Flores-Inerie Sang Ibu Besar
Ketika saya bekerja dan sering bolak-balik ke daerah Ngada-Pulau Flores pada periode 2013-2019, setiap saat saya selalu melihat gunung ini. Berbentuk kerucut nyaris lancip sempurna, tidak seperti kebanyakan gunung berapi lain di Indonesia yang mana bagian puncaknya selalu hancur berantakan karena erupsi. Kemanapun saya berjalan seolah Dia selalu membayangi, menaungi. Kadang tampil sempurna, kadang bersembunyi di balik awan, namun selalu selalu hadir begitu mempesona. Orang-orang suku Ngadha tinggal di lereng-lereng, menamainya 'Inerie'. Artinya Ibu Besar alias The Great Mother.
Kecantikan Gunung Inerie terpapar maksimal pada saat langit biru berpadu dengan awan putih
Nama Inerie berasal dari nama seseorang wanita yang menurut mitos tinggal di gunung ini. Pada masa lalu gunung tersebut memiliki beberapa nama lain. Menurut Paul Arndt dalam bukunya berjudul Masyarakat Ngadha pada tahun 1954, gunung ini sering disebut Roka, nama itu dipercaya sebagai ibu dari Inerie. Ada pula menamakan Poso, tidak lain adalah ayah dari Inerie. Kini nama Inerie lebih dikenal sebagai julukan bagi gunung yang megah ini. Tampilan berbentuk kerucut penuh jika dipandang dari beberapa sudut membuat gunung ini terlihat sempurna. Wujud inilah kemungkinan besar menjadi pusat perhatian sekaligus panduan bagi para leluhur suku Ngadha -masyarakat yang tinggal di sekitar gunung- saat menyeberangi Laut Sawu dari Pulau Sumba.
Lubang kawah bekas letusan di masa lalu tepat berada di bawah puncak Gunung Inerie
Secara lokasi Gunung Inerie berada di Pulau Flores bagian tengah pada sisi selatan, membuat jarak ke pulau besar lain yaitu Sumba masuk dalam jangkauan pelayaran. Kakinya menjulur panjang, menjejakkan hingga pesisir selatan sebelum terbentang hamparan Laut Sawu. Puncak teratasnya berada pada ketinggian 2.245 meter dari permukaan laut. Tidak terdapat catatan tertulis mengenai sejarah letusan besar Gunung Inerie, tetapi bila kita mendakinya maka akan nampak lubang kawah besar dan dalam, tepat berada di bawah puncak. Ditambah batu-batu vulkanis berserakan umum terlihat di seputaran gunung ini, menunjukkan adanya aktifitas erupsi di masa lalu. Diperkirakan letusan besar pernah terjadi sekitar 8.050 tahun sebelum masehi. Daerah sekitar Inerie sendiri yaitu di Ngada (kesatuan wilayah tempat Suku Ngadha tinggal) merupakan kawasan gunung-gunung api aktif pada masa 200.000-700.000 tahun lalu. Puluhan kepundan, bekas letusan kawah yang telah mati mengepung wilayah ini. Demikian juga dengan mata air panas bermunculan di banyak tempat, penanda bahwa ini adalah daerah vulkanik.
Sisi utara Inerie merupakan daerah terbuka padang rumbut dengan pohon-pohon Ampupu mulai menginvasi ke atas
Kurun waktu lama tanpa letusan seharusnya memberi ruang bagi alam untuk membentuk kehidupan di Gunung Inerie. Tumbuhan bisa menginvasi dan kolonisasi, menciptakan hutan dan menyediakan tempat tinggal bagi beragam mahluk hidup. Namun Inerie agak berbeda. Sejak jaman ketika penulis Paul Arndt menjelajahi daerah ini, disebutkan bahwa kawasan hutan hanya bisa dijumpai pada lereng selatan. Kondisi ini tetap sama hingga sekarang. Inerie menyajikan dua wajah berbeda, berhutan lebat di selatan, terbuka di utara. Secara teori hal ini wajar kalau lereng selatan berhutan lebat. Uap dari dari lautan dihadapan gunung akan dibawa angin, merayap naik ke gunung, terkondensasi jatuh sebagai hujan. Dan curahan hujan akan memberi jalan kehidupan tumbuh dengan subur. Ketika angin tiba di puncak lalu turun ke bawah, awan telah habis. Akibatnya lereng utara tidak kebagian hujan, menjadi daerah bayangan hujan.
Padang rumput di lereng utara Inerie (atas), hutan Ampupu di kaki gunung (bawah)
Namun alam tidak sesederhana itu. Hubungan satu sama lain umumnya membentuk jaringan rumit. Bagian atas lereng utara memang lingkungan yang keras untuk ditumbuhi karena permukaannya berupa pasir lepas dan batu-batuan muda. Pada ruas ini saya mengalami pendakian sulit, baik ketika naik maupun turun karena permukaan pasir dan batu-batu kerikil lepas kalau diinjak dan tempat untuk berpegangan tangan adalah batu-batu hitam yang tajam dan copot bila terkena tarikan. Hanya rumput gunung dan semak Leptospermum yang dapat hidup di sini. Sementara sebelum memasuki daerah pasir dan kerikil lepas, bagian bawah lereng ini, keadaan lebih melunak, mengundang hamparan padang rumput luas untuk menyelimutinya. Tetapi anehnya, muncul kantung-kantung kecil hutan-dengan pepohonan khas pegunungan- pada padang rumput ini. Bisa jadi hutan berukuran sempit ini tumbuh pada cekungan di mana iklim mikro cukup nyaman untuk mendukung pertumbuhan pepohonan. Kemungkinan lebih besar adalah faktor manusia, melakukan pembukaan hutan di masa lalu. Dominasi Alang-alang di padang rumput dan kehadiran koloni tegakan pohon Ampupu (Eucalyptus urophylla) di kaki gunung, memperkuat dugaan ini. Alang-alang sudah diketahui secara luas akan menjelma dominan pada suatu lahan yang mengalami kebakaran berulang kali, Sementara Ampupu adalah tumbuhan asli namun secara alami kecil kemungkinan membentuk satu hamparan hutan Ampupu murni tanpa campur tangan pihak lain. Pohon ini tahan api sehingga kebakaran akan membantunya menjadi penguasa wilayah. Anakannya relatif hidup aman karena hewan ternak tidak menyukainya. Ditambah kemungkinan masyarakat menanamnya juga untuk diambil kayunya. Kombinasi ketiga faktor ini tampaknya membuat Ampupu mudah menyebar.
Beberapa jenis tumbuhan di Gunung Inerie (dari paling atas ke bawah) :
1. Leptospermum flavescent, semak atau pohon pelopor di lereng kerikil lepas dan batuan muda2. Anaphalis longifolia, banyak dijumpai di tepi jalan setapak
3. Sejenis tumbuhan mirip rumput di daerah puncak
4. Dodonea viscosa, semak pelopor di dekat padang rumput
5. Bunga dari herba yang belum diketahui jenisnya di padang rumput
Terlepas dari kondisi lahan berbuka dan panas di sisi utara, tumbuhan tetap untuk berusaha hidup. Bila diperhatikan dengan cermat, beragam herba dan semak khas pegunungan bermunculan, bahkan di sela-sela lebatnya alang-alang. Udara dingin dan uap air yang dibawa oleh kabut membuat para tumbuhan ini dapat bertahan melewati musim panas. Saat musim hujan tiba, bunga-bunga liar pun bermekaran. Seolah sang gunung memamerkan keindahannya. Ketika inilah saya menyadari, Inerie tidak hanya agung, tetapi memang benar-benar cantik.
Kabut atau awan selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari Gunung Inerie
'Ibu sedang berbedak' ujar salah satu warga lokal. Matanya memandang ke Gunung Inerie yang sedang tertutup kabut. Saat musim hujan dari Desember hingga April, memang Inerie lebih banyak tersembunyi dibalik selubung putih. Masyarakat Ngadha sering mempersonifikasikan bentukan-bentukan alam termasuk gunung. Dari sini keluarlah cerita-cerita legenda, dan untuk Inerie, tidak bisa terlepas dari kisah pertempuran antara dua gunung besar. Pada sisi sebelah timur, menjulang suatu gunung dengan ukuran hampir sama dengan Inerie. Orang-orang dari suku Keo yang tinggal di kakinya menyebutnya Ambu Rombu atau lebih dikenal Ebulobo. Legenda mengisahkan, kedua gunung ini bertempur akibat berselisih mengenai masalah belis (mas kawin) ketika Ebulobo berniat melamar Inerie. Dalam perang tersebut Inerie melukai kepala Ebulobo, menyebabkan darahnya yang panas mengeluarkan asap. Namun Ebulobo akhirnya berhasil memenggal kepala Inerie hingga terguling ke bawah dan tenggelam di Laut Sawu. Bekas perkelahian tersebut masih terlihat seperti kawah aktif mengeluarkan asap di puncak Ebulobo, bercak-bercak darah di tubuh Inerie (sebenarnya adalah batuan kerikil berwarna merah) atau bukit kecil di dekat pesisir dipercaya sebagai konde Inerie yang terpental. Setiap bentukan alam selalu memiliki makna dan kisah. Dari ilmu pengetahuan masa kini munculnya cerita tentang diri sendiri dari sang bentukan alam, sementara masyarakat di masa lalu, kedekatan dengan alam, menciptakan interpretasi sendiri sehingga tercipta mitos dan legenda. Saya selalu terkagum-kagum dengan kisah-kisah alam versi masyarakat Ngadha ini karena selain menarik, hal ini mencerminkan bahwa mereka memiliki hubungan kuat dengan alam. Dan ini menimbulkan pertanyaan siapakah sesungguhnya orang-orang Ngadha.
Salah satu pemukiman di bawah naungan Inerie, Kampung Adat Gurusina (sebelum terbakar di 2018)
Menelusuri asal-usul suku-suku di Pulau Flores bisa gampang bisa susah. Flores bukannya suatu pulau homogen baik dari alam maupun penghuninya. Manusia yang menghuni terdiri dari beragam suku, datang silih berganti ke pulau ini. Secara merata suku-suku di Flores sering bercerita tentang penghuni awal di sini ada dua, yaitu manusia raksasa dan manusia kerdil. Siapakah manusia raksasa masih misteri. Apakah mereka manusia modern, Homo sapiens, yang mengikuti jalur migrasi dari Afrika sampai ke Asia Tenggara, kemudian melompat antar pulau di Indonesia, sebelum menginvasi benua Australia? atau jenis yang lebih tua lagi yaitu manusia purba Pithecantropus erectus? Untuk manusia kerdil, keadaan lebih jelas. Penemuan fosil di Gua Liang Bua, daerah Manggarai mengkonfirmasi kehadiran manusia ini dan diberi nama Homo florensis. Setelah itu kemungkinan berdatangan manusia-manusia modern berikutnya baik itu orang-orang Austronesia atau dari wilayah lain. Setiap suku di Flores dapat menceritakan dari mana mereka datang dan kapan. Rata-rata mereka menyatakan sudah menetap di pulau ini 12-20 generasi. Tampilan fisik dan bahasa suku-suku ini berbeda-beda. Bagi saya, orang Ngadha sangat kental dengan wajah dari Asia Selatan. Paul Arndt menuliskan suku ini datang dari India, sementara masyarakat mengatakan nenek moyang mereka dari Sina One, yaitu India kecil/belakang. Para orang-orang tua mengatakan dari tempat tersebut, tepatnya dimana masih belum diketahui jelas, leluhur mereka bermigrasi menggunakan perahu melewati Malaka, Jawa, Bali, Sumba, sebelum akhirnya tiba di Flores. Lokasi pendaratan para leluhur ini dipercaya berada di daerah Aimere, dekat perbatasan dengn wilayah Manggarai Timur. Di sini mereka mendirikan pemukiman, sebelum kemudian menyebar ke sekeliling kaki gunung Inerie.
Kehidupan di seputar kaki Sang 'Ibu Besar'
Bila kita memutari Gunung Inerie di masa kini, pemukiman masyarakat Ngadha masih bertahan. Kampung-kampung adat dengan bangunan rumah tradisional Sa'o dari bahan kayu, bambu dan alang-alang masih mudah ditemukan. Sebagian besar lainnya sudah mulai berubah dalam penggunaan material bangunan. Meskipun demikian penanda dan ornamen-ornamen tradisional masih dipertahankan, sehingga dengan mudah kita akan mengenali bahwa ini kampung orang Ngadha. Mereka semuanya menganut agama Katolik, namun kepercayaan tradisional masih berakar kuat. Mereka masih menyakini keberadaan roh leluhur, mahluk halus, kekuatan gaib pada alam. Semua ini tercermin dalam ritual-ritual tradisional yang masih mereka laksanakan seperti dalam rangka membuka hutan, masa tanam, masa panen, membangun atau memperbaiki rumah adat.
Inerie selalu indah dipandang dari semua sudut: dari utara (atas), selatan (tengah), dan timur (bawah)
Sebagai gunung vulkanik, Inerie menaungi kehidupan yang ada, seperti memberi tanah subur, air bersih dan iklim bersahabat, serta menjadi tempat tinggal bagi beraneka mahluk hidup. Namun bagi masyarakat Ngadha, lebih dari itu. Gunung ini adalah pusat kehidupan mereka. Dia lah 'Sang Ibu' nan agung dan cantik yang mereka hormati. Dan saya mempercayainya. Sungguh dia benar-benar cantik. Saya sudah memutarinya, bahkan mendakinya, tidak ada ada satu pun sudut dimana Dia nampak tidak indah. Selama kecantikan itu tetap bertahan, selama itu pula Inerie akan memberikan anugerah bagi kehidupan di sekitarnya.
Comments
Post a Comment