Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas

Di puncak tersebut saya terpana. Bingung untuk melukiskan bentang alam terhampar dihadapan. Susah mencari padanan kata yang tepat.  'Indah, mempesona, menakjubkan, spektakuler' rasanya belum cukup. Danau bernama Anggi ini benar-benar membasuh dahaga mata, pikiran dan hati. Tidak hanya satu, melainkan sepasang danau. Satu laki-laki bernama Anggi Giji dan satu perempuan dijuluki Anggi Gida. Pasangan ini bak permata berkilauan di tengah Pegunungan Arfak, mempesona setiap orang yang mendatanginya. Dua kali saya datang ke Anggi, 2014 dan 2015. Tidak selamanya mereka mau dilihat, karena kabut sering menyelubungi daerah ini. Namun cuaca bersahabat selama saya di sana, dan mereka pun terus-menerus menyajikan keindahan yang tiada pernah pudar. 

Sang Laki-laki, Danau Anggi Giji, tersembunyi dikelilingi gunung-gunung

Pegunungan Arfak, di wilayah kepala burung Papua Barat, memanjang antara Kota Manokwari dan Ransiki. Alamnya sangat menantang. Gunung-gunung tidak beraturan, punggungan sempit, lereng curam dan lembah sangat dalam. Pada bagian selatan, setelah melewati patahan Ransiki dengan tanda aliran Sungai Ransiki, ditemukan bentuk lahan berbeda, yaitu dataran tinggi luas.  Sekelilingnya adalah gunung-gunung tinggi, tajam dan curam. Pada beberapa bagian, tebing-tebing dan air terjun merupakan pembatas dataran tinggi. Pada dataran tinggi inilah terhampar kedua pasangan Danau Anggi. 

Jalan menuju Anggi, meliuk-liuk dan terjal

Jalan menuju Anggi sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya 4 jam dari Kota Manokwari. Namun tantangan yang dihadapi cukup memacu kelenjar adrenalin. Jalan hampir sepanjang 100 km, awalnya  berlapis aspal namun segera beralih ke perkerasan tanah pada pertengahan perjalanan. Soal kecuraman jangan ditanya. Mendaki panjang, meliuk-liuk di punggungan gunung, memotong lereng-lereng terjal, kadang dengan kemiringan hampir 90 derajat. Kemudian turun ke lembah dalam, menyeberang sungai, untuk mendaki gunung curam berikutnya. Terhambat longsor, itu hal biasa terutama pada musim hujan. Jalur lain dalam melalui pesisir dari Manokwari ke  Kota Ransiki, dilanjutkan pendakian ke Anggi. Tetapi antara kondisi jalan antara Ransiki-Danau Anggi, saat saya datang dalam kondisi rusak parah, sulit untuk dilalui. 

Satu-satunya alat transportasi ke Anggi, mobil penggerak roda 4 kabin ganda

Kondisi medan begitu berat membuat tidak banyak kendaraan bisa menembus hingga Danau Anggi. Hanya mobil dengan penggerak 4 roda yang mampu, dan untuk di sini toyota hilux kabin ganda adalah rajanya. Hanya mobil-mobil berlalu lalang di kawasan danau Anggi, satu-satunya pilihan alat transportasi bagi masyarakat maupun pengunjung. Dengan supir-supirnya rata-rata dari Sulawesi, mobil melaju dengan menyakinkan, melewati semua rintangan, tanpa kenal takut.  

Imbai, kampung pada tepi Danau Anggi Giji

Memasuki dataran tinggi, jalan mulai mendatar. Pohon-pohon berjajar rapat di tepian, aliran sungai jernih mengular di sisinya. Tidak semua masih lebat. Memandang jauh ke cakrawala, tampak dataran luas dengan bukit-bukit terbuka. Kendaraan berat, buldozer dan ekskavator mulai nampak. Jalan baru sedang dibuka, perumahan dan perkantoran dibangun. Pekerjaan konstruksi mendirikan ibukota kabupaten sedang berlangsung di tempat ini, Ullong. Sejak tahun 2012, Pegunungan Arfak resmi menjadi kabupaten sendiri. Sambil menunggu pembangunan selesai, perkantoran sementara ditempatkan di Kampung Ingebai dan Imbai, dekat danau. Selama di Anggi di sini saya tinggal. Hanya saat-saat tertentu ramai, ketika pemerintah daerah sedang ada kegiatan. Selebihnya sepi dan sunyi, ditemani udara dingin menyapa setiap saat. 

Keheningan di Danau Anggi Giji

Mobil yang saya tumpangi menyeberangi aliran Sungai Irai, tidak jauh dari tempat bermalam. Airnya dangkal, bergerak pelan namun lumayan lebar dan  jenih sekali. Aliran melaju masuk ke danau Anggi laki-laki, yaitu Giji.  Melewati Irai, pemandangan terbuka menyajikan danau seluas 2.000 hektar pada udara sejuk diketinggian 1.941 meter dari permukaan laut. Kondisi batuan di danau dan sekitarnya menunjukkan formasi yang terbentuk pada masa Silurian-devon atau lebih dari 300 juta tahun lalu.

Jalan perkerasan tanah melingkari Anggi Giji, melewati beberapa kampung.  Dalam perjalanan, saya iseng menghitung aliran-aliran air kecil dari lereng-lereng seputar danau, menyeberang jalan, memberi sumber air bagi sang danau. Jumlahnya mencapai puluhan. Selain juga ada kemungkinan sumber-sumber air lain dari dasar danau dan tampungan hujan. Tidak hanya menampung masuk aliran-aliran air, danau juga membagikannya ke wilayah lain melalui sungai kecil bernama Ngemona, sebelum bergabung ke sungai lebih besar, Wariori. Namun ini adalah sebagian kecil saja. Danau selalu tetap terisi air dengan stabil, menjamin keindahan tiada henti.  

Rawa-rawa cukup luas terbentuk akibat sedimentasi dilihat dari Tanjung Geja

Aliran air masuk ke Danau Giji membawa pula partikel-partikel tanah, hasil erosi dari sepanjang perjalanan sungai. Partikel ini perlahan-lahan mengendap, lama kelamaan makin tebal dan muka air dekat aliran masuk menjadi semakin dangkal.  Tumbuhan segera menginvasi, terutama jenis-jenis tahan hidup di tempat basah atau terendam. Rumput-rumput tumbuh subur dan menciptakan hamparan rawa. Burung air seperti kuntul (Egretta) bermain, sementara sejenis pipit endemik Anggi, yaitu Bondol Arfak (Lonchura vana), terbang bergerombol. Hamparan cukup luas rawa ditemukan pada muara Sungai Irai pada bagian utara danau, sesuai dengan banyaknya partikel tanah yang dibawa oleh sungai ini. 

Saya paling suka menikmati pemandangan rawa dari Tanjung Geja di Kampung Hungku. Menyegarkan dan dapat bersentuhan langsung dengan sang rawa. Suatu hari nanti orang akan bisa menikmati pemandangan ini sambil melihat pesawat terbang turun dan naik. Karena tepat di seberang rawa, bandara udara  perintis Snoumeba telah dibangun dan direncanakan segera beroperasi. Anggi akan segera ramai, meninggalkan keheningan.   

Jalan menuju bukit tererosi di Kostera

Mengelilingi Danau Anggi Giji itulah yang selalu saya lakukan. Tidak terlalu sulit selama ada Toyota Hilux pada saat musim kering. Akan sedikit berbeda pada musim hujan, karena jalan tanah bisa berubah jadi lumpur meyulitkan. Jalan lingkar danau ini berliku, menanjak, menurun dan belum tersambung sepenuhnya saat saya terakhir ke sana. Namun proses pengerjaan berlangsung terus untuk menyambungkan ruas terakhir pada bagian barat antara Kampung Irbos dan Kampung Tomstera. 

Tanjung Kostera, lahan menjorok masuk paling runcing di Danau Anggi

Saya meraih air danau dengan tangan dan membasuhkan ke muka. Terasa segar, apalagi sambil menikmati memandangan indah dari ujung Tanjung Kostera. Di sini tempat terbaik untuk bisa bermain dengan air danau di luar areal pemukiman. Walaupun tepiannya agak curam, bagian tengah tanjung mendatar cukup panjang. Lokasi ideal untuk berkemah. Penduduk sekitar Anggi paham hal tersebut, itu sebabnya mereka juga suka berekreasi di tempat ini pada hari libur. 

Vegetasi rimbun menutupi tanjung ini. Tumbuhan mirip cemara berukuran pendek (Baeckea frutescent) menutupi tanjung ini diselingi bunga-bunga putih menarik dari Rhododendron konori. Pada lekukan  di ujung tanjung, rumput-rumput rawa bermunculan. Ada seonggok rumput terapung  agak terpisah. Ukurannya lumayan lebar. Seorang penduduk mengatakan pulau kecil itu kadang bergerak di danau, berpindah-pindah tempat. "Mungkin terbawa arus", kata saya. "Tapi pernah terlihat bergerak melawan arus", tukas penduduk lainnya. Bahkan menabrak pemukiman yang ada di seberang Tanjung Kostera. Pikiran langsung berputar. Jangan-jangan pulau rumput itu adalah punuk dari sesuatu di dalam air. Kura-kura raksasa mungkin. Ah saya terlalu banyak berkhayal.   

Senja di Kampung Irai ketika cahaya matahari menjelang pergi berpadu dengan kedatangan hawa dingin

Jalan melingkar Danau Anggi Giji bukan sepi dari manusia. Setidaknya 17 kampung kecil dekat tepian, berdiri sejak lama. Di antaranya adalah Sururey, Tomstera, Kopo, Kobrey, Irai, dan Hungku memiliki populasi lebih dari 200 jiwa per kampung. Penduduk hidup dengan menggarap perladangan berpindah ditanami ubi jalar, ubi kayu dan kentang. Tanah subur dan udara dingin juga mendukung tanaman sayuran seperti wortel, tomat, bawang, seledri dan daun bawang. Tanaman tumbuh dengan bagus, tanpa perlu pupuk kimia. Suatu barang yang belum dikenal di sini.   

Kawasan Danau Anggi, mayoritas dihuni oleh Suku Sougb, berseling dengan beberapa pemukiman Orang Hatam. Pola pemukiman masyarakat Sougb umumnya tertata rapi di kiri kanan jalan sebagai sumbu utama. Masing-masing rumah berpagar dan halaman ditanami bunga, buah dan sayuran. Berbeda dengan Orang Hatam, penataan rumah-rumah tersebar secara tidak beraturan. Baik masyarakat Sougb maupun Hatam selalu mendirikan pemukiman di dekat sumber air atau aliran air masuk ke danau.  

Rumah kaki seribu umum ditemukan di seputar Danau Anggi seperti di Kampung Kopo

Rumah kaki seribu dengan struktur panggung tinggi

Sedikit dari rumah kaki seribu asli tersisa dengan atap dari dedaunan

Rumah kaki seribu dibangun di atas air

Cukup banyak penduduk tinggal di rumah tradisional disebut Igkojei, atau sering disebut orang luar kaki seribu. Bentuk rumah memiliki kontruksi panggung dari kayu dengan banyak tiang penompang. Tidak ada jendela, semua tertutup dengan akses hanya pintu depan dan belakang. Atap terbuat dari ilalang dan dedaunan, namun kini sudah hampir hilang. Bahan seng lebih diminati karena lebih tahan lama dan mudah memasangnya. Tinggal satu dua rumah saja mempertahankan atap dedaunan. Kampung Kopo merupakan konsentrasi terbanyak dari bangunan kaki seribu. Walaupun demikian hampir di setiap kampung masih mudah menemukan rumah tradisional ini. Beberapa bahkan dibangun di rawa-rawa atau di atas air. 

Sebagian besar perbukitan seputar Anggi Giji telah dibuka untuk perladangan di masa lalu

Saya berharap dapat menemui hutan di Anggi, namun hanya separuh terkabulkan. Di danau perempuan Anggi Gida terbentang lereng-lereng tertutup vegetasi lebat. Tidak demikian halnya dengan Anggi Giji, hanya tersebar pada petak-petak tertentu. Pemandangan bukit-bukit terbuka lebih dominan, ditumbuhi semak belukar paku-pakuan (Gleichinia, Pteris dan Lycopodium), tumbuhan berbunga merah muda dari keluarga melastomatacea (Poikilogyne arfakensis) dan cemara berukuran pendek Baeckea frutescens. Pada beberapa tempat tumbuh dengan baik jenis-jenis rhododendron seperti, Rhododendron konori dengan bunga besar berwarna putih dan Rhododendron laetum dengan bunga berwarna kuning. Kayu arwob/aroub (Dodonea viscosa) juga tampak melimpah sebagai tumbuhan perintis pada beberapa tempat, dan tidak tertutup kemungkinan ditanam oleh penduduk untuk kebutuhan kayunya untuk kayu bakar, pagar dan bahan bangunan. 

Daerah terbuka yang saya lihat bisa dikatakan sudah ada sejak dulu. Peneliti asing pertama datang ke Anggi pada tahun 1913, yaitu Lilian Suzette Gibbs seorang wanita dari Inggris, menemukan lahan-lahan terbuka. Dia menyebutkan bahwa kondisi ini disebabkan oleh proses pembukaan lahan melalui pembakaran oleh masyarakat setempat dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan terhadap kedatangan orang asing atau musuh. Namun demikian pembakaran lahan juga terkait dengan pola pertanian yang disudah dilakukan sejak lama oleh penduduk yang tinggal di sekitar Anggi . 

Jalan berat menuju Puncak Maut

Menikmati Anggi Giji dari lereng Puncak Maut

Banyak tempat untuk melihat keindahan Anggi Giji, namun untuk mengamati dari titik tertinggi, sekitar 2.500 meter dpl, berarti harus ke Puncak Maut.  Sesuai dengan namanya jalan menuju ke sini berat. Walaupun sudah ada jalan tanah untuk dilalui mobil, tapi tanjakan curam dengan belokan-belokan tajam sering meruntuhnya nyali para supir.  Hanya pada musim kering jalan ini dapat diterobos. Bila masuk musim hujan, terlalu licin untuk didaki. Memaksakan diri berarti hanya mencari maut saja. Namun ketika sampai, apa  yang didapat sepadan. Seluruh bentang alam Anggi Giji terpampang begitu jelas, membuat saya malas beranjak.  

Permainan awan menakjubkan di atas Kampung Imbai

Cuaca terang di Anggi memberikan pesona terbaik. Warna air danau begitu biru serasi dengan warna langit yang dipantulkan. Saya memandang ke atas, bukan hanya langit biru tetapi juga gumpalan-gumpalan awan putih menghiasi. Bentuknya bermacam-macam, gumpalan cumulus, pulasan cirrus, atau bentangan stratus. Setiap hari setiap waktu, berubah-ubah, membentuk pola-pola menarik dan tidak terduga. Kombinasi antara danau, gunung-gunung, langit dan awan ini membuat Anggi sungguh menakjubkan. 

Matahari sore menerangi lereng-hutan di Kampung Imbai

Kampung Kobrey sore hari, di bawah bayang-bayang lereng terjal

Sinar matahari pagi selalu membangkitkan kehidupan di Anggi setelah melalui malam dingin. Semangat mengalir lagi begitu kehangatan merayap di badan. Momen ini sangat indah. Tetapi perubahan nuansa di sore hari tidak kalah menarik, terutama pada kampung-kampung di sisi timur Giji. Rona merahan mengusir kabut, menyibak detail dari alam. Goresan dan lekukan gunung-gunung, bentuk dan tekstur pepohonan, terungkap begitu jelas. Puncaknya ketika langit memerah, diikuti permainan cahaya di langit saat dan setelah sang mentari terbenam. Anggi benar-benar memanjakan saya.

Bersambung ke bagian 2

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis