Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas
My heart is tuned to the quietness that the stillness of nature inspires
-Hazrat Inayat Khan-
Dia cantik sekali dan sangat memikat. Sulit untuk beranjak pergi bila sudah didekatnya. Memandang terus tanpa ingin berakhir. Paduan biru langit dengan air berwarna biru azure, ditambah hijau bercampur kuning dari daun-daunan pepohonan menciptakan tampilan luar biasa dari sang danau perempuan, Anggi Gida.
Kecantikan Anggi Gida, danau perempuan, memanjakan mata dan pikiran
Pada sisi timur Anggi Giji, tinggal pasangan danau ini yaitu sang perempuan bernama Anggi Gida. Lebih luas dengan daerah tertutup air 2.500 hektar namun posisinya lebih rendah, 1.877 meter dpl dibandingkan sang lelaki. Batuan granit pada sisi timur Gida menunjukkan kemungkinan dia lebih muda dibanding pasangannya, terbentuk pada masa Permian-Triassic (300-200 juta tahun lalu). Bagi saya, dia sangat cantik. Lebih dari semua danau yang pernah saya lihat.
Jalan perkerasan menuju Anggi Gida dari Giji penuh dengan pemandangan memukau
Cerita-cerita penduduk lokal mengatakan Anggi Gida adalah danau pertama yang dilihat oleh nenek moyang mereka. Demikian juga catatan peneliti asing di masa lalu menunjukkan Gida adalah pertama mereka temui, setelah itu baru Giji. Tentu saja karena pada jaman itu akses lebih mungkin lewat Ransiki, daerah pesisir di sebelah timur Anggi Gida. Jalan dari Manokwari menembus Pegunungan Arfak belum ada dan menerobosnya adalah sesuatu yang hampir mustahil. Kini kedua jalur tersebut telah terbuka. Kadang satu bisa dilalui dan yang lain tidak, tergantung kondisi jalan. Apakah longsor menghadang, hujan menghancurkan atau perbaikan belum dilakukan. Saat saya di sana, Gida bisa dengan mudah dicapai dari danau pasangannya. Tepat di ujung Tanjung Kostera, terdapat persimpangan menanjak ke atas, melalui Gunung Kobrey lalu turun ke bawah mencapai danau perempuan. Kondisi jalan perkerasan tanah, masih cukup baik dan keterjalan tidak seekstrim Puncak Maut. Gida mengerling molek sepanjang jalan ini, begitu menggoda.
Keindahan Anggi Gida diamati dari daerah Kobrey
Menikmati Anggi Gida dari ketinggian, ada satu tempat favorit saya, yaitu Gunung Kobrey. Ketinggiannya sekitar 2.400 meter dpl dan dari puncaknya dapat memandang kedua danau, Giji dan Gida, dari satu titik memutar 360 derajat. Kobrey juga kaya akan jenis-jenis tumbuhan pegunungan bagian atas atau disebut subalpin, seperti Vaccinium, Rhododendron, Diplycosia, Baeckea frutescens, anggrek tanah, dan kantung semar Nephentes sp. Termasuk juga pohon kayu akwai (Drymis sp) dikenal sebagai obat doping pemulih tenaga bagi penduduk lokal. Bagian tanah atau tebing dilapisi oleh berbagai pola dari beraneka lumut dan lumut kerak, menambah keunikan tempat ini bila kita mau mengamati lebih detail.
Jalan berliku pada punggungan gunung di bawah Kobrey
Mengikuti jalan menurun pada punggungan dari Puncak Kobrey maka akan sampai di tepian Anggi Gida. Berbeda dengan di Anggi Giji, lereng-lereng dilapisi oleh hutan lebat. Vegetasi masih menyelimuti sebagian besar gunung-gunung di sekitar Gida. Berbagai jenis tumbuhan pegunungan atas dengan bunga dan bentuk daun indah bermunculan. Pohon-pohon cenderung ramping dan pendek, dan ketika saya masuk ke dalam, lautan lumut dimana-mana. Pada batang dan ranting pohon, pada tanah yang saya injak.
Salah satu pemandangan terbaik dari Anggi Gida dari daerah Beras Tumpah
Dalam perjalanan ke tepian Danau Perempuan, selingan tempat datar memberi bonus tidak terduga. Pada tempat dahulu di jaman pendudukan Jepang, helikopter menurunkan logistik beras, saya terpana mengamati Gida. Kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Saya hanya berpikir sungguh menakjubkan sekali tempat ini, mencerminkan bagaimana luar biasanya planet bumi, rumah kita. Di tempat ini lebih baik kosongkan jiwa dan pikiran, larut dalam pelukan keindahan.
Kampung-kampung berdiri pada sisi barat dan utara Anggi Gida
Duhugani, Unggrau, Itkau, Tuabyam, Sibyongu, Tomrok, Nggesrau, Sisrang, Mbeimei, adalah nama-mana kampung di sepanjang tepian barat dan utara Anggi Gida. Sebagaimana halnya di Giji, populasi penghuni berkisar sekitar 110-300 warga dengan 15-40 rumah per kampung. Mayoritas orang Sougb berseling dengan Hatam. Kebalikan dengan Giji, kampung-kampung ini hanyalah kantung-kantung terbuka di antara luasnya hutan utuh. Bahkan sisi timur sama sekali tidak tersentuh oleh pemukiman penduduk.
Duhugani atau disebut juga Trikora, kampung paling selatan dan terpisah dengan lainnya
Terpencil dan jauh dengan kampung lainnya, bukan berarti tidak ada daya tarik. Justru hal sebaliknya saya temukan di Duhugani, satu-satunya kampung di sisi selatan Gida. Menurut saya, kampung yang juga dinamakan Trikora ini, paling mempesona di Anggi dalam hal suasana dan lingkungan alam. Bukit masih tertutup hutan asli melatar belakanginya, sementara di depan adalah rawa berlanjut ke tepi danau dengan warna air bergradasi dari hijau ke biru. Semilir angin sejuk seolah menyapu terik matahari terpantulkan di tanah berpasir putih, menambah keheningan dan keindahan.
Kontras dengan sisi-sisi lain di Gida, bagian timur masih alami tertutup hutan
Gradasi warna air kuning hijau biru pada tepian danau memberi pemandangan menyegarkan di jalan menuju Duhugani
Tidak hanya Duhugani saja, tetapi bagian selatan dan timur Gida memang benar-benar menarik. Hutan masih utuh dan alami. Permainan warna dari air danau begitu menyegarkan. Dan tentu satu hal lain: sepi dan hening. Perjalanan ke sini dari persimpangan dengan sisi barat, lokasi kampung-kampung lain, seharusnya tidak lama karena secara jarak dekat serta kondisi jalan datar dan cukup bagus. Tetapi rasanya tidak mungkin untuk tidak berhenti pada beberapa tempat. Sudut-sudut yang ditampilkan terlalu indah untuk ditolak.
Menyeberangi Anggi Gida dengan perahu tradisional
Walaupun sepi, terkadang penduduk lokal melakukan aktifitas di daerah pasir putih.
Lapisan tipis di tepian danau dan singkapan pada lereng-lereng berwarna putih, menarik perhatian saya sejak melihat dari Kobrey. Seolah bagian warna putih itu berkata, "datanglah kemari, tengok saya yang istimewa ini". Agak aneh memang, karena lapisan atau singkapan putih ini hanya ada di sebelah timur Anggi Gida. Tidak ada informasi jalur jalan setapak untuk ke sana. Karena itu saya putuskan untuk menyeberangi danau. Untunglah terdapat beberapa perahu tradisional milik penduduk. Sewa perahu dari Unggrau bisa jadi pilihan karena tidak terlalu jauh dari persimpangan ke Duhugani. Namun saya memilih dari kampung Nggesrou, tepat berseberangan dengan tepian pasir sehingga jarak lintasan danau pendek. Dengan sigap bapak pemilik menyiapkan perahu kayu berukuran 8-10 orang, memasang motor tempel 15 PK dan kami pun melaju membelah air danau. Selama ini saya menikmati danau dari tepian terus, kini giliran melihatnya dari tengah.
Pantai pasir putih di timur Anggi Gida
Kejernihan air Danau Anggi Gida di Pantai Pasir Putih
Perahu mendarat lembut di pantai berpasir putih. Saya loncat menjejakkan kaki, terasa sedikit kasar. Butiran-butiran material berukuran agak besar membentuk pasir putih ini. Seluruh permukaan tanah dan lereng di daerah ini berwarna putih, tersusun dari batuan granit. Mungkin inilah menyebabkan tidak ada penduduk menghuni sisi timur Gida karena tanah tidak cocok untuk bertanam. Walaupun demikian pohon-pohon hutan tetap bisa tumbuh dengan subur. Tidak nampak adanya aliran air di permukaan tanah, namun terdapat sungai kering. Bapak pemilik perahu mengatakan, sungai itu sebenarnya berair, tetapi bila didekati manusia, tiba-tiba airnya masuk ke tanah. Bila kita ribut, maka aliran air segera lenyap menyelusup ke tanah semua. Aneh. Sayang saya belum berhasil mengamati fenomena tersebut. Erosi membawa material-material ke dalam danau dan oleh arus dihempaskan kembali ke tepian danau sebagai endapan dan jadilah tepian berpasir putih. Apapun, yang jelas saya seperti tidak bisa membedakan apakah ini tepian danau atau pantai di pesisir laut. Pasir putih, air jernih, tenang. Bedanya di sini airnya tawar. Siapa yang bisa tahan untuk tidak menyebur. Ternyata tidak begitu dingin. Mungkin bagian atas permukaan air sudah terhangati oleh cahaya matahari. Sungguh tenang, damai dan indah. Itu sebabnya penduduk lokal menjuluki pasir putih ini sebagai simbol kecantikan danau perempuan.
Keindahan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata di Anggi Gida
Ada cerita rakyat tentang sepasang kangguru jenis kecil tersesat ketika berusaha mengikuti manusia majikan mereka. Dalam mencari jalan keluar, kangguru jantan kehabisan air dan akhir berubah menjadi ular naga mendiami daerah dia tersesat. Tempat tersebut kemudian keluar air dan disebut 'mata air jahat' karena kangguru kesal pada manusia dan berjanji untuk memusuhinya. Sang betina melanjutkan perjalanan, namun kehabisan air juga dan akhirnya terpaksa tinggal di suatu tempat, terpisah oleh satu gunung dengan lokasi kangguru jantan. Sang majikan menemukan tempat penuh genangan air ini, bahkan memakan korban beberapa manusia dari rombongan perjalanannya. Dia menyebut tempat ini dengan 'ann' berarti hantu dan menetapkan sebagai daerah terlarang untuk dilewati. Sampai pada suatu hari ketentuan ini dilanggar oleh sepasang manusia, menyebabkan munculnya air dengan deras dan menciptakan danau. Kelak danau itu disebut Anggiji untuk laki-laki dan Anggida untuk perempuan.
Mungkin akan terdapat versi-versi lain kisah terbentuknya danau, tetapi secara ilmiah diperkirakan akibat proses tektonik. Letak kedua danau ini tidak jauh dari suatu lipatan di kerak bumi dinamakan Patahan Ransiki. Proses geologi ditambah pengaruh iklim dan diikuti perubahan perlahan-lahan dari berbagai mahluk hidup, datang dan beradaptasi untuk bisa tinggal, selama jutaan tahun sampai pada bentuk yang saya lihat sekarang. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata untuk menggambarkan keindahan. Akankah bertahan terus seperti ini? Tentu tidak. Waktu berjalan dan perubahan pasti terjadi. Sayangnya, jika dulu perubahan terjadi perlahan-lahan memakan waktu lama, kali ini saya pikir tidak. Akan berjalan beribu kali lebih cepat, tanpa cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Populasi penduduk bertambah terus berarti semakin banyak lahan harus dibuka, pohon harus ditebang, batu dan pasir meski digali, dan air harus disedot. Sebagai kabupaten baru, Pegunungan Arfak memerlukan mesin ekonomi. Batuan granit, uranium pasti sudah masuk radar untuk ditambang, demikian pula hutan untuk diganti sebagai kebun-kebun komersial. Pemandangan mempesona, udara segar, suasana hening dan tenang, air danau jernih, pasir putih, bunga-bunga indah dan hutan lumut suatu hari akan berlalu. Kecuali kita masih punya kecintaan terhadap semua mahluk hidup, air, udara serta tanah di Anggi, mau berjuang demi mereka dan sadar bahwa planet ini adalah tempat tinggal bersama bagi semua mahluk hidup.
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: Tshirt Dakwah Islam
ReplyDeleteMau Cari Bacaan yang cinta mengasikkan, disini tempatnya Cinta Karena Allah