Pulau Weh, Tempat Waktu Berhenti

Mendengar nama Weh mungkin orang akan bertanya dimanakah gerangan. Namun bila saya sebut Sabang-Aceh, maka dengan segera semua mengenalnya sebagai tempat paling ujung barat Kepulauan Indonesia. Kenyataan adalah Sabang merupakan setitik noktah di Kepulauan Weh, yaitu kota terbesar  di pulau ini. Periode 2007-2010, setiap tahun saya menjejakkan kaki di Weh. Dengan segera saya jatuh hati pada tempat ini. Pantai-pantainya indah kaya beraneka ragam ikan, lingkungannya penuh pepohonan hijau segar, dan masih terdapat hutan kepulauan yang terjaga. Tetapi  hal yang membuat saya paling suka adalah ritme kehidupan yang santai dan damai, baik itu pada  masyarakat maupun alamnya. Semua ini membuat waktu terasa terhenti di sini.  


Kepulauan Weh  tampak didominasi oleh lahan yang berbukit-bukit

Para pelaut Portugal sudah mencatatnya pada abad ke 16, demikian pula para pedagang dari Arab. Suatu pulau yang harus diwaspadai. Sejarawan dari Perancis Denys Lombard menyebutkan karang-karang pulau ini sering mengkaramkan kapal-kapal yang kurang waspada saat hendak memasuki perairan kerajaan Aceh. Penjelajah Belanda Nicolaus de Graaf (tahun 1641) mengisahkannya:  'Adapun kami yang berlayar dengan kapal Dragon itu menuju Kerajaan Aceh, tetapi kapal kami kandas di karang-karang Poulo Way'. Pulau ini dikenal sebagai tempat pengasingan orang-orang buangan atau bermasalah dari Kerajaan Aceh. Namun diketahui pulau tersebut kaya akan belerang dan beberapa kali menjadi tempat persinggahan kapal untuk mengisi air tawar. Kini pulau itu dikenal dengan nama Weh.  


Weh adalah suatu pulau vulkanik kecil terletak di Laut Andaman, pada ujung paling barat Pulau Sumatra. Aktifitas gunung api pada era pleistosen (1,8 juta-8.000 tahun yang lalu) bertanggung jawab atas pembentukan pulau ini dengan memisahkannya dari daratan Sumatera. Cobalah berkeliling  pulau maka akan terlihat  banyak jejak-jejak gunung api. Batu-batu vulkanik berukuran besar yang terlontar saat gunung meletus berserakan dimana-mana. Kawah dengan semburan belerang dapat dijumpai daerah Jaboi atau mata air panas di Keneukai dan pantai utara Iboih. Bahkan bukti ini bisa ditemukan hingga di dasar laut berupa semburan fumarol di pantai Teluk Pria Laot. Mungkin itu sebabnya pulau ini bernama  Weh, berasal dari bahasa Aceh yang artinya 'terpisah', bisa dimaknai terpisahnya bagian ini dari daratan Sumatera akibat letusan gunung api (ada banyak versi mengenai arti Weh, salah satunya Denys Lombard mengatakan berasal dari kata 'waih' yaitu persinggahan untuk mengambil air minum). Begitu pula nama Sabang konon  berasal dari bahasa arab 'shabag' yang berarti gunung meletus. Pemisahan dari daratan Sumatera menciptakan Pulau Weh seluas 154 km2, dengan 4 pulau-pulau kecil di sekelilingnya yaitu Rubiah, Selauko, Kla dan Rondo. 

Jalan di Kota Sabang dinaungi keteduhan deretan pohon-pohon asam tua


Menyusuri jalan-jalan di Kota Sabang pada sore hari adalah suatu kenikmatan tersendiri. Saya bisa berlama-lama di duduk di kursi taman pada tepi jalan yang sepi sambil memandang  lautan di bawahnya, atau berburu kuliner di Jalan Perdagangan yang ramai. Pohon-pohon asam raksasa berumur mungkin ratusan tahun berjajar pada tepi jalan memberi keteduhan dan sekaligus menjadi saksi bagaimana Kota Sabang berkembang. Bermula dari desa nelayan pada sekitar abad 19, kemudian dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1881 sebagai stasiun pengisian batu bara bagi kapal-kapal angkatan laut. Posisi yang strategis dekat Selat Malaka dan mempunyai perairan dalam serta terlindung, membuat tempat ini sempurna bagi pelabuhan alam. Sabang semakin ramai disinggahi kapal-kapal dagang untuk mengisi bahan bakar dan air bersih, ketika tahun 1895 diresmikan sebagai pelabuhan bebas dan dikelola  oleh swasta. Kejayaan pelabuhan Sabang mulai memudar akibat perkembangan teknologi ketika kapal-kapal bermesin diesel mulai mengantikan kapal bertenaga uap. 


Keindahan Pantai Gapang perpaduan laut biru muda jernih, pantai pasir putih dan pepohonan hijau


Kebanyakan waktu saya di Weh dihabiskan di bagian barat laut pulau, yaitu pada daerah Iboih dan Gapang. Di sini saya bisa menemukan tempat-tempat perairan biru jernih penuh ikan-ikan karang warna-warni dengan pantai pasir putih sempit tapi indah, dan yang paling penting adalah suasana santai dan tenang. Pantai Gapang adalah tempat favorit. Saya bisa bermalas-malasan selama berjam-jam berbaring di pantai, merasakan semilir angin laut, mendengarkan suara deburan ombak dan pemandangan warna biru menyegarkan mata. Bila bosan tinggal langsung menyeburkan diri ke laut berenang atau bersnorkeling bersama ikan-ikan karang yang indah. Malam hari saat cuaca cerah, bintang-bintang bertaburan di langit menemani waktu makan.  Menu spesial hidangan makanan laut segar bisa dipesan pada warung-warung makan di situ. Terlalu sepi? tinggal geser sedikit ke tempat yang lebih ramai wisatawan di Teupin Laye da Teupin Sirkui-Iboih tidak jauh dari Gapang. Fasilitas wisata lebih banyak di sini, seperti penginapan, warung makan, dive center, atau pernyewaan perahu. Jangan bayangkan resor atau hotel, penginapan yang ada kebanyakan cottace dengan kamar-kamar sederhana. Ketenangan adalah kelebihan kawasan ini. Jalan raya utama di kawasan ini  sepi hanya sesekali terdengar suara kendaraan bermotor. Ritme kehidupan masyarakatnya pun  santai, tanpa terburu-buru. Kombinasi semua ini menciptakan satu hal penting bagi saya. Waktu berjalan lambat sekali di Weh.  Namun jangan terlalu berharap menemukan situasi ini pada waktu hari libur atau puncak musim kunjungan. Saat ini wisatawan lokal, domestik dan asing beramai-ramai datang menyesaki Iboih dan Gapang.   


Pulasan warna biru yang mempesona di perairan Pulau Rubiah


Boleh dibilang, Pulau Rubiah adalah permata dari Pulau Weh. Perairannya jernih sekali dengan warna biru muda  menyegarkan mata. Di dalamnya terdapat terumbu karang rumah berbagai macam ikan. Memang dari keaneragaman terumbu tidak terlalu tinggi, namun dari sisi ikan karang, di sinilah dunianya. Jumlah mereka melimpah, lalu lalang tiada henti akan membuat kita lupa akan waktu ketika berenang atau bersnorkeling di Rubiah. Bagian daratannya masih tertutup hutan meskipun tidak terlalu rapat dan bila kita jelajahi siapa tahu dapat beruntung  melihat burung Dara Nicobar langka, penghuni tempat ini. Legenda mengisahkan pulau ini berkaitan erat dengan  wanita cantik bernama Putri Rubiah, seorang pemimpin setempat yang  mengorbankan diri demi rakyatnya ketika letusan gunung api memisahkan wilayah tempat tinggalnya dari daratan utama. Perhiasaan yang dia buang ke laut sebagai persembahan agar rakyatnya diberi air tawar kini berubah menjadi terumbu karang. Sementara tubuhnya sendiri, setelah dia terjun ke laut, menjelma menjadi sebuah pulau. Kecantikan putri tersebut masih terpancar kuat hingga kini di Pulau Rubiah.

  Pemandangan menakjubkan ke laut lepas dari kawasan Titik Nol

Tidak ada yang lebih berkesan daripada menikmati sore hari di Titik Nol-Ujung Bau untuk melihat matahari terbenam. Dinamakan Titik Nol karena pada lokasi ini dibangun tugu penanda batas terluar Indonesia, walaupun sebenarnya titik terluar bukan di sini melainkan lebih ke utara lagi di Pulau Rondo. Menuju ke tempat ini cukup mudah tidak jauh dari Iboih melalui ada jalan aspal yang membelah hutan Taman Wisata Alam seluas 1.300 hektar. Jalan berakhir pada punggungan yang langsung jatuh bebas ke bawah setinggi kurang lebih 30 meter. Biasanya saya datang beberapa jam sebelum waktu matahari terbenam untuk menikmati keheningan alam, desiran angin, sayup-sayup deburan ombak dan tentu pemandangan luar biasa ke arah laut lepas. Monyet-monyet ekor panjang yang usil selalu menemani kehadiran saya. Bekas galian babi hutan ada dimana-mana. Terkadang suara burung Kedasi Hitam yang keras dan jernih memecah kesunyian. Bila masuk ke dalam hutan, langsung gemersik serasah daun di lantai hutan terdengar akibat injakan Bunglon belukar moncong panjang berlarian berhamburan ke segala penjuru. Puncaknya adalah mengamati matahari terbenam. Sangat indah. Setelah itu, saya lebih memilih tinggal sejenak dan baru kembali ke Iboih saat sudah gelap. Terkadang perjalanan pulang pada malam hari ditemani oleh babi hutan yang berlarian karena melihat sorot lampu kendaraan. Paling istimewa adalah saat purnama. Tidak perlu menggunakan lampu kendaraan karena sinar rembulan menembus hingga menerangi jalan, dibalik bayangan pepohonan yang mengagumkan. 


Pemandangan indah ke arah Selat Malaka pada daerah bunker Jepang, Anoi Itam

Bagian pulau sebelah timur menyimpan cerita lain. Keindahan tetap nampak pada deretan pantai pasir putih di Pantai Kasih, Tapak Gajah dan Sumur Tiga, serta  pantai pasir hitam di daerah Anoi Hitam. Pada tempat terakhir ini banyak ditemukan reruntuhan benteng pertahanan milik militer Jepang. Pada masa perang dunia kedua, Pulau Weh diperebutkan karena mempunyai posisi strategis di Selat Malaka. Maret 1942,militer Jepang mendapat dan dalam waktu singkat merebut Pulau Weh dari pemeintah Hindia Belanda. Dengan segera mereka membangun sistem pertahanan di seluruh pulau terutama yang menghadap ke Selat Malaka. Menurut situs www.naval-history.net, pada tahun 1942, pihak sekutu dengan dipimpin oleh Amerika mengempur pulau ini dengan kapal-kapal perang. Sabang pun dibombardir oleh pesawat-pesawat Amerika. Mengunjungi bunker-bunker pertahanan sambil mengamati di laut, seolah saya bisa merasakan ketegangan para tentara yang bertugas di sini ketika kapal-kapal perang sekutu muncul di ufuk cakrawala.  


Suasana sepi Jalan Perdagangan, Sabang saat toko-toko tutup istirahat siang

Tengah hari, pusat-pusat keramaian Sabang seperti Jalan Perdagangan mendadak sepi. Toko-toko tutup semua untuk istirahat siang. Kebiasaan jaman dahulu masih tetap berlaku di sini. Sore jam 5, toko-toko baru buka kembali, suasana jadi meriah lagi. Irama kehidupan yang rileks ini sungguh buat saya adalah nilai lebih dari Pulau Weh. Namun semua kisah yang saya ceritakan ini belum tentu ada lagi. Sudah lima tahun saya belum menengok lagi dan rentang waktu segitu cukup untuk terjadi banyak hal. Apalagi tingkat kunjungan wisatawan ke meningkat pesat dalam beberapa tahun belakangan mencapai lebih dari 400 ribu orang per tahun. Kondisi ini membawa konsekuensi dan perubahan tidak terelakkan pasti terjadi. Akan kah waktu tetap berhenti di Weh? Rasanya berat memikirkannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas