Sisi Lain Gunung Bromo (Bagian 2)
Pemandangan Menakjubkan Sisi Selatan Kaldera
Pada waktu yang tepat, ketika vegetasi padang rumput memancarkan warna hijau terbaiknya dan udara cerah dengan langit berwarna biru berpadu dengan gumpalan tipis awan-awan putih, padang rumput di Kaldera Tengger adalah salah bentang alam terindah di Indonesia. Semua yang memandang akan menahan nafas, mengagumi pesonanya. Sayang, beberapa tahun belakangan padang rumput ini mulai sering terbakar pada musim kemarau. Puntung rokok atau bekas api unggun selalu dicurigai menjadi penyebab. Semakin banyak pengunjung, semakin besar kemungkinan terbakar akibat kecerobohan dan ketidak disiplinan. Tahun 2014, kebakaran terbesar terjadi padang rumput ini, menghanguskan ratusan hektar lahan di Bukit Teletubbies dan sekitarnya, membunuh mahluk-mahluk yang hidup di rerumputan termasuk sarang dan telur burung apung tanah. Cukup lama dasar Kaldera Tengger sisi selatan mampu berlindung dari abu vulkanik letusan Bromo, tapi kini tidak dapat menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia.
Gigir-gigir Gunung Widodaren
Gelombang bukit-bukit pasir pada dasar kaldera di sisi selatan yang telah tertutup oleh hijaunya vegetasi
Selama ini sisi selatan Kaldera Tengger relatif jarang mendapat suplai material vulkanik. Di sini dasar kaldera terlindungi oleh Puncak Gunung Widodaren, menerima sedikit debu vulkanik. Alam pun bekerja dengan cara menakjubkan. Dalam kurun waktu yang lama, tumbuhan seperti rumput gunung dan paku-pakuan menemukan jalannya untuk bisa hidup di pasir vulkanik. Perlahan para tumbuhan ini mengkolonisasi dan mengubah hamparan pemandangan abu-abu perlahan menjadi hijau menyegarkan. Bukit-bukit pasir kecil menjelma menjadi bukit-bukit hijau nan mempesona yang kemudian diberi julukan Bukit 'Tele Tubbies' karena mirip dengan tempat bermain para tubbies dalam seri film anak-anak televisi yang terkenal di akhir tahun 1990-an.
Bukit 'Tele Tubbies'
Bagi saya memandang dasar kaldera berkarpet rumput yang luar biasa ini belumlah cukup. Untuk mengenal lebih dekat tidak ada cara lain dari pada mendaki bukit-bukit yang ada agar bisa bersentuhan langsung dengan rerumputan hijau. Bukit ini tidak hanya ditumbuhi satu jenis rumput namun berbagai macam. Dan juga bukan rumput saja, paku-pakuan dan semak-semak gunung turut melingkupi tempat ini. Kesunyian, desah angin, dengung lebah, ciutan burung apung tanah yang bermanuver di udara, semuanya memberi warna keindahan Bukit Teletubbies.
Pemandangan mempesona padang rumput Kaldera Tengger
Pada waktu yang tepat, ketika vegetasi padang rumput memancarkan warna hijau terbaiknya dan udara cerah dengan langit berwarna biru berpadu dengan gumpalan tipis awan-awan putih, padang rumput di Kaldera Tengger adalah salah bentang alam terindah di Indonesia. Semua yang memandang akan menahan nafas, mengagumi pesonanya. Sayang, beberapa tahun belakangan padang rumput ini mulai sering terbakar pada musim kemarau. Puntung rokok atau bekas api unggun selalu dicurigai menjadi penyebab. Semakin banyak pengunjung, semakin besar kemungkinan terbakar akibat kecerobohan dan ketidak disiplinan. Tahun 2014, kebakaran terbesar terjadi padang rumput ini, menghanguskan ratusan hektar lahan di Bukit Teletubbies dan sekitarnya, membunuh mahluk-mahluk yang hidup di rerumputan termasuk sarang dan telur burung apung tanah. Cukup lama dasar Kaldera Tengger sisi selatan mampu berlindung dari abu vulkanik letusan Bromo, tapi kini tidak dapat menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia.
Gigir-gigir Gunung Widodaren
Gunung Widodaren dengan lerengnya berbentuk gigir-gigir tajam
Gunung Bromo (2.392 m) bukan satu-satunya gunung di Kaldera Gunung Tengger. Berdiri tepat disampingnya Gunung Batok (2.440 m) dan Gunung Widodaren yang besar di belakangnya dengan puncak-puncaknya seperti Widodaren(2.614 m), Watangan (2.601 m) dan Kursi (2.581 m). Bagian tengah Gunung Widodaren terdapat lubang besar yang merupakan bekas kawah. Di dasar kawah ini terdapat 2 hamparan pasir dengan ukuran yang lebih kecil yaitu Segara Wedi Lor dan Segara Wedi Kidul. Sangat menarik melihat bagian luar gunung ini. Lerengnya diukir oleh punggungan tipis dan tajam dengan lembah sempit berbentuk huruf V. Air dan mungkin dibantu oleh angin selama ribuan tahun mengikis lereng gunung ini yang diperkirakan sudah ada sejak 1.810 tahun yang lalu. Gunung Widodaren hanya bagian kecil dari aktifitas vulkanik terus menerus dalam membentuk Kaldera Tengger, dimulai sejak 265.000 tahun yang lalu saat Gunung Tengger (4.000 m) -dahulu berdiri di sini- meletus. Letusan inipun hanya bagian dari proses panjang aktifitas vulkanik di kawasan ini sejak 1,4 juta tahun yang lalu. Dalam kurun waktu itu gunung-gunung raksasa lain berdiri di sini seperti Nongkojajar, Ngadisari, Keciri dan Cemoro Lawang. Letusan-letusan besar menghancurkan para gunung ini dan pada akhirnya membentuk muka bumi seperti sekarang. Ya, mendaki gigir-gigir tajam dan menengok kawah Gunung Widodaren merupakan tantangan yang menarik. Namun sebenarnya lebih dari itu, karena saya menapaki jejak sejarah kedahsyatan alam.
Pintu masuk menuju Gua Widodaren,di sebelah kiri atas, melewati gigir gunung yang sempit dan terjal
Bagi Masyarakat Tengger yang hidup di sekitar kaldera, Bromo adalah gunung sakral. Mereka sangat menghormatinya dan dan percaya bahwa nenek moyang mereka berada di dalam gunung tersebut. Penghormatan ini dilakukan dengan ritual-ritual tertentu dan upacara Yadnya Kasada adalah upacara persembahan terbesar di Gunung Bromo. Lereng Gunung Widodaren termasuk tempat penting dalam ritual ini karena di sinilah dilakukan 'Mendak Tirta' yaitu pengambilan air suci dari gua-gua yang ada di sana. Dengan melalui jalan setapak pada gigir yang sempit dan terjal, air suci lalu dikirab menuju ke Pura Luhur Poten di kaki Gunung Bromo untuk disandingkan dengan air suci yang di ambil dari tempat lainnya seperti AirTerjun Madakaripura dan Danau Ranu Pane. Air suci ini akan menjadi kelengkapan dalam upacara Kasada.
Pemandangan berbeda ke arah lautan pasir dari Gua Lanang di Gunung Widodaren
Gunung Widodaren adalah salah satu sumber air di daerah Kaldera Tengger. Di sekitar mulut gua-gua -sebenarnya berupa cerukan yang tidak terlalu dalam- pada lerengnya, tetesan air segar berjatuhan dari tebing-tebing batu. Masyarakat Tengger percaya bahwa sumber ini merupakan air suci yang tidak akan pernah kering dan digunakan dalam ritual penghormatan terhadap alam dan leluhur. Memasuki gua, saya mendapatkan pemandangan berbeda dari lautan pasir. Biasanya melihat dari atas dinding Kaldera Tengger, sekarang justru mengamati dari arah sebaliknya. Sambil duduk saya berkhayal, membayangkan mungkin ini pemandangan yang sama dilihat oleh orang-orang Tengger pada abad 15, saat mereka berpindah dari daerah pesisir ke kawasan pegunungan Tengger. Benarkah? Mungkin tidak. Lautan pasir kini lebih ramai dengan lalu lalang manusia bahkan sepeda motor dan jeep. Dengan lebih dari setengah juta wisatawan setiap tahun mengunjungi Bromo-Tenger-Semeru, saya pikir keheningan Bromo dan sekitarnya sebentar lagi akan tinggal kenangan.
Comments
Post a Comment