertemu dengan seorang Puteri Bidadari. Keempat pulau besar tersebut merepresentasikan tubuh Sang Puteri. Kaledupa merupakan bagian perut. Ketika tiba di suatu pulau, La Patua melihat asap putih membawa bau harum keluar dari pusar Sang Puteri. Dari kejadian ini, pulau tersebut dinamakan kahedhupa, dari kata kahe (tanah), dan dhupa (bau harum), bermakna tanah yang harum.
Gelombang kedatangan dari daerah berbeda-beda pada akhirnya menyebabkan Kaledupa saat ini memiliki dua suku berbeda. Orang Pulo atau disebut suku Wakatobi menempati daratan, dan Orang Sama atau Suku Bajo, tinggal di lepas pantai.
Gelombang kedatangan dari daerah berbeda-beda pada akhirnya menyebabkan Kaledupa saat ini memiliki dua suku berbeda. Orang Pulo atau disebut suku Wakatobi menempati daratan, dan Orang Sama atau Suku Bajo, tinggal di lepas pantai.
Rumah-rumah kayu tradisional dengan struktur panggung umum dijumpai di Kaledupa
Menyusuri jalan aspal di daerah Horua ada pemandangan saya sukai. Deretan rumah-rumah penduduk dari kayu berstruktur panggung, halaman depan lebar dan tersedia cukup ruang dengan rumah sebelahnya. Memberi kesan suasana pedesaan asli. Tidak hanya di sini saja, Palea, Jamaraka dan pada tempat-tempat lain di Kaledupa keadaannya sama. Rumah-rumah ini umumnya berbaris rapi di sepanjang jalan, beberapa mendirikan pagar dari kayu sebagai pembatas. Bagian bawah rumah digunakan untuk menyimpan barang, dan penghuni tinggal di atas. Bagian atas ini bisa dinaiki dari tangga di bagian depan rumah. Dalamnya adalah ruangan yang cukup lega, terbagi dalam 3 bagian yaitu ruang tamu di depan, ruang keluarga di tengah dengan kamar-kamar di samping, dan terakhir dapur serta kamar mandi di bagian belakang. Teras lumayan lebar ada di depan dan juga terkadang di samping rumah.
Saya selalu memilih menginap di rumah-rumah ini. Sederhana tapi nyaman. Masih banyak kampung-kampung memiliki rumah-rumah panggung. Dengan sedikit sentuhan untuk menyempurnaan interior, saluran pembuangan dan penataan halaman, maka kenyamanan tidak akan kalah dengan rumah-rumah modern. Tetapi rumah-rumah tembok sudah mulai nampak di sana sini. Akankah rumah kayu panggung bertahan? Tentu saja, selama rumah tembok tidak dianggap sebagai simbol kesejahteraan. Sayang tidak semua berpikiran seperti itu. Namun setidaknya saat ini mereka dapat tinggal dengan tenang di daerah pesisir. Sesuatu yang tidak ditemukan oleh para pemukim awal di Wakatobi.
Saya menikmati panorama tersebut bukan dari lahan kosong atau daerah hutan. Saya mengamatinya dari tempat bernama Pajam atau kepanjangan dari Palea-Jamaraka, nama dua kampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa kedua kampung ini dibangun terpisah di sini, bukan di pesisir seperti yang lainnya. Tidak kah hidup di pesisir lebih nyaman karena kemudahan akses terhadap berbagai fasilitas dan hubungan dengan dunia luar. Lalu saya berpikir, pada empat pulau besar di Wakatobi selalu ditemukan reruntuhan tembok-tembok sisa perbentengan di perbukitan. Seolah sistem pertahanan ini dibangun untuk menghadapi serangan dari pihak-pihak lain. Tentu, kata masyarakat, untuk menghindari serbuan dari laut. Tetapi serangan dari siapa dan apa yang diinginkan pihak musuh tersebut?
Abd. Rahmad Hamid (2016) dalam tulisannya tentang Pulau Binongko (satu dari 4 pulau besar Wakatobi) mencoba menjelaskan situasi ini dan mungkin hal yang sama berlaku juga di pulau lain termasuk Kaledupa. Pada awalnya daerah hunian ada di pesisir. Tetapi rupanya Wakatobi secara rutin sering didatangi kapal bajak laut. Para perompak dari timur ini sering menjarah daerah-daerah pada tepi pantai. Satu-satunya jalan untuk menghindari gangguan tersebut, para penghuni pulau pun naik keperbukitan membangun benteng pertahanan. Posisi ketinggian memberikan keuntungan. Mereka lebih mudah memantau kedatangan tamu tidak diundang, dan memberi posisi kuat dalam pertempuran. Pada awal 1960an, seiring dengan isu keamanan terkait pemberontakan DI/TII, pihak pemerintah melakukan relokasi kampung-kampung di perbukitan ke daerah pesisir. Hal ini agar memudahkan memantauan pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di masyarakat. Satu per satu pemukiman 'di pesisirkan' dan Pajam adalah kampung di perbukitan tersisa dan bertahan hingga kini.
Memandang ke batas horison saya membayangkan masa lalu ketika suatu kapal perompak sedang mendarat. Hati saya berdebar-debar, apa yang hendak mereka cari? Air tawar? Budak? Atau harta penduduk? Cukupkah benda tersebut mereka rampas, karena ini adalah pulau karang kecil, tempat ruang bertahan hidup serba terbatas. Mungkinkah sumber daya alam yang ada bisa menunjang kehidupan penghuninya?
Saya selalu memilih menginap di rumah-rumah ini. Sederhana tapi nyaman. Masih banyak kampung-kampung memiliki rumah-rumah panggung. Dengan sedikit sentuhan untuk menyempurnaan interior, saluran pembuangan dan penataan halaman, maka kenyamanan tidak akan kalah dengan rumah-rumah modern. Tetapi rumah-rumah tembok sudah mulai nampak di sana sini. Akankah rumah kayu panggung bertahan? Tentu saja, selama rumah tembok tidak dianggap sebagai simbol kesejahteraan. Sayang tidak semua berpikiran seperti itu. Namun setidaknya saat ini mereka dapat tinggal dengan tenang di daerah pesisir. Sesuatu yang tidak ditemukan oleh para pemukim awal di Wakatobi.
Pemandangan lepas menakjubkan pada sore hari pada kampung di atas bukit, Palea-Jamaraka
Pada ketinggian ini, di puncak bukit, saya melihat hamparan hijau vegetasi menutupi daratan Kaledupa. Memanjang, menyambung dengar biru lautan di cakrawala. Semua terlihat indah dan jelas dari sini, termasuk kapal-kapal datang mendekati pantai. Mungkin ini adalah pemandangan yang sama dilihat orang para penghuni awal pulau-pulau di Wakatobi. Mengamati dari ketinggian bukan hanya untuk keelokan tetapi juga situasi menyangkut keamanan dan keselamatan mereka. Saya menikmati panorama tersebut bukan dari lahan kosong atau daerah hutan. Saya mengamatinya dari tempat bernama Pajam atau kepanjangan dari Palea-Jamaraka, nama dua kampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa kedua kampung ini dibangun terpisah di sini, bukan di pesisir seperti yang lainnya. Tidak kah hidup di pesisir lebih nyaman karena kemudahan akses terhadap berbagai fasilitas dan hubungan dengan dunia luar. Lalu saya berpikir, pada empat pulau besar di Wakatobi selalu ditemukan reruntuhan tembok-tembok sisa perbentengan di perbukitan. Seolah sistem pertahanan ini dibangun untuk menghadapi serangan dari pihak-pihak lain. Tentu, kata masyarakat, untuk menghindari serbuan dari laut. Tetapi serangan dari siapa dan apa yang diinginkan pihak musuh tersebut?
Abd. Rahmad Hamid (2016) dalam tulisannya tentang Pulau Binongko (satu dari 4 pulau besar Wakatobi) mencoba menjelaskan situasi ini dan mungkin hal yang sama berlaku juga di pulau lain termasuk Kaledupa. Pada awalnya daerah hunian ada di pesisir. Tetapi rupanya Wakatobi secara rutin sering didatangi kapal bajak laut. Para perompak dari timur ini sering menjarah daerah-daerah pada tepi pantai. Satu-satunya jalan untuk menghindari gangguan tersebut, para penghuni pulau pun naik keperbukitan membangun benteng pertahanan. Posisi ketinggian memberikan keuntungan. Mereka lebih mudah memantau kedatangan tamu tidak diundang, dan memberi posisi kuat dalam pertempuran. Pada awal 1960an, seiring dengan isu keamanan terkait pemberontakan DI/TII, pihak pemerintah melakukan relokasi kampung-kampung di perbukitan ke daerah pesisir. Hal ini agar memudahkan memantauan pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di masyarakat. Satu per satu pemukiman 'di pesisirkan' dan Pajam adalah kampung di perbukitan tersisa dan bertahan hingga kini.
Memandang ke batas horison saya membayangkan masa lalu ketika suatu kapal perompak sedang mendarat. Hati saya berdebar-debar, apa yang hendak mereka cari? Air tawar? Budak? Atau harta penduduk? Cukupkah benda tersebut mereka rampas, karena ini adalah pulau karang kecil, tempat ruang bertahan hidup serba terbatas. Mungkinkah sumber daya alam yang ada bisa menunjang kehidupan penghuninya?
Pengeringan hasil tangkapan gurita, salah satu biota laut utama di Kaledupa
Pemandangan benda-benda mirip gantungan baju berwarna kecoklatan berjajar bergelantungan dijemur di bawah sinar matahari sering saya jumpai di kampung-kampung, apalagi kalau berada di daerah Suku Bajo. Benda itu adalah gurita, salah satu tangkapan umum di Kaledupa, di antara berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Memang suku Bajo hidup dari mengandalkan ikan dan aneka biota laut sedangkan Orang Pulo, selain hasil laut, juga menggarap lahan di darat dengan ditanami ubi-ubian, jagung dan kelapa. Sebelum beras dapat didatangkan dari luar, pada masa lalu asupan karbohidrat penduduk diperoleh dari ubi-ubian. Mereka mengolahnya, terutama jenis ubi kayu, menjadi makanan khas. Diparut, diperas, dikeringkan kemudian dikukus dalam cetakan dibuat dari daun kelapa. Setelah selesai bentuknya kerucut, dikenal dengan nama kasoami. Makanan ini masih bertahan hingga kini ditengah popularitas beras yang sudah menjadi kebutuhan pokok setiap orang di Wakatobi.
Meskipun hasil laut melimpah, tanah bisa ditanami, tetap Kaledupa adalah suatu pulau kecil. Tidak bisa dibandingkan dengan daratan-daratan luas. Ruang dan sumber daya selalu terbatas untuk mereka yang hidup di daratan pulau, sementara populasi manusia tumbuh terus. Dengan alasan ini banyak kaum lelaki di Kaledupa keluar dari pulau, pergi merantau mencari nafkah di tanah lain. Hasilnya mereka kirimkan untuk menghidupi keluarga di Kaledupa. Sebagian dari mereka, kembali ke kampung halaman, apalagi ketika suatu produk baru dari laut datang memberi alternatif pendapatan, yaitu alga laut.
Membawa hasil panen alga laut sebagai komoditi utama penghuni daratan Kaledupa
Onggokan seperti tumbuhan berwarna kecoklatan ditarik dari dalam perairan dan dikumpulkan ke atas perahu. Air laut di sekitar jernih sekali tapi permukaannya penuh noda-noda putih. Warna putih dari pelampung dari potongan-potongan stirofoam untuk menahan bentangan tali. Terkadang juga memakai bekas botol plastik air mineral. Pada tali inilah ikat bibit-bibit alga laut dan dibiarkan tumbuh hingga rimbun. Aktifitas ini kita kenal dengan istilah budidaya rumput laut, walau sesungguhnya tumbuhan itu adalah alga laut. Kegiatan ini belakangan meluas di Kaledupa bahkan seluruh Wakatobi.
Pertanian alga laut masuk ke Wakatobi sekitar tahun 1980an, namun baru mulai terorganisir dengan baik pada pertengahan 1990an. Keinginan menguat setelah beberapa orang Wakatobi belajar dari beberapa daerah lain penghasil alga laut seperti di Nusa Lembongan-Bali. Dan itu berjalan. Perairan bersih, kandungan nutrisi melimpah dan cuaca mendukung, waktu panen tidak terlalu lama dan harga bagus maka dengan segera alga laut mendapat perhatian masyarakat. Wakatobi pun menjelma sebagai pusat penghasil alga laut di wilayah Sulawesi Tenggara. Orang Pulo mulai mengandalkan hidup dari alga laut walau riak-riak kadang datang mengganggu, seperti serangan penyakit dan fluktuasi harga di pasaran. Alga laut sesuatu yang menjanjikan bagi penduduk Wakatobi, tetapi tidak bagi orang-orang Bajo. Bagi mereka laut lepas dan bebas adalah segalanya.
Pertanian alga laut masuk ke Wakatobi sekitar tahun 1980an, namun baru mulai terorganisir dengan baik pada pertengahan 1990an. Keinginan menguat setelah beberapa orang Wakatobi belajar dari beberapa daerah lain penghasil alga laut seperti di Nusa Lembongan-Bali. Dan itu berjalan. Perairan bersih, kandungan nutrisi melimpah dan cuaca mendukung, waktu panen tidak terlalu lama dan harga bagus maka dengan segera alga laut mendapat perhatian masyarakat. Wakatobi pun menjelma sebagai pusat penghasil alga laut di wilayah Sulawesi Tenggara. Orang Pulo mulai mengandalkan hidup dari alga laut walau riak-riak kadang datang mengganggu, seperti serangan penyakit dan fluktuasi harga di pasaran. Alga laut sesuatu yang menjanjikan bagi penduduk Wakatobi, tetapi tidak bagi orang-orang Bajo. Bagi mereka laut lepas dan bebas adalah segalanya.
Rumah-rumah suku bajo di atas air mengelompok membentuk Kampung Montigola
Sampan-sampan kecil lalu lalang, melewati saluran sempit seolah membentuk kanal-kanal. Pendayung berhenti dan memarkir sampan di rumahnya berstruktur panggung, menjulang di permukaan laut. Jembatan kayu menghubungkan antar rumah dan deretan rumah, ada yang kokoh dan lebar, ada yang sempit dan rapuh. Beberapa rumah tampak bagus dan rapi dengan kolom beton berdinding tembok, beberapa lainnya terlihat sangat sederhana sekali terbuat dari kayu. Apapun tampilannya, kehidupan terlihat jelas di kampung ini. Apalagi saat sore hari, ketika anak-anak bermain air di laut. Mereka menyebut dirinya Orang 'Sama', atau kita lebih mengenal dengan sebutan Bajo.
Dalam hal hubungan manusia dan laut, belum ada yang bisa mengalahkan Suku Bajo. Mereka mampu beradaptasi begitu dekat dengan laut. Dimana ada sumber daya bahari, di situlah ada Orang Bajo. Mereka sangat handal dalam mengemudikan perahu dan bernavigasi di laut. Mereka mempunyai ratusan teknik untuk menangkap ikan dan biota laut. Dahulu mereka tinggal dalam perahu soppe -panjang sekitar 8 meter-, mengembara dari satu laut ke laut lain untuk memancing dan menangkap ikan. Daratan hanya diinjak untuk mengambil air tawar, menjual ikan atau berlindung sementara dari musim badai. Laut adalah tempat saudara sulung setiap orang Bajo. Antopolog Perancis Robert Zacot dalam bukunya Orang Bajo (2008), menyebutkan air-ari setiap bayi Bajo, ditenggelamkan ke laut melalui suatu ritual penuh penghormatan. Ari-ari ini dianggap saudara sulung dan saudara kembar dari sang Bayi.
Dari manakah Orang Bajo? Mengapa mereka bermukim di Wakatobi? Mengapa mereka hanya hidup terpisah dari daratan? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu merasuki pikiran saya dan mencari jawabannya bukan sesuatu yang mudah. Beberapa sumber tulisan hasil penelitian menceritakan legenda sama, yaitu kisah seorang raja yang kehilangan putrinya dan memerintahkan orang-orang untuk menemukannya. Pencarian gagal. Orang-orang yang ditugaskan tidak berani pulang dan menyentuh daratan lagi. Kelak mereka lah yang disebut orang Bajo. Dimanakah raja yang memerintahkan itu, masih terdapat banyak versi menurut pengamatan Maglana (2016). Sebagian percaya dari Kerajaan Johor di Selat Malaka, namun sebagian lain mengatakan berasal dari Sulawesi Selatan (Luwu, Gowa atau Bone). Beberapa peneliti lain menemukan penduduk di sekitar Selat Basilan di Filipina Selatan pada tahun 800 sudah berbahasa Bajo dan memperkirakan sebagai daerah asal Bajo. Ilmuwan lain seperti Zacot (2008), mengungkapkan gagasan berbeda. Menurutnya Orang Bajo membawa jejak-jejak perpindahan penduduk Asia Tenggara sekitar dua ribu tahun lalu. Sampai akhirnya pada suatu masa, mereka berbondong-bondong, menggunakan armada Soppe, menjelajahi lautan luas Asia, pindah tanpa tujuan pasti. Bencana besar seperti banjir, tsunami atau gempa bumi mungkin memicu perpindahan ini.
Suku Bajo di Wakatobi sendiri diperkirakan berasal dari Bone di Sulawesi Selatan, menurut penelitian Ellen Suryanegara dan kawan-kawan (2015). Peperangan Kerajaan Bone dengan Belanda mendorong mereka mengungsi ke perairan Sulawesi Tenggara. Dengan mengikuti arus, arah angin dan bintang serta tidak ketinggalan sumber daya laut, mereka akhirnya tiba di Wakatobi. Kampung Montigola di Kaledupa adalah pemukiman pertama, lalu diikuti Sama Bahari/Sampela dan Lohoa. Tahun 1950an, pertambahan penduduk dan konflik DI/TII, memicu mereka terpencar lebih luas ke Pulau Tomia dan Wangi wangi. Perkembangan ini menjadikan Wakatobi sebagai salah satu pusat populasi Suku Bajo di Indonesia.
Di antara pulau-pulau besar Wakatobi, Kaledupa memiliki pemukiman lepas pantai Suku Bajo terbanyak. Montigola berada di sisi barat, kini telah dihubungkan dengan daratan melalui suatu jembatan kayu. Dua kampung lain pada sisi timur pulau masih terputus dengan daratan. Sama Bahari dengan lokasi tidak terlalu jauh dari Pelabuhan Ambeua dan Hoga, serta Lohoa terpencil sendirian di ujung selatan. Lokasi pemukiman-pemukiman ini biasanya berhadapan dengan hutan mangrove atau lebih tepatnya sisa-sisa hutan. Hutan ini melapisi garis pantai pada sebagian besar pulau -bergantian dengan pantai pasir putih-menjadi benteng pertahanan pulau. Bukan dari gangguan manusia, melainkan gempuran ombak yang bisa menggerus daratan.
Suku Bajo di Wakatobi sendiri diperkirakan berasal dari Bone di Sulawesi Selatan, menurut penelitian Ellen Suryanegara dan kawan-kawan (2015). Peperangan Kerajaan Bone dengan Belanda mendorong mereka mengungsi ke perairan Sulawesi Tenggara. Dengan mengikuti arus, arah angin dan bintang serta tidak ketinggalan sumber daya laut, mereka akhirnya tiba di Wakatobi. Kampung Montigola di Kaledupa adalah pemukiman pertama, lalu diikuti Sama Bahari/Sampela dan Lohoa. Tahun 1950an, pertambahan penduduk dan konflik DI/TII, memicu mereka terpencar lebih luas ke Pulau Tomia dan Wangi wangi. Perkembangan ini menjadikan Wakatobi sebagai salah satu pusat populasi Suku Bajo di Indonesia.
Di antara pulau-pulau besar Wakatobi, Kaledupa memiliki pemukiman lepas pantai Suku Bajo terbanyak. Montigola berada di sisi barat, kini telah dihubungkan dengan daratan melalui suatu jembatan kayu. Dua kampung lain pada sisi timur pulau masih terputus dengan daratan. Sama Bahari dengan lokasi tidak terlalu jauh dari Pelabuhan Ambeua dan Hoga, serta Lohoa terpencil sendirian di ujung selatan. Lokasi pemukiman-pemukiman ini biasanya berhadapan dengan hutan mangrove atau lebih tepatnya sisa-sisa hutan. Hutan ini melapisi garis pantai pada sebagian besar pulau -bergantian dengan pantai pasir putih-menjadi benteng pertahanan pulau. Bukan dari gangguan manusia, melainkan gempuran ombak yang bisa menggerus daratan.
Air jernih Danau Sombano membelah batu karang berlapis mangrove hingga ke bibir pantai
Batu-batu karang tajam terasa menghujam telapak kaki saya walau sudah berlapis sandal gunung. Seluruh permukaan daratan adalah karang. Anehnya pohon-pohon ramping tetap mampu tumbuh, bahkan rimbun sekali menutupi hampir seluruh daerah tersebut. Karang tiba-tiba terpotong oleh saluran air selebar 10-15 meter. Jernih sekali hingga dasarnya terlihat jelas. Bayangan pohon-pohon dan langit biru nampak begitu nyata pada permukaan air. Lapisan-lapisan alga berbentuk seperti lumut hijau melapisi batu-batu di dalam air. Dari situ mahluk-mahluk kecil berwarna merah berenang, bermain dan mencari makan. Saya benar-benar takjub melihat udang-udang berwarna merah menyala ini.
Aliran air ini dinamakan Danau Sombano, memanjang membelah kawasan hutan mangrove cukup luas untuk ukuran pulau kecil hingga ke bibir pantai. Daerah ini merupakan sisa-sisa terakhir dari blok hutan mangrove yang masih bertahan di Kaledupa. Mungkin dahulu hutan ini lebih tersebar merata di pulau. Tetapi penduduk butuh kayu untuk memasak maka ditebaslah pohon-pohon. Populasi semakin bertambah berarti semakin banyak pohon harus dikorbankan. Bisa jadi aktifitas ini penyebab penyusutan luasan hutan mangrove di Wakatobi. Hasil penelitian Agusrinal dan kawan-kawan (2015) menunjukkan, antara tahun 1996-2014 hutan mangrove di Kaledupa mengalami penurunan luasan dari 978 hektar menjadi 764 hektar atau berkurang 241 hektar (22%).
Keadaan ini bukan sesuatu yang baik namun setidaknya di Sombano mangrove masih ditemukan. Mungkin akan bisa bertahan terus karena masyarakat desa mulai berinisiatif untuk melindunginya. Mereka menaruh harapan untuk mengembangkan Danau Sombano sebagai daerah wisata, agar dapat memberikan alternatif ekonomi. Beberapa waktu terakhir sektor industri ini mengalir masuk ke Wakatobi. Deras dan tidak tertahankan.
Keadaan ini bukan sesuatu yang baik namun setidaknya di Sombano mangrove masih ditemukan. Mungkin akan bisa bertahan terus karena masyarakat desa mulai berinisiatif untuk melindunginya. Mereka menaruh harapan untuk mengembangkan Danau Sombano sebagai daerah wisata, agar dapat memberikan alternatif ekonomi. Beberapa waktu terakhir sektor industri ini mengalir masuk ke Wakatobi. Deras dan tidak tertahankan.
Padang Lamun di perairan dangkal sekitar Pulau Hoga
Air dingin langsung menyusup ke tubuh begitu menjeburkan diri ke laut. Kaki katak dikayuh, badan pun meluncur membelah air begitu jernih. Dasar laut nampak jelas, tidak terlalu dalam hanya 2-3 meter, dipenuhi warna hijau dari hamparan rumput laut. Beberapa ikan lalu lalang, kadang ular laut belang bergerak meliuk-meliuk gemulai di sela-sela rumput laut ini. Hingga sekitar 100-200 meter dari pantai, padang lamun ini berakhir pada suatu turunan tajam. Dunia terumbu karang indah penuh warna warni dari dirinya, ikan dan biota laut lain, bermunculan. Dengan kepala di atas air saya menengok ke belakang, hamparan pasir putih nampak begitu mempesona dengan latar belakang pepohonan cemara laut dan langit biru. Pulau Hoga memang menarik siapapun, bahkan sejak jaman dahulu, sudah disebutkan akan kecantikannya dalam legenda-legenda Wakatobi.
Para pengunjung Pulau Hoga sudah datang sejak jaman dahulu, termasuk para penghuni-penghuni awal Kepulauan Wakatobi. Mereka lah sesungguhnya wisatawan-wisatawan awal di Wakatobi. Baru belakangan pada tahun 1995, datang rombongan ekspedisi dari Inggris memakai nama Operation Wallaceae. Kelompok ini melakukan kegiatan penelitian, dijalankan oleh para relawan yang bergabung dan perjalanan ini. Kegiatan ternyata terus berlanjut, Operation Wallaceae secara rutin berkunjung setiap tahun hingga kini, membawa para relawan baik itu anak sekolah, mahasiswa, pengajar maupun peneliti. Organisasi ini mendirikan bangunan pusat penelitian di Pulau Hoga untuk mendukung kegiatan tersebut. Masyarakat pun mengikuti dengan membangun rumah-rumah penginapan baik di dalam maupun tepian pulau, untuk menyediakan tempat bagi para relawan menginap. Sejak kedatang Operation Wallaceae ini, Hoga berubah menjadi pusat kunjungan wisatawan dibungkus dalam kegiatan penelitian maupun sosial di masyarakat atau dikenal dengan istilah voluntary tourism.
Menelusuri bagian dalam Pulau Hoga, saya berjalan di sela-sela pohon-pohon cemara laut, dimana-mana. Di sepanjang jalan setapak, daun-daun jarum pohon ini berserakan, dan di kiri kanan berjajar pondok-pondok penginapan. Saya ikuti jalan ini hingga beberapa ratus meter, menyusuri tepian pantai karang hingga pasir putih, bangunan ini masih terus bermunculan. Mungkin 100 unit ada. Pada sisi lain tidak jauh dari pantai, sebuah penginapan atau hotel kecil baru saja beroperasi. Tetapi semua sepi dan kosong. Memang ini masih belum pertengahan tahun. Biasanya para wisatawan melimpah pada bulan Juni hingga Agustus. Terbayang ramainya tempat ini pada saat tersebut. Hoga telah menjelma sebagai lokasi kunjungan wisata. Untuk meneliti laut dan isinya, untuk menyelam, atau sekedar berekreasi. Tetapi sekarang ini yang ada hanya keheningan. Berpadu dengan suara lembut riak gelombang, desiran angin di sela daun jarum cemara laut, dan dengkuran burung punai.
Senja memerah ketika matahari tenggelam dilihat dari Montigola
Dunia merah itu datang di Montigola ketika senja, taktala sang mentari terbenam. Kampung Montigola merona kemerahan, menyajikan pesona tidak akan terlupakan. Bila dilihat dari atas bukit di Pajam, tampak jelas bagaimana permainan cahaya melapisi kampung ini. Saya lebih suka masuk ke dunia tersebut, duduk pada jalan jembatan kayu di Montigola, menatap cakrawala. Ini adalah tempat terbaik di Wakatobi untuk menikmati matahari terbenam. Laut, daratan, bentang alam atas maupun bawah air, saya berimajinasi bagaimana Sangia Yiperopa, Sangia Yigola atau La Patua menikmati keindahan luar biasa diberikan oleh Pulau Kaledupa. Sungguh patut bersyukur rasanya, saya masih bisa ikut merasakan walau mungkin hanya sebagian kecil saja. Masa depan tidak akan pernah bisa ditebak dan perubahan pasti terjadi. Populasi penduduk bertambah terus, tuntutan kebutuhan pun meningkat. Bermula dari Hoga -dan juga Pulau Tomia- pariwisata berkembang dan kini Wakatobi telah ditetapkan oleh pemerintah daerah maupun nasional sebagai destinasi wisata andalan. Hinggar bingar keriuhan pengembangan pariwisata semakin terasa dalam beberapa tahun belakangan. Kaledupa pun tidak akan bisa terlepas dari hal tersebut. Bila arah pembangunan pariwisata mempunyai rasa menghargai terhadap alam maka saya yakin Kaledupa masih berkenan membagi keindahannya kepada pengunjung-pengunjung dari luar pulau. Tetapi bila tidak. Saya tidak sanggup memikirkannya. Untuk sekarang ini, saya lebih ingin berdiam di dermaga Montigola, menikmati keheningan dan keajaiban permainan warna di langit.
Comments
Post a Comment