Tanjung Puting - Cerita Pendek Bekantan

'Honk'. Suara ganjil itu terdengar dari balik pepohonan pada sore hari. Saya perhatikan seksama ke arah suara tadi. Dahan-dahan pohon bergoyang. Mereka menampakkan diri. Mahluk-mahluk berbulu oranye berekor panjang. Wajahnya aneh, hidungnya mancung dan besar. Tidak salah lagi, Bekantan! Mereka ke tepi sungai untuk beristirahat dan menginap. 


Duduk sendirian dalam keheningan, seekor Bekantan (Nasalis larvatus) mungkin sedang menikmati keagungan hutan Kalimantan. Atau mungkin baginya ini hanya sekedar hari biasa lainnya. Sungai atau air membelah hutan adalah syarat utama tempat tinggalnya. Dia boleh menjelajahi hutan hingga masuk jauh ke dalam, tetapi tetap kembali ke tepian sungai untuk bermalam. Terkadang ada bekantan-bekantan lain tinggal di hutan-hutan mangrove tidak jauh dari laut. Baginya hanya di hutan-hutan di Borneo sesuai untuk ditinggali, tidak di tempat lain manapun di dunia. Tentunya ini merupakan hasil kekuatan evolusi, ketika Borneo terpisah dari daratan Asia menjadi pulau. Terisolasi di pulau ini dalam waktu cukup lama hingga akhirnya monyet-monyet berhidung ganjil yang dipercaya bermigrasi dari daratan Tiongkok, secara perlahan berubah menjadi spesies baru dan sekarang dikenal sebagai bekantan.



Duduk santai di pohon, terlihat hidung mancung besar menggantung dari sang bekantan. Dia lah sang jantan. Betina tidak mempunyai hidung sebesar ini walau tetap lebih lancip dibandingkan monyet-monyet jenis lain. Mengapa perlu hidung sebesar itu? Agar penciuman lebih tajam? Kenyataan daya penciuman bekantan tidak jauh berbeda dengan monyet lain berhidung kecil. Hidung besar ini ternyata lebih untuk pesona diri dalam menarik bekantan betina untuk kemudian dikawini. Manfaat lain adalah memperkeras suara yang dikeluarkan untuk memberi peringatan pada kelompoknya bila ada bahaya mendekat. 


Sekelompok bekantan di pohon, mudah tersamar di antara dedaunan. Mereka seperti mengenakan mantel dengan warna bulu oranye sampai coklat kemerahan menutupi terutama daerah bahu dan kepala. Ekor panjang keputihan dan perut agak besar. Berat untuk jantan bisa mencapai 22 kg tapi betina lebih ringan sekitar  6- 12 kg. Cukup untuk menobatkan bekantan sebagai salah satu monyet berukuran terbesar. Bekantan hidup dalam kelompok besar, satu jantan dominan dengan betina-betina dan anak-anaknya. Satu kelompok bisa berjumlah 3-12 individu, kadang lebih. Namun kelompok-kelompok ini sifatnya cair, bisa bergabung membentuk gerombolan besar terutama di tempat istirahat malam, hingga sampai 60 ekor. Bisa juga gerombolan ini mencari makan bersama. Walau bersatu tapi ada batasan jelas. Bekantan bercengkrama dan bermain hanya dengan anggota kelompoknya saja. 


Sibuk memilih daun-daunan terbaik, menu makanan utama bekantan. Daun sulit dicerna di lambung karena mengandung selulosa. Bekantan mengatasinya dengan memiliki lambung besar untuk memberi ruang bagi  bakteri pengurai selolusa. Namun proses penguraian  ini berjalan lambat, lambung bekantan pun sering terisi penuh daun, perut tampak besar. Selain daun ada suplemen tambahan berupa biji, buah mentah dan serangga kebetulan lewat.


Anak bekantan ini rupanya tahu, saya mengamati dia dengan kamera. Dia pun penasaran menunjukkan keingintahuan dengan balik menatap saya. Anak anggota muda dari kelompok ini, sudah tumbuh bulu seperti bekantan dewasa, berarti berumur lebih dari 3-4 bulan. Waktu lahir, anak bekantan berwarna hitam bulunya. Sang induk memperbolehkan dia diasuh oleh para anggota dalam kelompok. Menginjak umur sekitar satu tahun, bekantan memasuki masa remaja. Betina muda cenderung tetap tinggal di kelompok sedangkan jantan muda biasanya bergabung dengan kelompok perjaka. 


Menikmati cahaya matahari sambil saling membersihkan bulu, rutinitas sore hari para bekantan. Mereka adalah perenang handal, sedikit dari jenis monyet yang mampu menyelam dalam air. Keterampilan ini diperlukan karena bekantan sering kali dituntut untuk menyeberang sungai dalam perjalanan mencari makan. Mereka mencari celah sungai terpendek dan melakukan loncatan jauh dari pohon ke dahan- dahan pohon lebih rendah di seberang. Tidak selalu berhasil, beberapa terjebur ke sungai. Kepandaian berenang dapat membantu tiba di seberang. Namun jatuh ke sungai sangat beresiko tinggi. Ini kesempatan musuh bebuyutan bekantan, yaitu buaya untuk memangsanya. Ada kisah menarik di Tanjung Puting dalam urusan menyeberang ini. Saya mendengarnya dari pemandu dan belum tahu seberapa jauh ini benar atau tidak. Para bekantan mengambil manfaat dari kegiatan pariwisata. Mereka kalau mau menyeberang menunggu perahu wisata kelotok lewat. Begitu lewat, para bekantan langsung menyeberang sungai, sebelum buaya kembali siaga setelah terganggu sama perahu. Apakah ini karena bekantan pintar atau sekedar naluri biasa saja, belum diketahui.


Bekantan memojok sendirian, seolah sedang merenungi masa depan yang tidak menentu. Hutan seperti yang dia tinggali, satu per satu hilang. Populasi turun hingga 50% dalam waktu 40 tahun terakhir. Para bekantan tersisa hidup tersebar terpisah-pisah. Sebagian besar di Kalimantan, selain Sabah, Serawak dan Brunei. Bagi bekantan, hutan dan sungai adalah segalanya. Mereka tidak bisa hidup dalam lingkungan buatan. Sedikit bekantan yang berhasil hidup di kebun binatang. Akan kah masa mahluk-mahluk hidung ganjil menguasai pepohonan hutan-hutan tepi sungai berakhir?

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas