Tarian Dewa di Tepian Mahakam

Borneo, Kalimantan, mendengar kata tersebut pikiran langsung melayang : rimba belantara penuh pohon-pohon dipterocarpaceae, dibelah sungai-sungai besar, bagian atas pepohonan dihuni oleh kera besar berwarna merah disebut orang utan, sementara lantai hutan adalah tempat tinggal suku-suku dayak. Imajinasi seperti ini mungkin mengundang para penjelajah dari Eropa mencoba memasuki pedalaman borneo sejak abad 19. Sebut beberapa diantaranya seperti George Muller, C.A.L.M Schwaner, A.W Nieuwenhuis dan James Brooke. Bayangan itu juga melekat pada saya saat berada di dalam mobil, menuju kota Melak kabupaten Kutai Barat pada tahun 2011. Sekalipun ini bukan perjalanan pertama menjelajahi pedalaman Kalimantan tapi kegairahan tidak bisa ditutupi. Terlebih lokasi yang akan dikunjungi adalah pedalaman sungai Mahakam. Salah satu tempat paling eksotis dan  menantang di Kalimantan.     


Kelok-kelok Sungai Mahakam, membentang sejauh 980 km di Kalimantan Timur dari Pegunungan Muller sampai ke Selat Makasar

Burung elang ikan kelabu meluncur dari dahan pohon di tepi sungai, rendah di atas permukaan air, mengintai ikan-ikan yang lengah. Pada bagian bawah dinding tanah atau akar-akar di tepian, sering nampak berang-berang  mencari makan di air. Tidak jarang mereka berkelompok berenang menyeberangi sungai. Sesekali beberapa ekor burung rangkong melintas di langit atau warna menyolok burung raja udang melejit di tepian. Begitulah suasana sehari-hari di Hulu Sungai Mahakam. Ketenangan ini terusik oleh hillir mudik manusia dalam  perahu-perahu berbagai macam ukuran. Termasuk perahu kecil yang saya tumpangi bernama ces, melaju perlahan membelah permukaan air diiringi suara berisik konstan dari motor tempel.  Badan  mulai terbiasa membungkuk dalam posisi duduk di perahu,  karena memang tiada hari tanpa lewat sungai. Setiap mau mengunjungi suatu desa, kebun atau mencari fenomena alam menarik, orang-orang lokal yang tanya saya mengenai lama tempuh menjawab : '1jam' atau '2 jam'. 'Jalan darat?', tanya saya. 'Sungai', kata mereka. Jalur darat tidak ada atau terbatas. Sungai merupakan jalur transportasi utama menuju ke tempat tinggal, tempat kerja atau lokasi buat kepentingan lain. Perannya tidak berubah sejak ratusan tahun lalu. 

Menembus jeram-jeram Mahakam sebelum memasuki daerah Long Apari 

Sebelum berangkat saya diberitahu bahwa menelusuri Hulu Mahakam itu berarti harus melewati jeram-jeram. Buku tua terbitan Periplus tentang Kalimantan karangan Kal Muller yang saya miliki juga menyebutkan hal ini. Bagi saya tidak terlalu mengkawatirkan karena mengarungi jeram bukan sesuatu yang baru, sering melakukan waktu masih kuliah dulu. Hanya saja tidak ada yang menyebutkan seberapa besar jeram itu.  

Perjalanan di mulai dari Melak dan aliran sungai kalem-kalem saja. Sekitar kota kecamatan di Long Bagun, hempasan jeram-jeram mulai terasa di tempat dinamakan Riam Haloq. Namun bagi saya semua masih normal, hanya saja bedanya kalau biasa berarung jeram dengan perahu karet, sekarang ini memakai kapal cepat bermesin dan melawan arus. Perhatian saya justru tersita menggagumi tebing-tebing tinggi berdiri tegak lurus membatasi tepi sungai. Di atas Long Bagun  ke arah Long Pahangai, ceritanya berbeda. Awalnya adalah pemandangan luar biasa bukit kapur berbentuk meja bernama Batu Ayau. Dari kejauhan bukit ini terlihat megah dan  misterius serta mengingatkan saya pada tepuis di Venezuela. Dari sini perjalanan sesungguhnya dimulai. Setelah beberapa waktu, kapten kapal menghentikan kendaraannya di tengah sungai. Lalu dia menjulurkan kepalanya keluar, mencari pemandangan ke depan lebih luas. Dia menilai situasi! Artinya di depan ada sesuatu harus diwaspadai. Balik ke kemudi, dia langsung tancap gas. Kapal melaju kencang dan buk ! Menghantam jeram. Buk...buk...menghantam lagi dan lagi. Saya dan teman-teman di dalam kapal bergoncang mencari pegangan. Semua sudah memakai baju pelampung. Riam yang dilewati luar biasa besar. Kapal yang saya tumpangi bukan kapal kecil. Kapasitasnya bisa menampung hingga 10 orang dan sepasang mesin 200 PK. Kapal sebesar ini harus memanjat jeram-jeram raksasa tersebut. Orang lokal menamakannya Riam Udang, karena ada satu bagian jeram berbelok tajam seperti bentuk ekor udang. Salah perhitungan sedikit, kurang konsentrasi atau mesin mati, tidak ada ampun. Batu-batu besar siap meremukkan kapal fiber ini. 

Lolos dari Riam Udang, cobaan belum berakhir. Ternyata masih ada satu lagi, Riam Panjang. Dinamakan seperti ini karena memiliki jeram besar yang sangat panjang. Menjelang memasuki riam dari kejauhan terlihat kabut  percikan air dari hempasan air. Kali ini benar-benar was-was. Kapal melaju dengan kecepatan penuh, merayapi riam-riam raksasa. Air terjun besar memuntahkan isinya dari tebing di samping, menambah efek horor bercampur rasa kagum dan gairah menggelora. Tidak ada ruang untuk berbuat kesalahan, jika ingin selamat.  Akhirnya kami berhasil lewat jeram itu, perasaan lega dan senang menjadi satu. Walaupun perjalanan pulang nanti masih harus melewati tempat ini lagi namun bagaimanapun searah arus lebih kurang beresiko dibanding melawan arus. Saya membuktikan hal itu dalam perjalanan kembali, kali ini menggunakan kapan kayu berukuran panjang bermesin 3 masing-masing 40-80 PK disebut long boat. Jeram demi jeram di Riam Panjang bisa dilalui dengan mulus walau sebagian penumbang basah kuyup. Situasi tidak sama ketika melewati riam udang, karena kami ganti perahu berukuran  kecil baik badan dan maupun mesinnya. Dalam naungan langit gelap dan terpaan hujan lebat, kami memutuskan mengambil ke darat dan berjalan kaki ketika tiba di Riam Udang, meninggalkan pengemudi perahu menerjang riam seorang diri. Menurut penduduk  jeram-jeram berbahaya Riam Udang semakin mengganas pada ketika air naik. Kami berjalan di tepian hingga riam terlewati.  Keluar dari semak belukar dengan badan basah kuyup, perahu sudah menunggu. Dia berhasil melewati jeram dengan mulus.   

Pengalaman mengarungi jeram Mahakam adalah luar biasa. Mungkin ini riam sungai terbesar yang pernah saya tunggangi dengan cara melawan maupun searah arus. Buat saya, jeram-jeram Mahakam, mengingatkan kembali akan betapa besar kekuatan alam dan diluar nalar. Kita tidak pernah bisa menduganya. Awal tahun lalu, riam panjang menelan korban. Menurut informasi, riam  sedang mengamuk. Kapal cepat biasa digunakan untuk angkutan umum, terhantam oleh kekuatan besar dan terbelah. Dari 20 penumpang, 5 tewas dan 2 diantara belum ditemukan hingga kini. Salah satunya yang hilang adalah teman saya, seorang pemandu wisata handal di kawasan pedalaman Mahakam. Di tengah kesedihan saya jadi teringat, kata-kata seorang penduduk saat di perahu, "Setiap pulang ke hulu, kami mempertaruhkan nyawa".   

Para Wanita dalam balutan pakaian tradisional suku Busang

Kawasan di atas jeram-jeram ganas Mahakam bukanlah tempat yang sepi. Derasnya aliran sungai tidak cukup untuk menghalangi kehadiran manusia. Satu perusahaan logging beroperasi di sini. Truk-truk besar mereka suka lalu lalang pada jalan-jalan rintisan. Namun suku-suku asli penghuni pedalaman tinggal di daerah ini jauh lebih awal sebelum eksploitasi dilakukan.  Semakin mendekati ke kaki Pegunungan Muller adalah wilayah suku-suku nomaden. Antropolog terkenal untuk daerah Mahakam, Bernard Sellato mengatakan, daerah  Hulu Mahakam pada awal abad 18 dihuni orang-orang Pin dan kelompok-kelompok kecil yang menjelajahi Pegunungan Muller. Beberapa dari kelompok ini melebur ke dalam suku bernama Aoheng atau dikenal juga sebagai orang Penihing. Suku ini menempati daerah antara Desa Tiong Ohang dan Long Apari, diselingi oleh kampung dihuni oleh orang-orang Seputan dan Bukat, suatu kelompok nomaden lainnya. Sayangnya, romantisme melihat orang-orang pengembara  hutan tinggal kenangan saja. Mereka semua sudah 'dimukimkan' pada tepian sungai. 

Kabut masih enggan beranjak dari perbukitan di belakang Gereja pada Desa Long Apari

Desa Long Apari adalah titik terakhir pemberhentian saya di Mahakam. Tidak ada lagi pemukiman di atas, inilah paling ujung. Sebuah pos militer berdiri tegas di Long Apari, meskipun tapal batas dengan Malaysia, menurut informasi masyarakat,  masih jauh ke utara memakan waktu sehari dengan perjalanan di sungai. Penataan desa ini tidak berbeda jauh desa-desa lain di sepanjang Sungai Mahakam hingga ke Long Bagun. Deretan rumah-rumah membelakangi sungai nyaris tanpa ada jarak ke badan air. Bagian muka dari rumah ini berhadapan dengan barisan rumah lain dipisahkan oleh jalan kecil. Sebagian besar rumah berstruktur panggung dan terbuat dari kayu. Setiap kampung memiliki rumah adat dikenal dengan istilah 'lamin', artinya rumah panjang kita semua. Rumah ini dihuni oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu keluarga besar. Beberapa lamin memiliki kolong dengan ketinggian sampai 3 meter dan umumnya dimensi bangunan tidak terlalu panjang. Sebagian telah berubah fungsi menjadi tempat kegiatan adat atau ruang pertemuan masyarakat. Beberapa lamin didekorasi dengan lukisan khas dari suku-suku pembangunnya. Saya dan teman-teman menginap pada salah satu rumah penduduk pada seberang jalan. Kami ditempatkan di bagian atas rumah panggung. Mungkin karena jarang menerima tamu orang asing menginap, pemilik rumah -dan juga masyarakat umumnya- agak kebingungan bagaimana melayani kami. Tetapi mereka berusaha memperlakukan kami sebaik mungkin. Tantangan terbesar adalah bila terbangun malam hari dan ingin buang air. Menuju ke sungai berarti harus menuruni tangga curam, menyelinap di sela rumah-rumah, menghindari anjing-anjing yang berkeliaran bebas, melangkahi  sampah berserakan, di tengah gelap malam   hanya diterangi secercah cahaya dari senter kecil. Memikirkannya saja sudah malas. 

Walau dibelakangi oleh rumah, sungai tetap pusat dari berbagai kegiatan. Di pagi hari perahu-perahu ces berseliweran dengan mesin tempel 10-12 PK menderu-deru. Perahu melaju membawa orang-orang ke kebun, ke hutan, ke kampung lain atau ke sekolah. Beberapa kali terlihat anak kecil berseragam sekolah membawa ces sendiri. Memang hampir setiap rumah memiliki perahu ini. Ibaratnya kalau di kota, ces adalah sepeda motor. Sore hari aktifitas adalah berendam di sungai karena jarang sekali ada rumah memiliki kamar mandi. Bisa juga gabung pada MCK terapung untuk umum pada beberapa tempat . Bosan mandi di sungai coklat, sesekali saya dan teman-teman naik ces masuk ke anak sungai untuk menceburkan diri pada air jernih. Sambil jalan pengemudi perahu menunjukkan kuburan tempat peperangan besar tahun 1885 antara penghuni Hulu Mahakam dengan penyerbu dari utara. Kal Muller dalam bukunya Kalimantan (1996) menyinggung pertempuran besar ini ketika Suku Iban dari utara menyerbu ke Hulu Mahakam pada tahun 1885.  

Dua jam sebelum perahu  sampai Long Apari, terhampar pemukiman lain bernama Tiong Ohang, salah satu tempat tinggal Suku Aoheng. Antara Long Apari dan Tiong Ohang, mengalir anak sungai Mahakam bernama Hubung. Melalui sungai inilah para penjelajah trans borneo memulai perjalanan menyeberangi Pegunungan Muller ke Hulu Sungai Kapuas di Kalimantan bagian barat. Penghuni Tiong Ohang lebih beragam, bercampur dengan orang-orang dari luar Mahakam bahkan luar pulau Kalimantan. Bukit Kapur pemberi pemandangan megah setiap hari di Tiong Ohang adalah jawaban kenapa tempat ini ramai. Di situlah burung-burung walet membuat sarang dan manusia datang untuk memanennya. Pada masa lalu, Tiong Ohang adalah pusat penghasil sarang burung walet. Bisnis besar ini tidak pernah terlepas dari konflik terutama perebutan lokasi sarang burung walet. Sejalan dengan turunnya harga sarang burung walet di pasaran turut meredakan usaha ini dan konflik-konflik yang terjadi. Pembukaan pos militer angkatan darat dan pos polisi juga membantu menentramkan suasana. Jejak konflik mulai memudar walau masih teringat di benak masyarakat. Pandangan penuh selidik, anjing-anjing  berkeliaran di pemukiman dalam jumlah banyak dan membentuk kelompok-kelompok, pemabuk yang mencegat di siang hari, semua memberi pengalaman baru  selama di Tiong Ohang. Ditambah menunggu dalam ketidakpastian ketika kami tiba terlambat tiba dari Long Apari berakibat kehabisan kapal panjang yang bisa membawa turun ke Long Bangun.   

Seorang Ibu sedang menggarap ladang padi bukit di dekat Long Tuyoq

Dua jam dari Tiong Ohang mengalir ke hilir dengan ces, meninggalkan bukit-bukit kapur dan wilayah Suku Aoheng, berdiri pemukiman cukup padat tempat orang-orang Busang di Desa Long Pahangai. Turun di tempat perahu-perahu berlabuh, bangunan terasa padat. Rumah tinggal berdempetan dengan toko-toko. Namun semakin menjauhi pusat keramaian, ruang antar bangunan makin lebar dan lega. Secara umum pemukiman lebih tertata dan bersih, penuh keramahan warganya. Bagian belakang pemukiman agak bergelombang adalah akses menuju  perladangan. Beberapa masyarakat berangkat ke sana dengan jalan kaki, tetapi banyak juga yang memiliki lokasi lahan pertanian  jauh sehingga harus menggunakan ces. Ketika menggarap ladang, dengan tanaman utama padi bukit, orang-orang dapat menetap berminggu-minggu. Karena itu di ladang selalu terdapat gubuk untuk tempat tinggal sementara. Pada gubuk inilah juga mereka mengisi waktu saat sedang santai atau menunggui ladang dengan membuat keranjang atau tikar ayaman.

Bicara soal Suku Busang, tidak bisa dilepaskan dari kisah migrasi penduduk dataran tinggi Apokayan. Tempat ini merupakan rumah dari beberapa suku paling tradisional di Kalimantan, berada pada hulu Sungai Kayan di sebelah utara Hulu Mahakam. Sekitar Tahun 1760, gelombang pertama migrasi penduduk dataran Tinggi Apokayan tiba di Hulu Mahakam (Sellato, 2015). Pertama adalah orang-orang Kayan, diikuti Suku Modang dari kelompok Long Gelat (sekitar 1800) dan disusul oleh Uma' Suling atau disebut juga Busang (sekitar 1810). Umumnya mereka turun dari Apokayan melalui Sungai Boh lalu bertemu dengan sungai Mahakam dan naik ke bagian hulu. Mereka berbeda dengan penghuni yang ada. Bukan pengembara hutan tetapi peladang berpindah. Suku-suku berbahasa Kayan ini sangat ahli menanam padi. Lebih terorganisir dan menguasai teknologi dengan segera mereka menempati tepian Mahakam yang subur, mendesak suku-suku penghuni sebelumnya. Sebagian dari mereka kini menempati desa-desa di atas riam-riam besar, termasuk Long Pahangai. 

Totem dari Suku Long Gelat-Modang di Long Tuyoq

Tepat setelah Riam-riam besar Mahakam terlewati, kira-kira setengah jam naik ces ke Long Pahangai, berdiri kampung dari para keturunan Apokayan lainnya. Desa Long Tuyoq rumah orang-orang Long Gelat. Penataan kampung ini mirip dengan Long Pahangai namun sedikit lebih sempit. Mereka adalah masyarakat peladang yang ramah. Di sini dan Long Pahangai, pada wilayah Busang dan Long Gelat, saya tinggal lebih lama. Banyak pengalaman menarik dan menyenangkan.  Melihat masyarakat berangkat ke ladang, ibu-ibu dengan keranjang anyaman di punggungnya. Atau mengamati para  pengrajin besi dengan seksama membuat parang dan alat pertanian.  Atau menyambut warga yang habis balik dari berburu dan mancing, mengintip hasil tangkapan mereka, babi hutan atau ikan. Beberapa kali saya berperahu menggunakan ces dengan ditemani masyarakat, memasuki anak-anak sungai jernih, menjaring ikan atau menjelajah hutan. Sekalipun pekerjaannya peladang, ketika di hutan mereka dengan segera menghilang. Jalannya cepat sekali. Saya membayangkan jika orang peladang saja bisa menjelajahi hutan seperti ini, apalagi dengan suku-suku pengembara. Terkadang kami berperahu sampai ke Long Lunuk, melihat bandara perintis, sambil mata melihat kiri kanan untuk menemukan buah Lai. Buah mirip durian tetapi dalamnya berwarna merah dan rasanya lebih ringan karena agak kering, rendah alkohol dan kolesterol. Kelezatannya tidak kalah dengan durian. Bosan di sungai, saya pergi berjalan kaki ke ladang, bergabung dengan masyarakat di gubuk-gubuk mereka. Saya sempat terheran-heran karena banyak di antara mereka membawa telepon seluler. Padahal di sini tidak ada sinyal. Baru tahu belakangan ternyata HP mereka gunakan untuk memainkan musik. Sayup-sayup dikejauhan terdengan suara Charice dengan lagu Pyramid yang sedang populer. Hebat!  Ternyata mereka tidak ketinggalan informasi.  

Hudog datang berkeliaran di Desa Long Pahangai

Dung dung dung dung dung dung....suara gendang terdengar bertalu-talu. Iramanya cepat seolah memberi tanda bahaya. Satu mahluk aneh berjalan menyusuri kampung. Wajahnya paduan warna merah dan putih, bola mata besar serta mulut membentuk paruh dengan bulu-bulu panjang di kepalanya. Bahunya berwarna merah sedangkan seluruh tubuhnya tertutupi rumbai-rumbai hijau. Teman-temannya menyusul di belakang. Mereka menghentak-hentakkan kaki dan menggoyang-goyang badan sambil mendongakkan wajah ke atas, menarikan gerakan yang konon datang langsung dari Nirwana. Para Hudoq telah tiba untuk menjaga kehidupan tanaman padi.  

Hudoq berjalan ke lapangan di depan rumah Lamin dan menari keliling lingkaran. Hentakan kaki, goyangan tubuh, tangan ke atas ke bawah, mengikuti irama musik gong dan gendang panjang. Di bagian lingkaran lebih luar para wanita dan anak-anak dalam balutan aneka pakaian tradisional penuh manik-manik dan bulu burung rangkong di tangan, menari berkeliling. Suasana riuh dan ceria. Apalagi ketika rombongan Hudoq lain datang, yaitu hudoq punan. Tampilan mereka beda, mendandani diri dengan segala macam tanaman di ladang atau kebun, mengilustrasikan diri sebagai binatang-binatang hama. Prosesi ritual dipimpin oleh 'orang pilihan' yang mampu berkomunikasi dengan para dewa atau roh. Pemanggilan roh-roh kadang membuat penari mengalami kesurupan.  


Keriuhan rombongan Hudoq berjalan sambil menarikan gerakan dari Nirwana

Hudoq adalah pertunjukan tari topeng yang ditampilkan oleh Suku Bahau (termasuk Busang di dalamnya) dan Modang (termasuk Long Gelat di dalamnya). Kesenian ini adalah bagian dari ritual setahun sekali pada bulan-bulan Oktober atau November, setelah selesai menanam padi. Tujuannya adalah memohon kepada Sang Pencipta agar padi yang ditanam memberi hasil melimpah. Para penari mengenakan topeng kayu berbentuk wajah binatang dengan bagian kepala dihiasi bulu-bulu burung rangkong. Seluruh tubuh penari ditutupi oleh rumbai dari daun pisang yang dibelah-belah kecuali bagian bahu dan dada dilapisi sehelai kain merah dan rompi dengan berbagai asesoris. Hanya kaum lelaki yang boleh menjadi hudoq. Mereka itu, menurut kepercayaan lama, adalah 13 dewa yang dikirim turun ke bumi untuk melindungi tumbuhan padi dari berbagai gangguan. Kisah versi lain, hudoq adalah para roh utusan 'Ibu Besar' di Khayangan. Mereka diberi tugas untuk menyampaikan kabar kebaikan serta memberikan benih tanaman dan obat-obatan bagi manusia. Namun wujud mereka mengerikan. Manusia bila melihat langsung bisa sakit atau meninggal. Menghindari hal ini, mereka kemudian menyamarkan diri memakai topeng dan daun pisang. 


   Hudoq punan mempersonifikasi binatang-binatang pengganggu tanaman di ladang

Saya berada pada waktu tepat di Long Pahangai. Ritual Hudoq akan berlangsung beberapa hari ke depan. Saya dan teman-teman sudah tidak sabar. Begitu gendang dan gong sayup-sayup terdengar di malam sebelum acara, kami bergegas ke rumah Lamin. Sore tadi, kami memperhatikan tuan rumah tempat menginap, menurunkan topeng Hudoq yang digantung di dinding untuk dibersihkan, dirapihkan bulu-bulunya. Kini, di Lamin, sudah ramai. Laki, wanita, tua, dewasa, anak-anak berkumpul dan berjalan dalam lingkaran. Tangan mengayun dan kaki dihentak. Mereka berlatih sebagai penari pengiring untuk esok hari. Kami ikut menari hingga tengah malam sampai kantuk menyuruh pulang. 

Besok pagi saya berjalan-jalan ke rumah penduduk bagian atas. Awalnya mengamati persiapan apa saja yang mereka lakukan untuk ritual Hudoq sore hari nanti. Mereka mengajak masuk ke dalam rumah dan saya dengan senang hati ikut membantu menyiapkan rumbai-rumbai dari daun pisang atau membantu para wanita memasukkan beras ke dalam batang bambu. Diluar pembakaran sudah disiapkan, kayu disulut, api menyala dan bambu di sandarkan di dekatnya. Proses pembuatan makanan tradisional lemang sedang berlangsung. Sekitar pukul tiga sore, para penduduk mulai bergerak. Topeng-topeng Hudoq dibawa di tempat berdandan dengan ditutupi kain, begitu pula rumbai daun pisang diangkut ke sana. Oleh penari, oleh anak-anak atau keluarganya. Di tempat ini mereka bersiap-siap memakai topeng dan pakaian. Ketika gendang mulai ditabuh, para Hudoq pun bergerak. Saya ikut mengayun dan menghentak, larut dalam tarian dewa. Kita tidak akan bisa menikmati pesona seperti ini pada pertunjukan Hudoq di festival budaya berlangsung kota-kota besar. Hanya pada pada lokasi asal tarian ini, aura keaslian dan kemistisan akan memancar. 

Keheningan dalam balutan keindahan sungai Mahakam

Dari Melak hingga ke Long Apari, sudah diselusuri. Selama perjalanan saya berusaha menemukan rimba belantara di tepian Mahakam. Tidak berhasil. Ladang, kebun, semak belukar dan daerah terbuka mendominasi pandangan. Beberapa bukit menakjubkan tertutup hutan lebat menyelingi pemandangan. Tetapi tidak banyak. Saya berpikir, 'Kemanakah perginya hutan?' Setiap penduduk yang saya tanya menjawab 'Ada, tetapi makin jauh dan makin sulit menemukan binatang'. Seperti halnya di wilayah Kalimantan lain, eksploitasi alam sudah berlebihan. Hutan menyusut, satwa liar menjarang, Burung Rangkong diburu, Ikan pesut Mahakam menghilang. Penambahan populasi penduduk dan perubahan gaya hidup sudah tidak bisa dicukupi dari berladang saja. 

Pikiran saya melayang mengingat pada Sang Hudoq menari-nari, seolah sambil mengamati perubahan yang terjadi di Mahakam. Sungai, hutan dan tanaman padi adalah bagian dari dirinya. Tapi kini semua itu mulai memudar, diterjang modernisasi yang lebih deras dari riam-riam Mahakam. Suatu saat mungkin Hudoq akan menghilang karena pada akhirnya dia tidak relevan lagi. Semua akan berubah dan Mahakam demikian juga. Bunyi gendang bertalu-talu terdengar  lagi di kejauhan. Tiba-tiba saya merasa suara itu seperti pertanda bahwa kisah ini tidak akan berakhir dengan bahagia.   


*Teruntuk Kiswono (RIP), hilang di Riam Mahakam 2015. Semoga beristirahat dengan damai di sisi Nya*

Catatan
Sebagian tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Asri edisi April 2015

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas