Sumba: Antara Batu Besar, Padang Rumput dan Kuda

Tahun 2010 dan 2011 saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pulau Sumba. Mendengar nama itu pikiran  langsung terhubung ke Pasola, suatu upacara tradisional pertempuran menggunakan kuda dan tombak. Di sinilah tempat ritual eksotis ini berlangsung. Saya juga tahu, Sumba merupakan rumah tersisa bagi budaya Megalith. Kuburan batu ukuran besar mewarnai kampung-kampung tradisional. Masih ada lagi ciri khas lain pulau ini yang saya dengar, yaitu padang rumput luas  tempat kuda-kuda berlarian. Bagi mereka yang mengunjungi Sumba sebelum abad 18, mungkin menemukan hal lain yang berharga, yaitu kayu cendana. Sayang, perjalanan ini hanya singkat saja,  tidak ada kesempatan menjelajahi lebih dalam  kehidupan alam, masyarakat dan budaya. Saya hanya bisa memandang sedikit apa yang ada di permukaan, yaitu bentang alam Pulau Sumba. Permukaan ini indah, misterius dan  seolah memanggil-manggil untuk mengungkapkan kisah-kisah  menakjubkan.


  Kuburan-kuburan  batu besar menyatu dengan bentang alam Sumba bagian barat


Saat menjelajahi Sumba, kita akan sering menemui lempeng-lempeng batu besar, berbaring ditompang beberapa tiang batu atau satu batu utuh. Lempeng ini panjangnya sekitar 2 meter dengan lebar 0,5 meter dan tebal 15-30 cm. Bisa dibayangkan betapa beratnya. Bentuknya persegi sempurna menunjukkan bahwa ini bukan alami melainkan buatan. Pikiran saya melayang, mungkin ini pekerjaan manusia-manusia raksasa yang konon menurut cerita pernah ada di sini. Kenyataan tidaklah seperti itu, batu ini karya masyarakat Sumba sejak jaman dahulu kala. Lempeng-lempeng batu ini merupakan kuburan. Batu kubur dibuat besar dan kadang megah sebagai penghormatan bagi leluhur yang telah meninggal. Kebiasaan penguburan ini bagian dari kepercayaan tradisional Marapu dan kemungkinan sudah dipraktekkan sejak milenium pertama tahun masehi. Membayangkan pada masa itu bagaimana orang-orang bekerja bersama memotong batu, memindahkan ke lokasi penguburan, dan menata kubur batu, dengan teknologi sederhana, saya pikir ini sangat mengagumkan dan sesuatu yang harus dihargai.   

Hamparan persawahan pada kantong-kantong hijau di Pulau Sumba terutama pada bagian Barat


Bagian barat Pulau Sumba di anugerahi iklim lebih basah dibandingkan sebelah timur. Kondisi ini menciptakan lingkungan lebih lembab, ditumbuhi subur oleh vegetasi hijau. Tidak mengherankan, saya menemukan persawahan pada tempat ini. Padi baik itu di lahan basah maupun perbukitan kering telah menjadi sumber pangan utama masyarakat Sumba sejak dahulu. Jagung, ubi kayu dan ubi jalar memperkaya sumber karbohidrat di sini. Pasokan pangan berkecukupan, mendorong pertumbuhan populasi manusia. Sumba bagian barat relatif padat penduduknya. Jarak antar kampung tidak terlalu jauh. Bila menyusuri jalan Trans Sumba  pada ruas bagian barat, tampak pemukiman-pemukiman yang hampir bersambungan di kiri kanan jalan.  

Gemuruh Samudra Hindia menemani kelompok ternak paling umum di Sumba, yaitu kerbau
.   
Hewan ternak telah menjadi bagian dari peradaban masyarakat Sumba sejak masa lalu. Bebebapa hewan mempunyai nilai dalam pesta adat untuk dikorbankan seperti kerbau, babi dan ayam. Selain itu kerbau, kuda, babi dipakai juga sebagai alat pembayaran. Belakangan masyarakat mulai menernakkan  sapi dan bebek. Hewan-hewan berukuran sedang dan kecil dipelihara di sekitar rumah. Sedangkan hewan besar seperti kerbau, mereka menaruh dalam kandang lebih luas atau menggembalakannya di padang terbuka. Bertemu dengan gerombolan kerbau sedang merumput, buat saya itu menarik. Apalagi kerbau sumba dikenal memiliki tanduk besar dan panjang.   


Padang rumput sejauh mata memandang di Sumba Timur


Gambaran Sumba dibenak kebanyakan orang, padang rumput kering dan gersang, melekat pada bagian timur pulau. Tempat dimana iklim lebih keras dan matahari menyengat lebih tajam. Populasi manusia pun lebih jarang, banyak ruang-ruang luas terasa kosong. Lingkungan seperti ini akhirnya cocok untuk satu hal yaitu peternakan kuda. Pada abad 19, Pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan di Kota Waingapu (sekarang ibu kota Kabupaten Sumba Timur) untuk mengangkut kuda dan kerbau ke Pulau Jawa. 

Kegersangan bukan berarti buruk. Menyusuri jalanan membelah padang rumput sambil memandang ke segala penjuru yang lapang, kosong dan sunyi, sungguh hal luar biasa. Apalagi pada pagi, sore atau cuaca sedang teduh ketika cahaya matahari memainkan warna. Malam hari, ceritanya berbeda namun tetap mempesona. Udara lebih sejuk, berpadu dengan hembusan angin. Dan ketika menengok ke atas, saya hanya bisa berdecak. Ribuan bintang-bintang bertaburan begitu jelas memenuhi langit.   

Bagian tengah Sumba Timur berjajar bukit-bukit dengan bentuk yang menarik

Memasuki pedalaman Sumba Timur, saya menemukan sesuatu yang memukau. Jajaran bukit-bukit dengan ketinggian yang hampir sama dan sebagian besar diselimuti oleh rerumputan, mendominasi pemandangan. Bukit-bukit ini berlapis-lapis, menyimpan kisah-kisah masa lalu tentang pembentukan Pulau Sumba. Alur-alur akibat erosi air terbentuk di badan bukit sementara antara bukit yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh lembah sempit namun tidak dalam. Saya merasa seperti di film-film koboi produksi hollywood, berada di Amerika Serikat bagian tengah, tempat dimana padang rumput dan perbukitan berkuasa. Terlebih di sini sering terlihat kuda-kuda Sumba berkeliaran, makin menguatkan fantasi itu. 


Aneka bentuk bebatuan unik menghiasi di bagian tengah Sumba Timur


Pulau Sumba secara geologi dikenal sebagai serpihan atau fragmen benua, mengapung di antara Sundaland (bagian dari benua asia) dan Australia. Pendapat para ahli geologi terbelah dua, sebagian  mengatakan pulau ini dahulu bagian dari Sundaland, lainnya menyebutkan dahulu bersatu dengan Australia. Konon hasil penelitian menunjukkan Pulau Sumba berjalan di lautan selama 40 juta tahun hingga berhenti pada posisi sekarang sekitar 20 juta tahun lalu.  Proses geologi membentuk wajah pulau ini ke dalam beberapa tipe bentang alam : pesisir berundak-undak di pantai utara disusun oleh batu gamping koral; bukit-bukit bergelombang di bagian tengah Sumba Timur; karst yang terdiri dari batuan gamping terutama di bagian barat;  dan pegunungan di bagian selatan  disusun oleh batuan gunung api, beku dan sedimen. Mungkin kondisi ini membuat saya sepanjang perjalanan selalu banyak berhenti untuk mengamati berbagai bentuk bebatuan atau lahan yang unik dan menarik. 


Jalan berkelok-kelok menuju kawasan masih berhutan di Sumba Timur


Beberapa kajian sejarah menyebutkan nama Sumba sudah muncul pada jaman kerajaan Majapahit. Jaringan perdagangan Sumba dengan pulau-pulau sekitarnya (Savu, Sumbawa dan Flores) sudah terbentuk sebelum meluas ke Pulau Jawa. Pada abad ke 16, kapal-kapal Spanyol dan Portugis melayari perairan Indonesia Timur dan sering singgah di Sumba untuk melakukan perdagangan. Salah satu komoditas yang sering disebut-sebut diambil dari pulau ini adalah Kayu Cendana atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Sandalwood. Membaca ini saya agak bingung karena sepanjang perjalanan, tidak terlihat pohon itu. Kalau dulu Sumba memang pusat kayu cendana tentu akan dengan mudah menemukan tanaman ini. Mungkinkah hamparan padang rumput di Sumba dahulunya adalah hutan penuh dengan pohon cendana?  Secara teori, jika melihat iklim dan tanah maka Pulau Sumba seharusnya ditutupi oleh hutan musim yang kering. Padang rumput yang ada sekarang kemungkinan besar berasal dari hutan yang dibuka kemudian dibakar berulang kali. Ahli ekologi hutan T.C Whitemore dalam bukunya Tropical Rain Forest of Far East (1984), menyebutkan kemungkinan seluruh padang rumput tropis berasal dari hutan sebagai akibat kebakaran yang dikarenakan oleh manusia atau petir. Kathryn Monk dkk dalam buku  Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku tahun 2000, mengungkapkan kayu cendana hampir punah dari Pulau Sumba, Timor, Flores dan pulau-pulau di sekitarnya karena pemanenan berlebihan di masa lalu. Kayu ini sangat dicari karena kandungan minyaknya dan sebaai bahan ukiran. Kini hutan Sumba hanya tersisa pada beberapa kantung-kantung tertentu saja. Saya hanya bisa berkhayal Sumba masa lalu yang ditutupi hutan penuh dengan burung-burung Rangkong Sumba beterbangan.  


Kuda Sumba dikenal dengan nama Kuda Sandel, suatu ketika memenuhi padang rumput di Sumba


'Dahulu jumlahnya banyak. Sekali lewat sampai ratusan ekor'. Kata-kata masyarakat lokal tersebut masih terngiang-ngiang. Saya coba membayangkan. Ratusan ekor kuda dalam satu kelompok di padang rumput yang terhampar di depan saya. Wow, pasti akan sangat menakjubkan. Kuda Sumba dikenal dengan nama kuda sandel. Nama yang dihubungkan dengan kata sandalwood atau kayu cendana, komoditas andalan Sumba di masa lalu. Bentuk tubuhnya relatif pendek dibandingkan jenis kuda lain tetapi memiliki kaki dan kuku yang kokoh serta daya tahan yang kuat. Makanya jenis ini sering digunakan untuk kuda pacu. Sudah lama saya sering bertanya dari mana asal Kuda Sumba? Sepengetahuan saya bentuk tubuh kuda adalah hasil evolusi untuk bertahan hidup di daerah terbuka seperti padang rumput. Sementara Sumba dan tempat-tempat lain di Indonesia, dahulu tertutup semuanya oleh hutan tropis. Jadi pasti ada yang membawanya ke sini. Tidak mudah menemukan literatur yang membahas tentang hal itu. Pada abad ke 18, Sumba sudah dikenal sebagai pengekspor kuda. Kemungkinan kuda pertama kali diperkenalkan ke Sumba, ketika perdagangan dengan dunia luar sudah berjalan. Abad 16, kapal-kapal Portugis sering singgah ke Sumba, untuk melakukan barter berbagai komoditas. Tidak tertutup kemungkinan kuda adalah salah satu barang yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa ini. Atau mungkin bisa terjadi jauh sebelumnya dengan pedagang-pedagang Cina atau Arab yang sudah datang terlebih dahulu. Hal ini didukung kenyataan bahwa Kuda Sumba banyak mengandung unsur-unsur Kuda dari Arab.


Kuda-kuda Sumba masih berkeliaran di padang rumput, walau jumlahnya sekarang sudah tidak sebanyak dahulu. Wabah penyakit pernah menyapu populasi kuda ini, selain juga bersaing dengan jenis ternak favorit lainnya yaitu sapi dan kerbau.  Namun mereka masih bertahan. Ratusan tahun lalu, nenek moyang mereka menemukan tanah baru, lalu menyesuaikan diri dan sukses berkembang. Kini kuda adalah bagian tidak terpisahkan dari Pulau Sumba.

Kesunyian sebatang pohon di tengah samudra padang rumput


Perubahan adalah sesuatu tidak terelakan. Kini Sumba semakin ramai. Pulau ini menjadi lebih mudah dicapai dengan adanya penerbangan langsung ke Tambolaka di Sumba bagian barat. Wisatawan makin banyak datang. Pantai-pantai pasir putih indah menjadi sasaran dikunjungi. Ritual pasola adalah sesuatu yang dinanti-nanti. Burung-burung endemik dicari-cari oleh wisatawan birdwatching. Teknologi dan modernisasi tidak bisa dicegah apalagi jika dapat mempermudah hidup masyarakat setempat. Beberapa kuburan dari beton dan semen mulai nampak. Jalan-jalan dibuka dan diperbaiki. Namun industri pertambangan juga mengintai untuk beroperasi. Saya tidak tahu kemana arah perkembangan ini tapi berharap menuju ke  yang lebih baik bagi alam maupun masyarakat Sumba. Semoga suatu hari nanti bila ada kesempatan mengunjungi pulau ini lagi, saya masih bisa menemukan keindahan, kesunyian dan kemisteriusan. 

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas