Rinjani- Aura Kecantikan Anjani

'Setiap gunung memiliki legendanya sendiri'. Demikian pula halnya dengan sebuah gunung di pulau Lombok. Nun jauh di atas sana, pada tempat tinggi dan udara menusuk dingin, konon berdiri suatu istana megah. Tidak bisa terlihat sama sekali karena berada pada dimensi lain. Hanya mereka yang dibukakan hati dan pikiran dapat melihat keajaiban ini. Di sinilah Dewi Anjani, ratu dari para mahluk  gaib tinggal, pada sebuah gunung besar yang diberi nama sesuai dengan sang dewi : Rinjani. 


Mungkin hanya orang terpilih yang mampu melihat istana ini, tetapi pada dimensi nyata yang membalutnya lebih terbuka bagi siapa saja. Selubung ini luar biasa indahnya. Kadang saya sulit untuk bisa mendefinisikan dengan kata-kata keindahan alam Rinjani. Itu bak lukisan alam dalam dunia khayalan. Ditengok dari berbagai sudut berbeda pun keelokannya tetap memancar kuat. Tentu semua ini nyata karena kita bisa menyentuhnya. Bebatuan, air, rumput, atau pepohonan. Proses geologi, iklim, ekologi bahkan campur tangan manusia, membentuk tempat ini. Walau saya lebih suka membayangkan ini semua mungkin disebabkan kekuatan aura keindahan terpancar dari istana gaib dan tentu pemimpinnya, Dewi Anjani.     

Pemandangan luar biasa Gunung Rinjani dilihat dari sisi timur, paduan antara warna biru langit dan gunung dengan warna emas padang savana.

Pagi hari badan terasa menggigil, udara dingin menusuk pada malam hari masih tersisa. Asap putih keluar dari hembusan nafas. Bangun pagi adalah pekerjaan terberat di Desa Sembalun, tidak hanya bagi saya tetapi juga penduduk penghuninya: masyarakat suku Sasak. Aktifitas baru nampak saat cahaya matahari mulai menerpa kulit, perlahan menghangatkan badan. Para porter yang diminta datang lebih pagi, baru bermunculan dengan diselimuti kain sarung, seiring dengan lalu lalang penduduk menuju kebun. Bawang putih dan sayur-sayuran tumbuh melimpah di kaldera tua gunung api pada ketinggian 1.200 meter. Artinya tanah subur dan udara sejuk. Sambil menunggu para porter mengemasi perbekalan, saya memandang ke arah sang gunung. Rinjani tampak begitu megah dan kokoh. Puncaknya merona kemerahan saat subuh tadi, kini berubah menjadi kebiruan. Hanya dari sisi timur inilah bentuk kerucut sempurna sang gunung bisa terlihat begitu jelas.   
Hamparan padang rumput alang-alang mendominasi pemandangan di jalur pendakian Sembalun

Gunung Rinjani memanggil-manggil. Itu yang saya rasakan pada awal pendakian. Dia membayangi terus sepanjang jalan dengan memamerkan kemegahannya dan ini memicu kelenjar adrealin, membuat jalan saya lebih cepat. Umumnya jalur pendakian dari Sembalun memakan waktu sekitar 8 jam berjalan kaki bagi mereka yang dalam kondisi bugar, sebelum tiba di bagian teratas dinding kawah atau disebut plawangan. Dikatakan pula jalan setapak di sini lebih landai dibandingkan jalur satunya, yaitu melalui Desa Senaru. Memang itu yang saya rasakan ketika masih berjalan di daerah kebun-kebun masyarakat. Selepas itu adalah padang savana luas ditumbuhi alang-alang. Saya memandang hamparan keemasan ini, begitu lepas dan sungguh menakjubkan. Sepertinya akan mudah, ketika mulai memasuki padang ini, karena jalan setapak hanya mendaki perlahan. Salah! Jalur ini benar-benar menguras energi. Kondisi terbuka tanpa ada naungan sedikitpun untuk meneduhi, membebaskan terik matahari memanggang tubuh kita. Tiba di pos 2 Tengenan, masih di tengah padang savana, energi rasanya benar-benar tersedot. Saya mencari-cari tempat agak terlindung dari pancaran sinar matahari, duduk memulihkan tenaga. Tiba-tiba, pemandu saya, Abdul, datang dan menyodorkan sebuah apel. Sensasi kesegaran luar biasa saya rasakan pada gigitan pertama dan menjalar keseluruh badan. Mungkin ini adalah apel terenak yang pernah saya makan sepanjang hidup.     

Membelah padang emas alang-alang, menuju dinding kawah. 

Cerita akan berbeda bila kita melewati padang alang-alang ini pada sore atau malam hari. Bersembunyi dari matahari, tentu akan jauh lebih menghemat tenaga. Namun bagi saya, masa-masa jalan mendaki gunung dalam kegelapan telah lewat. Kini menjelajahi gunung adalah menikmati pesonanya pada setiap sudut setiap detail, bukan melulu untuk mengejar target menaklukkan puncaknya. Saya mencoba berimajinasi bagaimana padang savana Sembalun ratusan tahun yang lalu. Tertutup hutan pegunungan lebat, berisi pohon-pohon besar penuh dengan berbagai macam satwa liar. Saya dapat membayangkan betapa kaya sekali hutan pada tempat landai ini. Sebagaimana pernah disebutkan pada tulisan-tulisan lain sebelumnya, saya percaya pada apa yang dikatakan ahli ekologi hutan T.C. Whitmore dan ahli botani Van Steenis, yaitu padang savana di daerah tropis terjadi karena pengaruh aktifitas manusia membuka hutan dan membakar. Dominasi rumput alang-alang menunjukkan dengan jelas bahwa daerah ini mengalami kebakaran secara berulang. Kebakaran berulang membunuh berbagai tumbuhan baik itu pohon, semak maupun herba. Hanya alang-alang sanggup bertahan. Bercak-bercak kehitaman dikejauhan memperlihatkan ada beberapa bagian baru mengalami kebakaran, seolah ingin membuktikan teori tersebut.    

Saat mencapai pos 3 Pada Balong pada sore hari, kemewahan jalan setapak landai akan segera berlalu. Dari sini ceritanya adalah menanjak, melewati bukit-bukit sebanyak 7 puncak. Pohon cemara gunung bermunculan menyelingi alang-alang. Pada pendaki menamai jalur ini 'Bukit Penyesalan', karena sering menimbulkan rasa frustasi akibat tidak sampai-sampai di tempat tujuan. Tidak ada jalan lain bagi saya kecuali mengatur ulang ritme jalan, tidak perlu cepat namun konstan. Sambil memecah target tujuan utama menjadi beberapa target kecil berupa bukit-bukit itu. Mulailah berhitung 1 bukit terlampau, 6 menuju ke sana; 2 bukit lewat, 5 menunggu, seterusnya hingga kaki menginjak Plawangan Sembalun tepat ketika senja memerahkan langit. Saya langsung duduk di atas dinding kawah menikmati perubahan alam ini. Sungguh sambutan yang luar biasa.    

Para porter Rinjani berjalan tanpa mengenal lelah sambil memanggul beban berat.


Para pemikul berjalan tegak menyusuri jalan setapak. Keranjang pikulan depan belakang terisi penuh, tidak menjadi masalah. Yang kuat berjalan laju terlebih dahulu di depan, sedangkan lainnya melangkah santai di belakang. Keranjang berisi tenda, kantung tidur, matras, bahan makan dan alat masak. Semua akan digunakan untuk melayani pendaki yang menyewa mereka. Begitu tiba di plawangan, mereka membongkar muatan. Tenda segera didirikan, matras dan kantung tidur ditata rapi. Sementara yang bertugas memasak, menyiapkan bahan makan dan menyalakan api. Mereka melakukannya dengan terampil. Ketika saya tiba di lokasi untuk menginap, semua sudah siap. Tinggal masuk ke tenda, matras sudah terhampar, kantung tidur tersedia dan istirahat. Tidak lama, panggilan makan malam datang. Menu terhidang menggiurkan, ayam goreng, tempe goreng dan capcay serta penutup potongan buah segar. Tidak ada itu mie instan dalam daftar menu. Mereka mampu menyajikan berbagai menu makan termasuk makanan Eropa seperti spaghetti, pancake, atau toast. Lebih mengesankan lagi para porter ini adalah masyarakat desa Sembalun dengan profesi utama petani. Mereka menjadi porter untuk mencari tambahan pendapatan. Walaupun pada saat musim tinggi kunjungan bulan Juli-September, mereka bisa sangat sibuk sekali. "Dalam sebulan saya bisa naik 4-5 kali, baru saja turun langsung naik lagi", tutur salah seorang porter. 

Para porter ini merupakan bagian dari pariwisata pendakian Gunung Rinjani. Perkembangnya tidak terlepas dari pariwisata Pulau Lombok, mulai tumbuh pada pertengahan tahun 1980-an. Lokasi-lokasi indah seperti pulau-pulau Gili di utara dan pantai Kuta di selatan menjadi sasaran para wisatawan asing kelas menengah bawah terutama dari Eropa. Di tempat lain, pantai Senggigi menjelma menjadi lokasi investasi pariwisata berskala besar, ditandai dengan berdirinya hotel-hotel berbintang bagi wisatawan kelas atas. Lokasi Gunung Rinjani tidak terlalu jauh dari Gili, konsekuensinya lambat laun turut menerima imbas kedatangan wisatawan mancanegara. Popularitas Gunung Rinjani di mata wisatawan asing terutama pendaki melonjak, menyusul ketenaran di kalangan pendaki dari berbagai kota di Indonesia. 

   Lahan datar sempit di bagian atas dinding kawah Plawangan Sembalun, tempat tenda-tenda didirikan untuk bermalam sebelum menuju ke puncak Rinjani.

Para 'penggapai puncak' telah berangkat dini hari tadi jam 2 malam. Mereka akan mengejar tiba di sana sebelum matahari terbit. Saya memilih menikmati suasana pagi hari dengan menyusuri bagian atas dinding kaldera sambil memandangi pesona yang disajikan Danau Segara Anak di bawah. Tenda-tenda 'doom' para pendaki berhamburan mewarnai puncak kaldera. Merah, oranye, kuning, biru, dan hijau. Sisi berlawanan terhadap pemandangan danau tampak lereng menyajikan padang rumput berpadu dengan bayangan gelap dan kelabu puncak-puncak kecil lainnya menunggu cahaya matahari menyinari. Menggeser ke arah persimpangan jalan setapak menuju Segara Anak, sudut pemandangan boleh berbeda tapi keindahan tetap melekat. Alang-alang telah tergantikan oleh rerumputan gunung, semak-semak tumbuhan dataran tinggi dan pohon-pohon cemara gunung. Ketinggian 2.600 meter rupanya terlalu dingin buat alang-alang. 

Semua adalah keindahan di sini, namun ada sesuatu agak bernuansa lain, kalau tidak boleh dibilang bertentangan. Di sepanjang jalan menuju ke plawangan, kecuali di pos pemberhentian tempat pendaki istirahat atau bermalam, tidak terlihat ceceran sampah plastik. Tetapi di plawangan, konsentrasi pendaki menginap, sampah plastik berserakan. Baru beberapa puluh meter turun menuju ke lembah, tempat fasilitas toilet berada, saya terhenti seolah ada tembok tak terlihat  menghadang. Tembok itu adalah aroma bau tidak sedap menyengat, berasal dari kotoran manusia. Tidak kuat dengan bau itu, saya keluar jalan setapak, mencari lokasi untuk buang air kecil. Yang ada ranjau kotoran manusia bertebaran dimana-mana. Sisa-sisa tisu basah bekas cebokan berserakan di bawah tumbuhan edelweis yang begitu indah. Bila angin bertiup cukup kencang, tisu-tisu kering ini berterbangan sambil menyebar aroma. Tiba-tiba rasanya hati pedih sekali.

Kebetulan perjalanan kali ini saya bersama tim 'clean up patrol' dari Rinjani Trek Management Board (RTMB). Tim ini isinya adalah masyarakat dari Desa Sembalun dan juga Desa Senaru, dipersenjatai dengan sapu lidi, cangkul dan sekop, bertugas secara rutin membersihkan sampah di Rinjani. Ikut dalam tim ini, teman saya Asmuni selaku manejer RTMB, lembaga pengelola kegiatan wisata pendakian di jalur Sembalun-Puncak-Segara Anak-Senaru. Bersih gunung adalah satu dari sekian program-program lembaga ini. Kali ini Asmuni hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tisu dan kotoran manusia ini, seolah sudah habis akal. Butuh kemauan dan tenaga besar untuk memunguti tisu dan kotoran manusia yang sedemikian banyak. Dan tidak memecahkan masalah bila dibersihkan total untuk hanya dikotori lagi.  

Kerucut gunung baru bernama Baru Jari muncul di tengah kaldera.

Mengapa begitu banyak pendaki asing dan nasional mengunjungi Gunung Rinjani? Mungkin karena pemandangan di atas sangat spektakuler. Kaldera raksasa berukuran 4,8 x 3,5 km, di dalamnya digenangi air membentuk danau seluas 1.126 hektar, dengan beberapa kerucut gunung api kecil muncul di tengahnya. Kaldera ini mulai terbentuk kurang lebih 14.000 tahun lalu, ketika Gunung Rinjani meletus dahsyat, menyebabkan runtuhnya badan gunung. Proses pembentukan gunung ini terjadi sekitar 1 juta tahun lalu (Kusumadinata, 1979), menjulang hingga ketinggian 5.000 m. Kini telah terpotong menjadi 3.726 m. Meskipun demikian Rinjani merupakan gunung api tertinggi kedua di Indonesia. Aktifitas erupsi Rinjani baru mulai terekam dalam catatan manusia pada tahun 1847 dan terakhir tahun 2015, Gunung Barujari di tengah danau bergejolak menyemburkan abu vulkanik. Penelitian terbaru gabungan Tim Indonesia-Perancis mengemukakan versi baru kisah Gunung Rinjani. Menurut mereka Rinjani mempunyai saudara kembar yaitu Gunung Samalas, berdiri di tempat Segara Anak berada sekarang. Ketinggian gunung ini diperkirakan adalah 4.300 m. Kedua gunung tersebut tumbuh bersama dengan bagian bawah menyatu dan satu sumber magma. Samalas luluh lantak pada tahun 1257 ketika meletus dengan dahsyat sebagaimana digambarkan dalam tulisan Jawi Kuno pada daun lontar Babad Lombok. Dugaan sementara, kekuatan letusan ini 8x lebih hebat dari Krakatau dan 2x dari Tambora. Jika letusan sekelas Tambora saja bisa mengubah iklim bumi, maka bisa dibayangkan bagaimana dampak letusan Samalas. Jika benar. Para peneliti masih berusaha keras untuk mencari bukti-bukti pendukung.

Apakah itu letusan Rinjani atau Samalas, yang jelas seperti inilah bentuk Rinjani sekarang. Paduan antara kerasnya bebatuan, kesejukkan danau dan kelembutan pepohonan. Ditambah permainan cahaya dari pagi, siang, sore dan saat terhalang awan memberi nuansa warna berbeda-beda pada kaldera ini. Siapa yang tidak takjub. 

  Pohon-pohon cemara gunung berderet mengisi tepian Danau Segara Anak di ketinggian 2.000 m.

Matahari merambat perlahan menerangi pagi. Cahaya merayap melewati dinding kaldera terpantul di kebiruan danau dan merona kemerahan pada dinding cadas. Pohon-pohon cemara seolah mulai menggeliat, mengibaskan tetesan-tetesan embun dari daun jarumnya. Saya duduk di tepi danau Segara Anak menikmati simfoni indah pagi hari ini. Dengkul dan betis sudah melemas kembali setelah menahan hentakan selama jalan turun selama 3 jam menuju tepian danau di ketinggian 2.000 m. Tenda-tenda bertebaran, para porter sudah sibuk memasak untuk tamu mereka. Wisatawan asing duduk-duduk menikmati ketenangan ini sedangkan pendaki indonesia mulai sibuk berfoto-foto atau memangkap ikan bersama para pemancing lokal. Saya lebih suka menyusuri tepian danau. Ke arah jalur pendakian dari Senaru, nampak lebih sepi dan terdapat ceruk-ceruk tersembunyi untuk mendirikan tenda. Tepat di pertemuan tepian danau dan jalan setapak dari Senaru adalah tempat paling menyenangkan untuk menyeburkan diri ke danau. Daratan landai dan cukup luas berhadapan dengan teluk tenang. Terkadang para pendaki dari arah Senaru bila tiba siang hari yang terang, suka tidak tahan untuk tidak melompat ke air jernih dan dingin ini. 

Segara Anak atau Laut Kecil ini memiliki luas 1.126 hektar dan titik paling dalam sejauh 230 meter. Dia mencerminkan ciri khas danau kawah, tepian curam, langsung menghujam ke bawah dan sangat dalam. Wujudnya seperti mangkuk. Bayangkan selama ribuan tahun tetes demi tetes air mengisi cekungan ini, dari atas, dari tepi atau dari dasarnya hingga menjadi danau seperti sekarang. Mangkuk ini punya retakan sehingga ada aliran air yang keluar. Aliran air ini bernama Kokok Putih, bergerak menjauhi gunung,  menggerus tebing-tebing, menciptakan ngarai-ngarai dalam. Tepian danau di dekat jalan setapak arah Sembalun merupakan konsentrasi pengunjung, karena di dekatnya terdapat sumber-sumber air panas alami tempat pendaki bisa berendam air hangat, melepaskan kepenatan. Tidak hanya pendaki, namun para peziarah lokal juga selalu mandi di sini, karena itu adalah bagian dari ritual yang harus dijalankan. Peziarah dalam jumlah lebih besar biasanya datang pada waktu tertentu di bulan oktober untuk melakukan upacara Mulang Pekelem. Pelarungan persembahan bagi Gunung Rinjani agar tetap dapat menjaga kesuburan tanah dan kemakmuran seluruh mahluk hidup. Jika ditarik ke belakang, upacara ini sudah diadakan sejak jaman Kerajaan Karang Asem di Bali pada abad ke 16.

Selesai sarapan, saya berjalan masuk lebih ke dalam di bawah pohon-pohon cemara. Tisu-tisu bekas cebokan berserakan dan bom aroma memualkan dengan segera menghentikan saya. Sampah dan kotoran manusia. Di lokasi perkemahan, di tempat mandi air panas. Bagaimana mungkin bisa beranggapan Rinjani masih bisa menampung semua ini. Catatan jumlah kunjungan pendakian Rinjani sudah mencapai sekitar 27.000 pendaki asing dan 43.000 pendaki Indonesia pada tahun 2015. Ini belum termasuk para peziarah lokal, datang menggunakan jalur-jalur pendakian tidak resmi. Pada musim liburan dan puncak kunjungan, plawangan yang sempit dan tepian danau penuh sesak. Tidak ada tanda-tanda pengaturan pengunjung. Semua bebas melakukan apa saja, seolah ini tanah tidak bermilik. Dada sesak rasanya melihat ini semua. Saya jadi teringat satu judul komentar pengunjung Rinjani di Trip Advisor : a beautiful landfill. Artinya tempat pembuangan sampah yang indah.

Keheningan terpadu dalam keindahan dalam permainan warna cahaya pada ketinggian di lereng Rinjani

Jalan setapak ini curam, terkadang merayapi pinggiran dinding tebing. Jauh lebih curam dibandingkan waktu saya turun ke danau dari arah Sembalun. Memang seperti itulah kondisi jalur menuju Plawangan Senaru pada sisi utara kaldera. Sesekali ada selingan dataran, tidak luas namun menawan. Pohon-pohon cemara gunung tumbuh berpencar tetapi ada yang mengelompok memberi keteduhan dan kesegaran bagi siapapun melintas di bawahnya. Batu-batu besar sisa guguran letusan berserakan diantara warna keemasan rumput-rumput gunung. Berpaling ke sisi lain, nampak Segara Anak dalam keheningan. Suara desiran angin dibunyikan oleh daun-daun jarum pohon cemara mengusik, namun selebihnya adalah kesunyian.


Tentu saja Gunung Rinjani bukan tanah tidak bertuan. Gunung ini merupakan Taman Nasional Gunung Rinjani, dikelola pemerintah pusat dalam hal ini oleh Departemen Kehutanan. Luasnya mencapai 41.330 hektar, ditujukan untuk melindungi keanekaragaman mahluk hidup seperti 757 jenis tumbuhan, 17 jenis mamalia dan 154 spesies burung. Taman nasional hanya melingkupi sebagian gunung ini. Dahulu lereng-lereng Rinjani ditutupi hutan lebat dengan luas mencapai 125.740 ha atau 26,5% luas Pulau Lombok. Aktifitas manusia mengubah semuanya sehingga hutan yang masih bagus kini hanya tersisa pada bagian barat dan selatan, serta sedikit di utara. Bagian timur, sebagaimana sudah saya ceritakan, kini adalah padang rumput luas.  Gunung Rinjani adalah jantung bagi Pulau Lombok. Bagaimana tidak, 90% sungai di pulau ini berhulu di Gunung Rinjani, menghidupi 4 juta penduduk. Gunung ini juga mensuplai oksigen penghuni pulau agar bisa merasakan udara bersih dan segar.  

Mendaki lereng curam sambil menikmati lukisan indah alam adalah kemewahan yang disediakan Rinjani 

Sebagaimana halnya gunung-gunung di Indonesia, kemungkinan besar para peziarah adalah pendaki pertama Gunung Rinjani. Sejak dahulu kala, gunung sering dianggap sebagai tempat tertinggi dan di sini para dewa tinggal. Para peziarah datang untuk menghormati, berdoa atau memohon petunjuk kepada sang gunung yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Menyusul setelah itu para pendaki-pendaki gunung dari Indonesia, datang dengan semangat untuk menambah satu gunung lagi ke dalam daftar puncak-puncak gunung yang sudah ditaklukan. Ketika era pariwisata berkembang di Lombok pada tahun 1990-an, wisatawan asing mulai menengok Rinjani. Peluang ini dengan segera ditangkap oleh para pelaku wisata dari luar kawasan Gunung Rinjani, karena mereka lebih mempunyai kemampuan dalam hal itu. Sementara penduduk desa sekitar gunung lebih paham bagaimana bertani dan mengambil kayu dari dalam hutan. Menurut cerita masyarakat di Senaru pada masa itu, mereka hanya melihat bagaimana pendaki asing datang dibawa pemandu dari luar atau datang sendiri kemudian dikerubuti para calo menawarkan pendakian, tarik sana tarik sini. Kenyamanan dan keamanan pendaki asing adalah masalah besar. Aksi kriminalitas pencurian dan penodong beberapa kali dialami pendaki. Belum lagi kondisi jalur dan fasilitas pendakian belum memadai dan diperparah dengan kerusakan hutan akibat aktifitas masyarakat demi mencari penghidupan. 

Sebenarnya banyak yang menyadari bahwa Gunung Rinjani tidak bisa dibiarkan seperti itu. Gunung ini terlalu penting untuk diabaikan mengalami kerusakan. Pihak Taman Nasional, pemda propinsi, pemerintah kabupaten, direktorat geologi -mengurusi kegunung apian-, masyarakat desa, LSM, perguruan tinggi dan sebagian besar pelaku wisata, paham akan hal itu. Tetapi semuanya seolah terhenti dengan alasan selalu berpulang pada minimnya anggaran dan rendahnya sumber daya manusia untuk mengelola kelestarian gunung ini. Butuh suatu pendorong untuk menggerakkan dan menyatukan mereka. Jadi semuanya hanya bisa melihat dan menunggu. Menunggu sampai kapan? Untungnya tidak terlalu lama. Peluang datang setelah Pemerintah Selandia Baru bersedia untuk membantu dengan menggulirkan program pelestarian Gunung Rinjani pada awal tahun 2000 (betul, yang membantu adalah pemerintah dari luar negeri). Pendekatan pengembangan pariwisata dipilih karena inilah peluang ekonomi terbesar yang sedang berkembang di Pulau Lombok. Cuma masalahnya bagaimana keuntungan dari pariwisata dapat digunakan untuk melestarikan Gunung Rinjani. Selama ini memang setiap pendaki ditarik tiket masuk oleh taman nasional, namun penerimaan  tersebut langsung disetor ke pemerintah pusat di Jakarta dan turun kembali ke Rinjani dalam bentuk program-program. Jumlahnya pasti jauh lebih kecil dari yang dikirim dan datangnya juga baru pada tahun berikutnya. Karena salah satu isu adalah pendanaan maka tantangannya adalah bagaimana uang yang masuk dari pariwisata pendakian bisa digunakan langsung dipakai untuk merawat Gunung Rinjani.

Semua pihak berkepentingan dengan Rinjani akhirnya sepakat pada tahun 2003, menyingkirkan ego masing-masing dan bersatu, membentuk organisasi Rinjani Trek Management Board (RTMB). Pihak Taman Nasional berbesar hati untuk menyerahkan kewenangan dalam mengelola -memanfaatkan, bahasa mereka- jalur pendakian Gunung Rinjani rute Senaru-Segara Anak-Puncak-Sembalun kepada organisasi baru ini. Bukan suatu proses mudah dalam menyatukan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Puluhan pertemuan, diskusi, formal maupun informal berlangsung untuk menyamakan pola pikir, menjembatani berbagai ide dan perbedaan. Dan untuk menyatukan mereka ini diperlukan pihak dari luar, yang bisa mereka terima dan percaya,   berfungsi sebagai fasilitator. Lembaga dari Selandia Baru bernama Tourism Resource Consultan (TRC) dengan mitra dalam negeri Indonesian Ecotourism Network (Indecon) dipilih memainkan peran ini. Bersama kedua lembaga ini para pihak tadi bekerja keras mencari solusi dan terobosan-terobosan baru. RTMB sudah terbentuk dan bertugas untuk meningkatkan pelayanan para pendaki gunung sekaligus melindungi Gunung Rinjani. Tetapi untuk bisa bekerja harus ada dana. Pertanyaannya dari mana dananya? Dari pemerintah? Tidak mungkin karena kalaupun ada pasti tidak memadai dan organisasi ini bukan dimaksudkan menambah unit baru di pemerintahan. Dana bantuan luar? tidak bijaksana karena hanya terbatas kurun waktu tertentu dan begitu habis bisa membuat seluruh kegiatan terhenti. Urunan anggota? sulit, belum tentu semua mampu dan belum tentu mau. RTBM harus mempunyai sumber dana mandiri untuk menjamin keberlanjutannya. 

Dana itu akhirnya didapatkan dari para wisatawan mancanegara, yaitu para pendaki asing. Dalam suatu survei diperoleh hasil bahwa mereka mau membayar lebih tiket masuk pendakian asalkan ada peningkatan pelayanan. Berdasarkan hasil survei ini, RTMB lalu menetapkan donasi konservasi sebesar 75 ribu per kepala khusus untuk pendaki asing. Masuk seluruhnya ke RTBM? tidak, uang itu dibagi meskipun sebagian masuk kas ke organisasi ini. Taman nasional tentu mendapatkan haknya menerima uang untuk tiket masuk. Pemerintah kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur, pemerintah desa Senaru dan Sembalun, menerima jatah juga. Penting untuk membagi  ke mereka ini karena ketika melihat suatu tempat berpotensi memberikan sumbangan bagi daerah maka pemerintah dengan senang hati mengadakan program-program meningkatan infrastruktur dan fasilitas di sini. Keperdulian mereka untuk menjaga Rinjani juga bisa meningkat. Sisa uang ada di kas digunakan untuk menjalankan program-program RTMB. Paling utama adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa. Pelatihan-pelatihan seperti pemandu wisata, porter, pengembangan kerajinan masyarakat dilakukan secara berkala. Paket-paket pendakian disusun untuk 3 hari 2 malam, 4 hari 3 malam demikian juga kegiatan-kegiatan wisata lebih singkat bagi mereka yang tidak mau mendaki. Pendaki asing diwajibkan untuk membeli paket pendakian di dalamya sudah termasuk pemandu, porter, tenda, kantung tidur, matras dan makanan selama perjalanan. Permintaan pengunjung untuk meningkatkan pelayanan berusaha dipenuhi melalui penetapan standar prosedur pendakian, perbaikan jalan setapak dan fasilitasnya, serta pembersihan sampah secara rutin. Brosur dan bahan publikasi dicetak dan disebar kemana-mana. 

Dapat berjalankah semua angan-angan ini atau hanya berbentuk rencana tanpa realisasi seperti biasanya? Perlahan tapi pasti program-program ini bergulir, bahkan boleh dibilang sukses. Masyarakat desa Senaru dan Sembalun secara bertahap mengambil alih peran pelaku wisata luar. Mereka menjadi pemandu, porter, usaha warung atau trek organizer (mengorganisir paket pendakian). Jumlah pendaki asing meningkat terus. Ketentuan pembelian paket pendakian walau membuat harga lebih mahal, bisa diterima dengan baik oleh mereka karena diiringi peningkatan pelayanan. Para wisatawan cukup membawa perlengkapan pribadi saja dalam mendai, kebutuhan lainnya sudah disediakan. Aksi kriminalitas menghilang, kegiatan masyarakat mengambil kayu menurun drastis. Tahun 2012, harga donasi konservasi Rinjani sudah bernilai 150 ribu per pendaki asing, pengunjung tetap naik terus. Jumlah anggota RTMB mencapai 45 lembaga dari berbagai sektor yang mempunyai kepentingan dengan Rinjani. Pelaku wisata di lokasi 100% adalah masyarakat desa. Porter-Pemandu-Trek Organizer-pengusaha rumah makan-pemilik penginapan adalah jenjang karier yang sudah terbayang di masyarakat desa.  Promosi Rinjani ada dimana-mana. Gunung bersih dari sampah, jalan setapak terawat. Jika ada longsor menutup rute pendakian hari ini, besok pagi dana perbaikan dari RTMB sudah turun dan masyarakat desa bergerak memperbaiki.  Pada kurun waktu antara 2003-2012, saya berani mengatakan tidak ada satu pun gunung lain di Indonesia yang dapat mengalahkan pengelolaan pendakian Gunung Rinjani. Ini adalah contoh terbaik bagaimana suatu kawasan konservasi bisa dikelola secara bersama-sama oleh banyak pihak dan mendapatkan manfaat dari pariwisata yang langsung dapat digunakan dalam menjaga kelestarian alam. Anda bisa katakan saya subyektif karena organisasi tempat saya bekerja terlibat dalam membantu RTMB. Bisa jadi tetapi setidaknya bukan saya saja yang menilai keberhasilan ini. Kementerian Pariwisata mengakui ini dengan menganugerahkan 3 kali berturut-turut Cipta Award -penghargaan nasional tertinggi dalam pengelolaan pariwisata- pada kurun waktu 2010-2012. Sampai karena sudah tiga kali menang, untuk sementara belum diperkenankan lagi  mengikuti ajang ini. Dunia internasional juga mengakuinya. RTMB mendapat anugerah World Legacy Award tahun 2004 dari lembaga bergengsi National Geographic Traveller dan finalist 3 besar Tourism for Tomorrow Award dari organisasi pariwisata dunia World Travel Tourism Council. Trip Advisor menobatkan sebagai atraksi wisata no 1 pilihan wisatawan di Pulau Lombok. Dan saya pernah baca di suatu majalah travel asia -agak lupa mungkin Action Asia- menyebut Rinjani sebagai 'one of the best mountain trek in southeast Asia'.  Pencapain ini nyata, membuat semua bangga dan semua senang. Seharusnya. 

Kemegahan Puncak Rinjani memanggil-manggil setiap pendaki di Plawangan Sembalun

Lembaran-lembaran uang mengalir deras ke Rinjani dari pariwisata. Siapa yang tidak tergiur. Sangat mudah sekali tergoda. Komitmen awal luntur perlahan-lahan. Nilai uang begitu besar dikelola RTMB menjadi pusat perhatian, bukannya bagaimana cara memanfaatkannya bagi kelestarian. Masalah demi masalah terjadi di RTMB, mungkin ini konsekuensi bagi organisasi yang semakin besar dan terkenal. Seharusnya bukan hal rumit, karena para anggotanya bisa duduk bersama mendiskusikan jalan keluar. Seperti dulu. Tetapi rupanya tidak mudah bila semangat itu sudah pudar. Semua kembali pada kepentingan masing-masing, ego menguasai kembali.  Beberapa pertemuan para anggota diadakan   untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi. Namun semua sebatas kesepakatan di ruangan diskusi, tindak lanjutnya tanda tanya besar. Situasi diperparah dengan kondisi generasi penerus di masyarakat, pelaku wisata dan pemerintahan yang mempunyai pandangan berbeda mengenai RTMB. Apa tujuan sebenarnya dan bagaimana para pelopornya jatuh bangun berusaha mendirikan lembaga ini sepertinya terlewatkan. Transfer informasi antar generasi tidak berjalan efektif. Ujungnya penarikan donasi konservasi RTMB dihentikan. Ini adalah nyawa RTMB. Akhirnya RTMB membekukan diri. Selanjutnya adalah fakta-fakta berikut yang mengikutinya.  Sampah menumpuk, pencurian muncul lagi, standar prosedur pendakian tidak dijalankan, perang harga paket pendakian bermunculan. Keluhan wisatawan melonjak. Posisi di Trip Advisor menurun drastis. Kampanye boikot Rinjani, selamatkan Rinjani muncul. Toh semua sepertinya dianggap angin lalu, karena jumlah pendaki tetap meningkat. Pemasukan semakin besar dan kini dikelola oleh Taman Nasional dan hasilnya disetorkan ke pemerintah pusat, bukan balik langsung ke Rinjani. Jumlah pendaki lebih penting dari pada kualitas mendaki. Cukup mendaki sekali saja lebih utama dari pada membuat pendaki merasa betah, ingin tinggal lebih lama dan ingin kembali lagi. Meskipun sudah sesak seperti saat ini, target kedatangan pendaki dinaikan terus. Kini Rinjani dituntut untuk menghasilkan uang besar dari pariwisata. Adakah yang coba berpikir dari sisi Sang Gunung itu sendiri, apakah masih sanggup ketika menerima beban sebegitu besar ini. Dikotori dan digerogoti keindahannya. Apakah sumber air yang diberikan, udara segar yang dihasilkan, erosi tanah yang ditahan, selama ini diterima manusia dengan cuma-cuma tidak cukup. Jika dituntut menghasilkan rupiah kenapa fungsi-fungsi menghasilkan air bersih, udara segar dan pencegah erosi tidak dihitung juga? Sungguh menyakitkan buat saya melihat kondisi Rinjani seperti ini.

Bayangan pegunungan bermunculan seiring cahaya matahari pagi di Plawangan Sembalun

Suatu hari seorang teman membisiki saya, 'Lihat videonya Jerome Clement tentang Rinjani di youtube'. Dan saya membukanya. Ini tentang aksi ekstrem Jerome, seorang pesepeda gunung, turun dari puncak Gunung Rinjani dengan memakai sepedanya. Tim nya membuat video aksi luar biasa berani ini. Tetapi yang menarik, mereka memakai drone untuk mengambil gambar dari udara. Dari sini saya bisa melihat sudut-sudut berbeda dari Rinjani dan itu sangat menakjubkan! Rinjani tetap mampu menunjukkan kehebatannya walau sudah diperlakukan demikian. Ini menyadarkan saya betapa ternyata masih kecilnya pemahaman saya terhadap Rinjani. Dalam kosmologi masyarakat Sasak, Gunung Rinjani dipercaya sebagai pusat dari semesta tata ruang. Puncak gunung sesungguhnya, tempat istana Dewi Anjani, tidak terdaki, tidak  tersentuh dan terlindungi dari mahluk lain. Gunung Rinjani sudah berdiri di sini sejak lama jauh sebelum manusia datang menghuni pulau. Kita tidak bisa mengajarinya apa yang harus dilakukan. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Jika kita tidak mengubah perlakuan terhadapnya, pada akhirnya Sang Gunung pasti punya cara sendiri mengatasinya. Hanya saja harap diingat, cara ini belum tentu sesuatu yang mengenakkan dari sudut pandang manusia.  Pendakian terakhir ke Rinjani saya lakukan pada tahun 2012, semoga sudah ada perubahan ke arah lebih baik sekarang ini.   

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas