Papandayan, Pesona Sebuah Gunung (bagian 1)

Kalau ada suatu tempat yang mempunyai ikatan kuat dalam diri saya tentu itu adalah Gunung Papandayan di Jawa Barat. Tempat yang terletak di selatan kota Bandung, tidak jauh dari kota Garut, mewakili semua pesona yang ada pada gunung:  keindahan bentang alam, keheningan, kesejukan, desah angin, gemuruh hujan, sergapan kabut, amukan vulkanik dan tentu keanekaragaman kehidupan. 

Areal parkir Kawah Papandayan yang sepi pada tahun 2011

Tidak terhitung berapa kali saya ke Papandayan, sejak masih berupa jalan setapak untuk mencapai kawah hingga terdapat jalan aspal. Sejak masih didatangi segelintir pecinta alam, hingga penuh sesak seperti saat ini. Sejak berjalan kaki menerobos hutan pinus beralas rumput hingga naik mobil membelah hutan penuh pohon ki haruman. Tentu saya bukan pengunjung awal karena Gunung Papandayan sudah dikenal sejak jaman dahulu.  Gunung ini bagian dari rute perdagangan kuno antara dataran tinggi Pengalengan dengan Lembah Garut. Masyarakat gunung dan pantai sering melintasi gunung dan kawah untuk membawa tembakau, garam, sayuran dan hasil bumi lainnya. Pada jaman Pemerintah Hindia Belanda, Papandayan adalah daerah tujuan wisata favorit bagi orang-orang Eropa di Bandung seperti para pemilik dan karyawan perkebunan. Sebuah jalan terhampar dari Pengalengan hingga bibir kawah Papandayan dan bisa ditempuh menggunakan mobil. Pada masa itu pengunjung juga dapat menginap di Pesanggrahan Hoogbert Hut di tepian dinding kawah. Papandayan juga surga bagi peneliti gunung api dan tumbuhan pegunungan. Sebuah pondok penelitian Gunung Api dengan fasilitas yang lengkap termasuk bunker dan jaringan kabel telepon, didirikan pada tahun 1923 di gunung ini. Di sini juga merupakan tempat ahli botani bernama van Steenis mengumpulkan banyak contoh tumbuhan yang kelak diterbitan ke dalam buku terkenal, Mountain Flora of Java. Kini semua fasilitas fisik tersebut telah lenyap, hanya sedikit bekas reruntuhannya saja yang dapat dilihat. Setelah itu sempat dibangun beberapa bangunan penginapan dan warung namun tersapu oleh letusan gunung api. Selebihnya adalah ketenangan, keheningan, hingga tahun 2014. Suasana sepi seperti terlihat dalam foto di atas sudah sulit dijumpai karena sekarang tempat tersebut sudah sesak dipenuhi oleh warung-warung dan puluhan mobil dan sepeda motor serta lautan manusia.


Kawah Papandayan, terbuka menganga ke arah Lembah Garut yang luas

Biasanya saya hanya memandang kawah-kawah gunung api di Jawa dari kejauhan. Di Papandayan berbeda. Saya harus melintasi dan bersentuhan dengannya. Kaki menapak di batu-batu beraneka ukuran, membeku setelah dimuntahkan dari perut bumi.  Semburan uap panas atau sulfur berada di sisi saya. Atau golakan kepundan lumpur panas, kolam air mendidih atau endapan kuning sulfur. Aroma khas belerang kerap kali tercium. Agak di tepian kawah semak-semak suwagi dan herba paku kawah, memberi bercak-bercak hijau dan merintis kehidupan kembali. Kemampuan tumbuhan ini hidup di batuan dan tanah asam serta udara bercampur sulfur sungguh mengagumkan. Beberapa penduduk lokal berjalan kaki dengan membawa gembolan kain berpapasan dengan saya. Selalu saja saya berpapasan dengan mereka. Terkadang lelaki, terkadang perempuan, terkadang keluarga dengan membawa anak kecil bahkan bayi. Jalur ini jalan tersingkat penduduk gunung untuk bertransaksi di dengan masyarakat di dataran rendah. Saya membayangkan pada tuan-tuan Belanda pada tahun 1940-an yang berwisata ke sini. Bermalam di hotel Grand Cisoeroepan, beberapa kilometer di bawah dari arah kota Garut, lalu naik kuda menuju kawah.   

Letusan pada tahun 2002  merubah total wajah kawah ini setelah sebelumnya terbentuk dari erupsi besar pada tahun 1772 yang menyapu sekitar 40 perkampungan di sekitar gunung. Keindahan lama digantikan keelokan baru, alam dimudakan kembali. Ratusan tahun jalur ini melayani penduduk dan wisatawan, ratusan tahun dalam suara-suara alam lengkingan semburan uap air. Itu  berubah semua sekarang. Penduduk lokal kini melintasi kawah untuk menuju ke kebun atau warung. Sepeda motor merupakan pilihan bagi mereka yang punya nyali. Mesinnya meraung-meraung mengusik kesunyian. Rentetan wisatawan atau para pekemah bersambungan tidak habis-habis pada musim liburan. Semakin banyak wisatawan berarti semakin banyak warung, berarti semakin sering sepeda motor bolak balik mengangkut dagangan. Keheningan Kawah Papandayan lama kelamaan tinggal kenangan.  


Endapan Sulfur Kawah Papandayan

Nama Papandayan berasal dari bahasa Sunda 'Panday' yang berarti pandai besi. Hal ini dikarenakan pada masa lalu ketika masyarakat melintasi kawah mendengar suara-suara melingking mirip suasana di tempat kerja pandai besi. Suara ini berasal dari aktifitas vulkanik berupa semburan uap panas, kolam mendidih atau endapan belerang. Ada masa kawah Papandayan menjadi tempat penambangan belerang, karena di sini memang mengandung banyak sekali endapan sulfur bahkan sampai menjulang membentuk kolom-kolom setinggi manusia. Dahulu terdapat kawah Mas yaitu hamparan endapan belerang yang luas. Diberi nama Mas sebab bila dilihat dari ketinggian, terutama malam saat purnama, memantulkan warna kemilau emas. Letusan tahun 2002 menyapu semua keindahan ini dan merubah wajah Kawah Papandayan menjadi seperti saat ini.



Tegal Alun Papandayan tahun 2009, vegetasi mulai tumbuh kembali setelah tersapu awan panas.


Terdapat kawah-kawah lain di Papandayan dan umumnya sudah tidak aktif lagi. Bekas kawah tertua terletak pada ketinggian sekitar 2.500 m dan kini telah menjelma menjadi hamparan padang rumput luas bernama Tegal Alun. Disekelilingnya nampak dinding-dinding kawah membentuk Puncak Gunung Malang (2.675 m), Masigit (2.619 m), Saroni (2.611 m) dan Papandayan (2.638 m). Bagian tengah alun dibelah oleh aliran sungai kecil sedingin kristal menjadikan tempat ini tidak tertandingi untuk merasakan keheningan dan kebesaran Sang Gunung. Tidak hanya rumput, bunga abadi edelweis tumbuh dengan subur, bahkan tingginya sampai melebihi kita. Para pemburu sering mendatangi tempat ini karena babi hutan suka menampakan diri di sini. Dimana ada babi hutan di situ ada pemangsanya, tidak heran Tegal alun juga tempat berkeliaran macan tutul. Pada erupsi tahun 2002, material vulkanis menimbun tempat ini, menghancurkan semuanya. Setelah letusan, alam berusaha menemukan jalannya sendiri. Rumput timbul kembali, edelweis datang lagi seperti terlihat pada foto di atas. Namun proses ini tiba-tiba terpotong di tahun 2015. Amukan api muncul pada saat kemarau panjang, membakar habis Tegal Alun yang sedang tumbuh. Bila dahulu perubahan terjadi secara alami, kini faktor manusia mungkin turut berperan. Selalu terdapat resiko besar membiarkan Tegal alun menjadi tempat kunjungan yang ramai tanpa ada kegiatan pengelolaan. Sisa perapian yang belum padam, puntung rokok, bahan-bahan yang mudah terbakar bila terkena sinar matahari akan dengan mudah menghanguskan semuanya. 

  
Hutan mati di Papandayan tahun 2011, di bawah kaki Gunung Nangkal yang runtuh sebagian akibat gempa.

Letusan Gunung Papandayan Tahun 2002, memicu gempa besar hingga Gunung Nangklak sebagian ambrol. Material vulkanis letusan yang tertimbun di sekitarnya sangat tebal sehingga sampai kini, 13 tahun kemudian, ekosistem yang ada belum mampu memulihkan diri. Tonggak-tonggak pepohonan suwagi menjadi penanda bahwa dahulu tempat ini merupakan hutan yang rimbun. Saya sering melewati hutan suwagi lebat ini pada tahun-tahun sebelum letusan. Melewati hutan mati ini menimbulkan suasana berbeda, perasaan berbeda akan kehebatan dari alam. Sering kabut turun, menciptakan deretan bayangan tegakan hitam samar-samar. Kesan misterius dan mistik bersatu. Uap udara yang dibawa kabut ditangkap dalam jaring-jaring laba-laba pada pohon-pohon mati. Hewan ini berkeliaran pada hutan mati, membuktikan kemampuannya sebagai pengkoloni awal dari tempat-tempat yang dianggap tidak mampu menompang kehidupan.







Besambung...... 

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas