Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Kabut tipis menyelimuti warna hijau gelap deretan pohon-pohon  pada lereng perbukitan. Kebanyakan bertajuk membentuk seperti payung terbuka, beberapa pohon tampak menjulang melebihi lainnya. Seekor elang hitam terbang melayang berpatroli mengamati situasi di hutan, mencari kesempatan memburu bajing atau satwa kecil lainnya. Dia hanyalah satu diantara ribuan jenis binatang besar maupun kecil, penghuni hutan ini. Pada lantai hutan berserasah daun, pada semak-semak, pada dahan-dahan, pada tajuk-tajuk pohon. Ketika kabut terbuka, sejauh mata memandang adalah bukit-bukit hijau tertutup lebat tumbuhan. Menjelajahinya adalah tantangan besar. Bagian tepian hutan, berbatasan dengan kebun-kebun masyarakat mudah dijangkau namun lain ceritanya jika semakin masuk ke dalam. Lereng-lereng terjal, lembah-lembah sempit, udara lembab, pacet, semut, tawon dan hewan melata lainnya siap menghadang. Selamat datang di Tangkahan, hutan hujan tropis dataran rendah perbukitan.


Tempat ini adalah salah satu hutan yang paling sering saya datangi, sejak tahun 2002. Jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 100 km, hanya 2-3 jam dari kota Medan, Sumatera Utara. Dulu ketika jalan masih hancur bisa memakan waktu lebih dari itu, apalagi di musim hujan. Kini dengan  menyisakan sedikit bagian yang masih rusak, Tangkahan semakin mudah dicapai. Masih terbayang, awal-awal ke tempat ini dengan menggunakan bus Pembangunan Permesta atau disebut PS dari terminal Pindang Baris-Medan. Hanya ada satu bus dengan rute ke Tangkahan dengan tampilan bodi luar dan interiornya sangat menyedihkan. Terkelupas dan karatan. Tetapi kemampuan mesinnya jangan ditanya. Apalagi disetiri oleh tangan dingin Wak Ali dan kernetnya, Slamet. Tidak ada yang tidak bisa dilewati oleh bus ini. Perjalanan ke Tangkahan selalu lancar.     

Saat kabut tipis merayapi hutan tropis dataran rendah Tangkahan

Hutan Tangkah adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser pada daerah dataran rendah. Di sinilah pusat kekayaan keanekaragaman hayati Sumatera. Suara siamang dan wau-wau tangan putih sering terdengar saling bersautan.Gerombolan monyet daun kedih tidak jarang terlihat bermain di pepohonan. Empat mamalia besar Sumatera  terkenal, berkeliaran di sini walau tidak mudah melihatnya. Orang utan sesekali melintas, menampakkan diri. Sedangkan harimau jarang sekali muncul namun mangsanya banyak dijumpai di sini. Gajah liar pernah beberapa kali muncul. Saya pernah menjumpai jejak dan kotorannya yang masih segar di hutan. Gajah ini berjalan hanya beberapa menit di depan saya, mendaki bukit, menggunakan jalan setapak yang sama di hutan. Pemandu saya langsung panik, dan memilih keluar dari jalan setapak dari pada berhadapan dengan gajah yang tidak mengenal takut. Badak Sumatera lebih sulit untuk ditemukan, harus masuk jauh lebih ke dalam lagi. Salah satu mangsa harimau yang sering terdengar suaranya adalah kambing hutan. Ketika banjir besar melanda sungai-sungai di Tangkahan tahun 2003, beberapa kambing hutan terdampar akibat disapu oleh air banjir. Satwa lain, beruang madu tidak jarang  berkeliaran di dekat tempat penginapan wisatawan. Burung, ular, dan binatang-binatang kecil lainnya selalu muncul, memeriahkan suasana hutan. Tepi sungai menjadi tempat berkumpul beraneka macam kupu-kupu dan capung, sedangkan di dalam sungai, ikan Jurung bermain pada aliran-aliran air deras. Di antara semua mahluk hidup ini, mungkin pacet adalah paling menakjubkan sekaligus sumber masalah. Jumlah mereka banyak sekali -apalagi pada musim hujan- sehingga rasanya mustahil masuk ke dalam hutan tanpa memberikan donor darah ke mahluk ini. Sering saya berhenti sejenak pada waktu jalan di hutan lalu memperhatikan lantai hutan berserasah di sekeliling saya. Para pacet dengan segera mendeteksi panas tubuh manusia dan mulai bergerak menghampiri. Saya bisa melihat dengan jelas, mereka melekukan tubuh dan mendorong maju, tergesa-gesa menuju ke saya dari berbagai penjuru.     

Aliran Sungai Batang Serangan berwarna kehijauan bertemu dengan Sungai Buluh yang lebih kecil, tepat di Tangkahan

Aliran sungai-sungai kecil pada lembah-lembah dalam merupakan ciri khas dari hutan di Kawasan Leuser. Tangkahan tidak terlepas dari sifat ini. Gemuruh aliran air Batang Serangan memisahkan hutan dengan kebun-kebun sawit, sementara Sungai Buluh dengan ukuran lebih kecil bermuara di sini, menjadi tanda batas hutan taman nasional. Kedua sungai ini dibatasi oleh tebing-tebing tanah dengan ketinggian bervariasi mulai dari 5-15 meter, sebelum mencapai ke permukaan air. Semakin ke masuk dalam hutan, tebing ini semakin tinggi. Musim kemarau tempat ini ibaratnya nirwana. Air sungai Batang Serangan menunjukkan warna kehijauan jernih, demikian pula Sungai Buluh terlihat bening menyegarkan. Muka air sungai tidak terlalu dalam, menciptakan pantai-pantai pasir bercampur batu di tepiannya. Ditambah hutan hijau lebat sebagai latar belakangnya, kombinasi ini menakjubkan. Hal ini membuat Tangkahan sering dikunjungi wisatawan sejak dulu untuk menghabiskan waktu bermain di sungai. Nama Tangkahan sendiri mempunyai arti sebagai tempat mandi-mandi. 


Saat tetesan tetesan air hujan turun, situasinya berubah total. Ketika hujan jatuh di hulu, terutama pada musim hujan, air Batang Serangan berubah menjadi coklat keruh. Ribuan meter kubik tanah masuk ke sungai tergerus air hujan  karena hutan yang menaunginya di daerah hulu pada wilayah lain, telah rusak. Bila lebat sekali, Sungai Buluh pun ikut keruh. Permukaan air naik, menenggelamkan pantai-pantai. Saat hujan berhenti, membutuhkan waktu sampai beberapa hari untuk memulihkan keindahan Batang Serangan. Sifat berbeda ditunjukkan oleh Sungai Buluh, surut dengan cepat, secepat naiknya permukaan air. 

Kedua sungai ini adalah aliran darah Tangkahan, memberi kehidupan dan juga keindahan. Tetapi jangan salah, keduanya bisa murka diluar yang terbayangkan. Sungai Buluh dapat mendatangkan banjir bandang cepat membawa gelondongan-gelondongan kayu. Batang Serangan tidak kalah mengerikan. Saya masih ingat jelas pada Bulan November 2003. Hujan lebat turun sejak siang hari dan berubah sangat-sangat deras pada malam hari. Air benar-benar ditumpahkan dari langit ketika saya berbaring di kamar Bamboo River, salah satu penginapan di Tangkahan, dan terdengar suara seperti lolongan angin bertiup yang tidak putus-putus, makin keras dan keras. Itu adalah sungai sedang banjir. Arusnya begitu kencang sampai menciptakan suara mengerikan. Sampan satu-satu yang ada untuk menghubungkan tempat menginap saya dengan daratan di seberang Sungai Batang Serangan, nyaris lenyap disapu banjir kalau tidak cepat-cepat diselamatkan. Saya, teman-teman saya dan orang-orang Tangkahan semua terdiam, menunggu pagi. Cahaya matahari terbit, memberi jawaban atas banyak pertanyaan. Aliran sungai, baik Batang Serangan maupun Buluh, sangat cepat sekali. Dan ketinggian sungai, naik drastis, mungkin lebih dari 10 meter. Hingga siang tidak ada tanda-tanda aliran air melambat atau surut, sementara kami harus menyeberang. Saya dengan dua orang Tangkahan, Farusak dan Icha, mendapat kesempatan pertama dengan sampan kecil yang ada. Kami tidak mungkin memotong arus sungai yang begitu deras. Yang dilakukan adalah menghayutkan sampan mengikuti arus, sambil perlahan-lahan dibelokkan ke arah seberang sungai. Kami hanyut beberapa kilometer sebelum bisa mendekat daratan seberang sungai. Itupun bisa hanya dengan menabrakkan pada rating-ranting dari pohon yang setengah terendam air, serta Icha terjun untuk mengikatkan tali, sampan baru bisa berhenti. Ketika kami di seberang, orang-orang tua di kampung berkumpul di tepi sungai semua dan berkata "Seumur hidup ku, belum pernah lihat air sungai naik setinggi ini". Saya mulai berpikir, amukan sungai ini mungkin lebih besar dari yang terlihat. Berita buruk mulai berdatangan, jembatan besi Titi Mangga, yang biasa dilalui bus, truk sawit, mobil atau kendaraan lain, dan menghubungkan Tangkahan dengan dunia luar, patah diterjang banjir sungai Batang Serangan. Tidak lama kemudian kabar lebih suram menghampiri, aliran sungai lain tidak jauh dari Tangkahan, yaitu Bahorok, juga mengamuk, menyapu daerah wisata Bukit Lawang. Ratusan orang tersapu dan diperkirakan tewas.         

Kayu Raja berwarna putih menjulang kokoh di antara pepohonan lainnya


Semakin memasuki bagian dalam hutan, menjauhi tepian Batang Serangan, pohon-pohon berukuran besar mulai menampakkan diri. Berdiri tegak menjulang tinggi hingga 30 meter dan bagian dasarnya dikelilingi oleh akan papan yang besar dan lebar. Tangkahan kaya akan jenis-jenis pohon, menyediakan habitat bagi ratusan mahluk hidup lainnya. Dan tentunya adalah surga bagi penebang kayu karena di sini tumbuh pohon-pohon kelas satu untuk konstruksi dan mebel seperti berbagai jenis damar, meranti, merbau dan kruing. Terkadang beberapa jenis pohon, tampil berbeda, menunjukkan keperkasaan dengan menjulang melebihi tajuk pepohonan lainnya hingga 40 meter tingginya. Dia menjadi raja di antara pepohonan sehingga penduduk Tangkahan menyebutnya Kayu Raja, atau dikenal juga dengan nama pohon Tualang (Koompasia excelsa). Mudah dikenali dari batangnya berdiameter besar, warna putih dan licin membuatnya sulit untuk dipanjat. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para lebah untuk membuat sarangnya, menggantung pada dahan-dahan pohon ini. Kayunya terlalu keras untuk diolah sehingga para penebang kayu sering meninggalkannya berdiri sendirian. Tidak semua kesulitan memanjat Kayu Raja. Sulur-sulur dari tumbuhan epifit yang menumpang di tajuknya, terkadang memberi jalan bagi monyet Kedih untuk bermain dan mencari makan di pohon ini.  Bila Kayu Raja begitu tinggi, maka Pohon Merbau tidak bisa dikalahnya dalam ukuran batangnya. Raksasa-raksana ini tersebar pada pada beberapa tempat tertentu. Salah satunya begitu besar batangnya, memerlukan 6-8 orang bergandengan tangan untuk memeluknya. Bahkan para penebang kayu pun terpana dan tidak berani mengusiknya.  

Diantara keringat yang mengucur deras karena udara lembab, kibasan tangan mengusir nyamuk atau tawon, serta mata yang berulang kali melihat ke lantai hutan mewaspadai pacet, hutan selalu memperlihatkan keajaiban. Saya selalu menemukan hal-hal baru setiap kali masuk hutan, apakah bunga-bunga berwarna indah bermunculan, jalinan rumit akar-akar pohon beringin yang menancap ke tanah atau bunga-bunga raflesia bermekaran memenuhi lereng bukit.

Pengumpulan getah karet dari kebun untuk dibeli dan dibawa langsung keluar Tangkahan


Tangkahan secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Langkat. Pusat pemerintahan terletak di daerah pesisir timur, dihuni oleh mayoritas Suku Melayu. Semakin masuk ke pedalaman, mendekati rimba berbukit-bukit, penghuninya pun lebih beragam. Orang-orang Karo bermukim pada tepian sungai dekat hutan. Mereka datang membuka hutan dan membangun kampung pada awal 1940-an. Orang-orang tua di sana menceritakan, sebagian besar nenek moyang mereka bermigrasi dari wilayah Brastagi, suatu daerah pegunungan di Sumatera Utara. Selain itu terdapat pula suku Jawa, datang pada tahun 1950-an, ketika perkebunan kelapa sawit mulai dibuka di daerah ini. Mereka adalah pekerja di kebun sawit milik perusahaan perkebunan negara, lalu akhirnya menetap dan membangun pemukiman. 

Pada kunjungan awal-awal ke Tangkahan, kebun-kebun sawit yang saya lewati menjelang tiba di lokasi ini menyajikan pemandangan yang tidak biasa. Pohon-pohonnya berumur sangat tua, tinggi dan batangnya ditutupi oleh beraneka tumbuhan epifit. Lantainya selalu teduh karena hanya sedikit cahaya matahari mampu menerobos. Situasi yang sama, saya ditemukan juga di kebun-kebun karet tua. Mereka bisa menyajikan pemandangan yang luar bisa, terutama waktu terindah di pagi hari setelah turun hujan malamnya, saat sinar matahari menerobos tajuk-tajuk yang masih meneteskan air, menciptakan garis-garis cahaya miring di sela-sela deretan batang pohon-pohon karet atau sawit. Kedua tanaman ini merupakan komoditas utama penduduk di sekitar Tangkahan. Meskipun orang-orang Karo juga memiliki kebun lainnya, ditanami jeruk dan sayuran.

Keramahan penduduk Tangkahan adalah bagian tidak terpisahkan dari daya tarik tempat ini. Sering terkesan lantang dan kasar saat berbicara, namun orang-orang sesungguhnya sangat baik dan ramah, ketika kita sudah mengenalnya. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum adalah toleransi penduduk Tangkahan dalam kepercayaan. Walaupun berbeda suku (Karo, Jawa, Melayu) dan sebagian memeluk agama Islam, sebagian lagi Kristen, mereka hidup dengan damai dan saling menghormati. Saya pikir di sinilah saya dapat menemukan contoh Indonesia yang beragam dan saling menghargai. Ketika hari raya Idul Fitri, mereka yang muslim merayakannya dengan tidak tampak berlebihan. Demikian pula pula para penganut kristen pada saat Hari Raya Natal. Puncak kemeriahan justru terjadi pada hari kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus.    

Tunggul kayu pohon besar, saksi sejarah pembabatan hutan Tangkahan

Kekayaan Hutan Tangkahan sudah sejak lama menarik orang-orang untuk mengekploitasinya. Tahun 1970-an, penduduk  Tangkahan sudah masuk ke hutan dan menebang kayu. Sedikit atau banyaknya pohon yang ditebang tergantung kebutuhan dan permintaan dari luar. Kondisi ini menggila pada era reformasi 1998, setelah kejatuhan rejim Soeharto. Dipicu permintaan cukong dari luar Tangkahan, hampir seluruh laki-laki di Tangkahan dari dusun Kuala Buluh dan Kuala Gemoh, dewasa dan remaja, masuk ke hutan lindung  Taman Nasional Gunung Leuser, menumbangkan pohon-pohon. Mereka bekerja dalam kelompok 6-10 orang dipimpin kepala rombongan atau kepala kerja lapangan. Kepala ini berhubungan dengan tauke yang merupakan penduduk lokal kepercayaan para cukong. Satu rombongan bisa mengoperasikan 3-6 chainsaw. Puluhan gergaji mesin meraung-raung di Tangkahan setiap hari pada masa itu. Sungai-sungai dipenuhi balok-balok kayu. 


Kini suara chainsaw sudah tidak terdengar lagi. Gemercik sungai, kicauan burung atau lenguhan Kedih menyemarakkan Tangkahan kembali. Tapi kisah sedih ini belum terhapus  jejaknya. Saat saya berjalan-jalan di hutan pada bagian yang landai terutama dekat tepi sungai, tidak ada satupun pohon besar tersisa. Hanya tunggul-tunggul masih berdiri tegak.   "Malu kalau melihat tunggul ini, mengingatkan apa yang kami lakukan dahulu", kata Slamet seorang warga Tangkahan yang memandu saya jalan di hutan. Ya, akhirnya penduduk Tangkahan  memutuskan berhenti untuk menebang kayu pada awal tahun 2000-an. 

.....dan melakukan perubahan adalah cita-cita kami sejak kami berada di tengah hutan dan menyaksikan satu persatu batang-batang damar dan meranti bertumbangan, raungan chainsaw dan tangisan binatang-binatang itu memang kami dengar..tetapi lebih jelas ketika hati dan telinga kami mendengar tangisan dan suara lapar dari rumah kami yang sempit.

Ada banyak rasa takut ketika Polisi Hutan melakukan penangkapan, tetapi itu hanya sesaat saja setelah kami tahu bahwa Polisi Hutan juga manusia. Mereka butuh uang. Dan ketika belahan – belahan kayu itu kami tukar dengan lembaran puluhan ribu, uang itu terlalu cepat berlalu dan berganti menjadi kiloan beras, minyak makan dan rokok..juga untuk menitipkan cita-cita kami yang tidak kesampaian untuk menjadi orang-orang kaya yang dihormati di kampung.

* Suara hati seorang mantan penebang kayu dari Tangkahan, disampaikan saat pertemuan Jaringan Indonesian Ecotourism Network di Tangkahan 2013*

Gajah Jantan Tangkahan didatangkan dari Aceh dalam upaya mengamankan hutan dari penebang kayu liar

Terdengar agak janggal ketika penduduk Tangkahan memutuskan untuk menghentikan kegiatan penebangan kayu liar. Penghasilan dari pembalakan bisa mencapai jutaan setiap bulan untuk setiap penebang. Seorang warga, Rutkita Sembiring mengisahkan bagaimana sekali masuk hutan dia bisa mengambil 10 ton kayu gergajian atau setara dengan 10 x 6 potong balok ukuran 5 meter. Kalau satu ton kayu kelas satu seperti meranti batu dihargai Rp 800.000, dan kayu kelas dua seperti keruing Rp 500.000, maka dalam satu minggu 2-3 juta rupiah masuk ke kantungnya. Namun dibalik gemercing uang menggiurkan itu, para penebang kayu merasakan adanya ketidakadilan. Selisih harga kayu antara yang dijual oleh masyarakat dengan harga di pasar nasional maupun internasional sangat lebar. Keuntungan terbesar dinikmati oleh para cukong dan tauke, sedangkan resiko ditanggung oleh para penebang kayu. Uang yang diterima memang lebih besar dari pada menderes karet atau menjual jeruk, tetapi menguap begitu saja. Semua dibelanjakan untuk kebutuhan sehari dan -karena mereka tidak biasa mengelola uang dalam jumlah besar- habis begitu saja. Para penebang juga dihantui rasa takut ditangkap saat ada operasi pengamanan hutan di kawasan Taman Nasional Leuser. Mereka tahu apa yang dilakukan ini salah dan beberapa dari mereka pernah merasakan dingin dan sunyinya penjara. Belum lagi pulang ke rumah dalam keadaan tidak utuh atau bahkan tinggal nama karena pekerjaan ini berbahaya. Tidak sedikit insiden kecelakaan tertimpa batang kayu dan pernah sampai ada yang tewas. Puncaknya adalah ketika anak-anak mereka yang sudah beranjak remaja, mulai menentang dan meminta mereka untuk meninggalkan kegiatan ini. Uang banyak tetapi suasana tidak harmonis dan tidak ada ketenangan hidup. Pada titik ini, mereka melihat bahwa berhenti menebang adalah pilihan terbaik.   


Ketika semakin lama kami menumbang kayu, usia bertambah, anak-anak semakin besar, pendapatan kami tidak bertambah dari tahun ke tahun. Kamar sempit penjara membawa pikiranku melayang jauh..pertanyaan kepada Tuhan dan pertanyaan kepada diri sendiri tentang hari apa esok dan tanggal berapa, hingga aku tahu dua puluh dua bulan aku dikurung di penjara..setiap malam dihantui oleh bayang-bayang pohon kayu dan binatang-binatang yang selalu mengganggu mimpiku…kerinduan kepada anak istri menggantung dimataku..kesunyian membakar dadaku untuk bangkit..aku harus berubah.. kami harus berubah…

* Suara hati seorang mantan penebang kayu dari Tangkahan, disampaikan saat pertemuan Jaringan Indonesian Ecotourism Network di Tangkahan 2013*


Trekking hutan menggunakan gajah sekaligus berpatroli 

Sejak tahun 1991 keindahan hutan dan sungai di Tangkahan mengundang para wisatawan berdatangan. Sebelum gelombang penebangan kayu liar terjadi, tempat ini merupakan daerah tujuan wisata lokal. Tahun 1996, Raniun Pelawi atau dikenal dengan panggilan Wak Yoen, seorang pemandu wisata Bukit Lawang -daerah tujuan wisata lain yang ada di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser-, datang ke Tangkahan. Pengalaman dan nalurinya mengatakan tempat ini memiliki potensi besar. Kondisi yang mendorong dia untuk membangun pondok wisata pertama di Tangkahan pada tepian Sungai Buluh dan diberi nama Bamboo River. Wak Yoen dan pondoknya menjadi perintis pengembangan pengembangan pariwisata pada skala yang lebih besar dengan mendatangkan tamu-tamu asing dari Eropa. Namun dia juga menjadi saksi bagaimana kegiatan penebangan kayu liar menggila. Pada masa itu sering tamu-tamunya mendengar raungan chainsaw yang tidak pernah berhenti dan bermain di sungai tidak jauh dari lokasi penumpukan kayu ilegal. 


Keelokan Tangkahan juga menarik mahasiswa-mahasiswa dari Medan untuk datang menikmatinya. Diantaranya adalah Syaiful Bahri dan Syukur al Fajar (Sugeng). Kedua orang ini bepikir lebih jauh dari pada sekedar berwisata. Mereka melihat tempat indah ini sedang dalam proses menuju kehancuran dan harus segera diselamatkan. Mereka berdua inilah, dibantu rekannya Taufik Ramadhan, nantinya berkontribusi besar dalam merubah cara pandang masyarakat Tangkahan. Saiful membagikan pandangannya sekaligus memberi pemahaman tentang kerugian di masa mendatang jika kegiatan pengrusakan hutan terus berlangsung kepada anak-anak remaja Tangkahan. Para remaja ini kemudian membentuk organisasi Tangkahan Simalem Ranger. Dengan segera mereka dikenal sebagai kelompok yang ringan tangan dalam membantu kegiatan-kegiatan desa terkait adat seperti pesta dan acara kematian. Sejalan dengan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat akan kelompok ini, mereka mulai berdiskusi, terkadang berujung berdebat, dengan ibu dan bapaknya tentang penghentian kegiatan penebangan kayu liar. Pada akhirnya para remaja ini mempunyai peran besar dalam mempengaruhi orang tua mereka untuk berhenti sebagai penebang kayu.  Sementara Saiful bermain di dalam, Sugeng lebih banyak gerilya di luar untuk menggalang dukungan bagi Tangkahan. Tahun 2000, dengan biaya sendiri, Sugeng mendatangi kantor tempat saya bekerja, Indecon (Indonesian Ecotourism Network) di Jakarta. Dia berusaha menyakinkan kami bahwa Tangkahan sangat penting untuk diselamatkan dan pariwisata adalah salah satu caranya. Ketika kami mendatangi kemudian, menyaksikan kehebatan alam di sana dan keinginan berubah dari masyarakat, tidak perlu waktu lama bagi untuk memutuskan. Ya, kami akan membantu Tangkahan.   

Kegiatan wisata Tubing di Sungai Batang Serangan

Bulan Mei 2001, Njuhang Pinem, Seh Ukur Depari, Sudarman Sembiring, Rutkita Sembiring dan tokoh-tokoh masyarakat Tangkahan dari Desa Namo Sialang dan Sei Serdang berkumpul untuk membicarakan dua hal yang beberapa tahun belakangan ini berjalan bersama di desa namun saling bertolak belakang, yaitu penebangan liar dan pariwisata. Mereka akhirnya sepakat untuk memilih pariwisata dan mengakhiri kegiatan penebangan kayu. Tonggak dari keputusan ini ditandai dengan membentuk organisasi lokal Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT), suatu wadah untuk mengelola kegiatan pariwisata di Tangkahan. Ini bukan hal mudah. Bagaimana mungkin mantan para penebang kayu ini bisa beralih berprofesi dalam bidang wisata, sesuatu hal yang berbeda sama sekali. Mereka butuh mengembangkan diri agar bisa merencanakan kawasan wisata, menjadi pemandu wisata, menyusun kegiatan wisata dan menjualnya atau mengelola organisasi. Lebih dari 3 tahun kami mendampingi mereka sampai akhirnya kemampuan ini tercapai. Mereka juga butuh areal bermain untuk kegiatan wisata terutama di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser. Beruntung pimpinan-pimpinan taman nasional pada peroide tersebut sangat kooperatif. Kesepakatan pun tercapai dan dituangkan dalam sebuah perjanjian. LPT dijinkan melakukan kegiatan wisata di dalam taman nasional sebagai imbalan atas tindakan mereka menghentikan kegiatan penebangan kayu dan komitmen untuk turut menjaga hutan seluas kurang lebih 10.000 hektar.          


Masalah lainnya adalah alam Tangkahan mirip dengan daerah tujuan wisata yang sudah terkenal  yaitu Bukit Lawang. Sama-sama mempunyai hutan tropis dataran rendah, sungai, gua dan satwa liar. Bahkan Tangkah minus orang utan semi liar yang membuat Bukit Lawang didatangi berbondong-bondong oleh turis asing. Kegiatan wisata yang dikembangkan seperti trekking, masuk gua dan tubing (mengarungi sungai memakai ban dalam), sama dengan  di Bukit Lawang. Kalau ada perbedaan jelas adalah Tangkahan jauh lebih sepi, tenang dan damai dibandingkan Bukit Lawang  yang sudah padat dan sesak oleh bangunan penginapan,warung makan dan toko cinderamata. Pada awalnya hanya wisatawan asing suka alam dan ketenangan yang datang ke sini.  Situasi ini berubah ketika, gajah-gajah didatangkan ke Tangkahan pada tahun 2003 dalam program Conservation Respond Unit (CRU). Para gajah bertugas untuk berpatroli di dalam hutan mencegah aktifitas merusak. Ketika lembaga ini setuju dengan usulan LPT untuk mengintegrasikan kegiatan patroli dengan kegiatan wisata, jumlah wisatawan mulai meningkat terus. Para wisatawan dapat membayar untuk ikut berpatroli hutan dengan naik gajah atau sekedar turut merawat gajah dengan memandikannya. Hubungan ini saling menguntungkan antara konservasi dan pariwisata. Uang yang dibayarkan wisatawan bisa untuk membantu biaya operasional patroli, sedangkan wisatawan senang karena merasa turut membantu menjaga kelestarian hutan. Pengalaman naik gajah patroli ini juga luar biasa. Jalan yang digunakan benar-benar melintasi hutan. Terkadang gajah meluncur di lereng atau berjalan di sungai yang lumayan dalam. Perlahan tapi pasti gajah menjadi ikon wisata Tangkahan, walaupun sebenarnya kisah perubahan masyarakat dari penebang kayu liar menjadi pelestari hutan tidak kalah menarik.  
  
Gajah-gajah mandi di Sungai Batang Serangan merupakan kegiatan rutin di Tangkahan 


Pagi hari di CRU Namung Gletus, cahaya matahari mulai jatuh menembus daun-daun pohon sawit. Gajah-gajah sedang bersantai, bermalas-malasan. Mereka terlihat sehat  dan tenang. Bagaimana tidak di sini makanan dan air melimpah. Kelahiran 3 anak gajah pada tahun 2015 membuktikan bahwa para gajah sudah menyatu dengan tempat ini. Jumlah mereka kini ada sepuluh ekor. Pukul 08.00, wisatawan mulai berdatangan. Para pawang mengumpulkan gajah untuk memulai ritual pagi. Pertama gajah diberi makan pelet dengan vitamin, kemudian dihela ke Sungai Batang Serangan tidak jauh dari situ. Para wisatawan yang telah memiliki voucher memandikan gajah mengikutinya dari belakang. Di sungai, pawang membantu gajah untuk membuang hajat besar dengan menstimulasi anus memakai tangan. Setelah itu giliran wisatawan beraksi. Gajah berbaring di sungai dan digosok dengan sikat. Gajah pun kadang iseng membalas menyembur air dengan belalainya dan para wisatawan pun tertawa senang. Atraksi memandikan gajah adalah favorit bagi pengunjung asing di Tangkahan. Pada musim puncak kunjungan, mereka harus memesan terlebih dahulu untuk bisa mengikuti kegiatan ini. Kalau datang langsung bisa-bisa tidak kebagian, karena jumlah orang sekali memandikan gajah dibatasi. 

Lima belas tahun berlalu sudah dan kini Tangkahan menjelma menjadi destinasi wisata utama di Sumatera. Lonely Planet dan Trip Advisor telah mencantumkan namanya. Deretan pohon-pohon sawit tua yang seolah selalu mengamati saya, tidak ada lagi karena sudah ditumbangkan, diganti dengan tanaman baru. Namun yang mengembirakan,  burung-burung masih ramai berkicau, Kedih berloncatan. Hutan Tangkahan masih terjaga, tidak ada satu pun kegiatan penebangan kayu liar. Dan lebih hebatnya lagi ini masih bertahan saat masyarakat Tangkah memasuki generasi ketiga sejak penghentian kegiatan penebangan kayu. Saya bertanya-tanya, apakah ini berhasil? Berpuluh-puluh tahun kami berusaha membuktikan bahwa hutan bisa jauh lebih bermanfaat bila dibiarkan utuh dengan penghuni-penghuninya. Tidak ada jawaban pasti. Manusia sangat mudah tergoda oleh kekuasaan dan kekayaan, dan Tangkahan bukannya tidak ada masalah. Tingkat kunjungan wisatawan asing kini telah mencapai angka 6.000-an dan pengunjung Indonesia terutama dari daerah sekitar yang datang untuk mandi-mandi mencapai 42.000 orang. Uang yang masuk ke LPT per tahun sudah dalam nilai milyaran rupiah (menurut saya LPT adalah salah satu lembaga lokal terkaya di Indonesia). Kini tekanan besar datang dari pariwisata itu sendiri, yaitu adanya tuntutan untuk selalu memenuhi permintaan pasar walau kadang harus mengorbankan alam itu sendiri. Sebagai lembaga lokal berpenghasilan besar dan bisa menggaji pengurusnya, LPT menggiurkan bagi banyak orang-orang luar Tangkahan untuk terlibat dan mengambil untung, mengabaikan tujuan utama lembaga ini yaitu kelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Semuanya tergantung masyarakat Tangkahan. Selama mereka tidak tergoda dan tetap teguh berpegangan pada komitmen awal, maka Tangkahan adalah oasis kelestarian alam di tengah gurun kehancuran hutan di Indonesia.       

Comments

  1. Nice interpretations, good luck & thanks for Indecon ( Poel de Goeya )

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas