Sisi Lain Gunung Bromo (Bagian 1)

Gunung Bromo, siapa yang tidak mengenalnya. Lautan pasir, lanskap gunung api, tempat terbaik melihat matahari terbit, daya tarik wisata kelas dunia, upacara Kasodo, jazz gunung, itulah deretan kata-kata yang melekat dengan gunung ini. Banyak yang sudah ke sana, banyak yang ingin ke sana. Para wisatawan asing yang menjelajahi Pulau Jawa pasti menyempatkan diri menengoknya. Kepopuleran ini membawa konsekuensi. Berjubel wisatawan datang ke Bromo, menyemuti gunung ini. Lautan pasir terkadang menjadi lautan manusia. Dalam situasi seperti ini  sulit bagi kita dapat merasakan keagungan sesungguhnya dari Gunung Bromo, saat bentang alam menakjubkan  berpadu dengan keheningan dan suara-suara alam. 

Namun Bromo hanya setitik tempat di dalam Kaldera Tengger yang luas dengan lebar mencapai 16 km. Tahun 2011 saya mengelilingi kaldera ini. Ternyata cukup mengejutkan, walau sudah  sesuai dengan yang diperkirakan, masih ada lokasi lain menyajikan keunikan yang tidak kalah menarik. Tidak hanya indah tetapi juga masih tenang dan terasa damai. Kadang tempat tersebut tidak jauh dari pusat keramaian yang ada, hanya perlu bergeser sedikit dan mencoba melihat dari sudut pandang berbeda. Waktu kunjungan atau melihat juga turut punya peran untuk mendapatkan hal-hal baru. Tempat-tempat yang digambarkan berikut ini mungkin saat ini sudah tidak seperti tahun 2011. Bisa jadi bentuknya berubah, mungkin juga sudah tidak sesepi dulu. Alam di daerah vulkanik selalu penuh dinamika namun kini faktor manusia lah yang berperan besar. Sebagai daerah wisata terkenal maka pengunjung akan mudah untuk merambah tempat-tempat baru untuk didatangi. Terlebih bila kegiatan pengaturan pengunjung  yang ada belum cukup memadai untuk bisa mencegah dampak negatif yang ditimbulkan dari riuhnya wisatawan.  

Bromo Saat Erupsi

 Aktifitas vulkanik Gunung Bromo pada tahun 2011

Sebagai gunung yang masih aktif, Bromo selalu bergejolak. Pada tahun 2010, gunung ini meletus guna memperbaruhi alam kembali. Menyaksikan erupsi Gunung Bromo  adalah sensasi yang luar biasa, asal dari  jarak yang aman. Gelegar Sang Gunung dengan semburan debu vulkanik ke angkasa, pada saat cuaca yang tepat seperti di pagi hari, ketika kabut masih memenuhi dasar lautan pasir, akan menciptakan pemandangan bak dalam dunia mimpi. 

Tantangan Dinding-dinding Kaldera

Tebing cadas berpadu dengan lautan pasir yang mulai tertutupi rumput hijau di salah satu sudut dinding Kaldera Tengger

Dinding-dinding cadas Kaldera Tengger dengan ketinggian hingga 200 meter, memiliki pesona tersendiri. Sering kita hanya menginjak bagian atasnya saja pada tempat tertentu, yaitu Cemoro Lawang atau Penanjakan, atau sedikit melewatinya saat turun ke lautan pasir. Jarang yang mau menjelajahi bagian lain dinding ini apalagi turun ke dasarnya untuk memandang dari bawah. Padahal Kaldera Tengger menyediakan tempat luas bagi kita untuk menikmatinya dari berbagai titik dan sudut dalam merasakan kebesaran Sang Alam. 


Di luar Pananjakan


Penduduk lokal berangkat mencari arang melintasi daerah Metigen

Tentu tempat terbaik untuk melihat bentang alam Gunung Bromo adalah di Pananjakan. Gambar Gunung Bromo dengan lautan pasir berlatar belakang Gunung Semeru yang banyak terpampang di berbagai media cetak nasional maupun internasional diambil dari lokasi ini. Namun jika sudah bosan dengan Pananjakan atau ingin memandang Bromo dari tempat yang berbeda, tersedia banyak ruang dengan atmosfernya masing-masing. Saya bisa duduk termanggu berjam-jam di Seruni Point tepat di ujung dinding kaldera yang langsung menghujam tegak lurus ke jurang yang dalam untuk mengamati perubahan alam di pagi hari. Atau berkeliaran di Metigen yang sepi sambil menunggu matahari terbit, atau di dimana pun di balik kebun-kebun masyarakat Tengger atau semak belukar tepat di tepian dinding kaldera, atau di puncak bukit-bukit sebelum Pananjakan. Semuanya menyajikan pesona luar biasa.

Sentuhan Lautan Pasir


Bukit-bukit pasir timbunan dari material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Bromo

Lautan pasir di sekitar Gunung Bromo sebenarnya adalah dasar kaldera yang rata, kering dan dangkal, terisi pasir vulkanik steril dan batu-batu kecil yang dimuntahkan gunung saat meletus.  Pasir-pasir ini mempunyai  alur atau bentuk yang berubah-ubah dipengaruhi oleh angin dan hujan. Bilamana menerima pasokan material baru terus dari letusan Gunung Bromo, seperti di wilayah utara Kaldera Tengger, maka tidak ada satupun tumbuhan yang bisa hidup. Berjalan melintasi lautan pasir, menapaki pasir-pasir vulkanik, memberi sensasi tersendiri. Satu lemparan batu ke tanah, alih-alih kita mendengar suara 'buk' benda tertahan tanah, yang terdengar adalah 'dung' dengan sedikit gema, menandakan bagian bawah lautan pasir tersebut terdapat rongga besar.  Hanya dengan menyentuh langsung alam, bukan berdiam di dalam kendaraan saja, kita baru dapat memahami gunung ini.

Simfoni Pagi Hari


Saat mentari pagi mulai menghalau kabut dan udara dingin di perkampungan 
di tepian Kaldera Tengger

Malam hari di perkampung-perkampungan Masyarakat Tengger dekat tepian kaldera, suhu udara sangat menusuk. Rata-rata terletak pada ketinggian 2.200 meter, cukup untuk membuat badan menggigil menahan dingin apalagi pada musim kemarau. Wadah bakaran arang  yang dinyalakan tidak cukup untuk menghangatkan badan. Sehingga pagi hari adalah momen yang ditunggu-tunggu, ketika sinar mentari mulai jatuh menghangatkan badan. Kita bukan satu-satunya, seluruh alam terhangatkan. Ketika cahaya merayap, membelai dedaunan dan menghalau lautan kabut, itu sungguh sangat mengagumkan.  

Bersambung....

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas