Gayo Lues-Negeri Seribu Bukit

Leuser adalah dambaan para petualang, para penjelajah sejati. Gunung-gunung berlapiskan hutan tua berderet dengan kokoh. Beberapa menjulang hingga ketinggian 3.000 meter. Lereng curam, lembah sempit membentengi kehidupan di sini. Ribuan jenis mahluk hidup tinggal, termasuk 4 satwa ikon pulau Sumatera, gajah, badak, harimau dan orang utan. Leuser adalah nirwana. Tentu termasuk bagi manusia juga. Pada bagian-bagian khusus, pada lahan melandai, di situlah manusia akan bermukim. Dan di Leuser terdapat tempat yang tepat pada suatu dataran tinggi luas bagi orang-orang  menamakan diri Gayo tinggal. Tepat di jantung kawasan Leuser, dikelilingi puluhan mungkin ratusan gunung-gunung. Salah satu tempat ini bernama Gayo Lues. Saya mendapat kesempatan menengoknya beberapa kali pada tahun 2014. Negeri Seribu Bukit, kata para penghuni.

Deretan gunung yang berlapis-lapis di Gayo Lues

Badan berguncang-guncang, dikocok dalam mobil melalui jalan-jalan berlubang di kawasan Tanah Karo. Truk-truk besar lalu lalang, merayap pelan. Jalan bisa berair dan lumpur pada musim hujan, sebaliknya penuh debu di saat kemarau. Terhenti sejenak mengamati Gunung Sinabung yang masih bergejolak dari kejauhan, sebelum tantangan berlanjut, sampai gerbang penanda Propinsi Aceh nampak. Tiba-tiba jalan berubah mulus. Mobilpun bisa melaju kencang. Saya sudah di Aceh Tenggara. Bukit-bukit berhutan memagari kedua sisi jalan, makin melebar ke arah utara menuju ke ibukota kabupaten. Tetapi tidak lama. Lepas dari kota Kutacane, jalan mulai berkelok-kelok dan akhirnya bertemu dengan sungai besar bernama Alas. Pemukiman menjarang dan kiri kanan jalan adalah bukit-bukit tertutup hutan. Hampir sejauh 50 km, saya terkagum-kagum sepanjang jalan melihat hutan yang tidak ada habisnya.


Gayo Lues terletak pada kawasan Leuser, merupakan  bagian utara dari Pegunungan Bukit Barisan. Meskipun berada di Aceh, Kabupaten ini lebih mudah dijangkau dari kota Medan Sumatera Utara, dibandingkan melalui Banda Aceh. Dari Kutacane, Aceh Tenggara, jalan membentang mengikuti patahan tektonik dialiri dengan sungai besar, sepanjang 92 km sebelum tiba di kota Blangkejeren.


Hamparan pohon pinus menutupi lereng-lereng gunung sekitar Blangkejeren

Hutan tropis dengan pohon-pohon mempunyai tajuk seperti payung terbuka memenuhi pemandangan di tepi jalan sejak dari Ketambe-Aceh Tenggara. Jalan berkelok dan menanjak, udara mulai dingin. Satu dua pohon berbentuk kerucut, yaitu Pinus, mulai bermunculan. Tanda kota Blangkejeren sudah tidak jauh lagi. Pohon pinus makin banyak, lama kelamaan membentuk hamparan luas. Jika berjalan-jalan di sekitar Blangkejeren dan desa-desa di dekatnya, pinus sejauh mata memandang.  Bentang alam yang tercipta sungguh indah sekali, terutama bila disaksikan pada pagi hari.


Pohon pinus di sini adalah tumbuhan asli Sumatera. Biasanya pinus ditemukan pada tempat terbuka seperti hutan terganggu, bekas longsoran atau lereng berbatu. Jumlahnya tidak banyak. Untuk bisa menyelimuti area begitu luas di Blangkejeren, pinus butuh bantuan pihak lain, yaitu kita, manusia. Menurut de Wilde dan Duyfjes pada buku Leuser a Sumatran Sanctuary (1996), biji pinus mudah berkecambah dan tumbuh pada daerah terbuka. Pola pertanian berpindah pada masa lalu di Gayo Lues, memudahkan pinus berkembang dimana-mana. Daerah-daerah bekas kebun dengan segera akan dikolonisasi oleh tumbuhan ini. Terlebih bila petani menggunakan api dalam menyiapkan lahan atau untuk memicu pertumbuhan rumput bagi makanan ternak mereka. Kulit pohon pinus tahan terhadap panas. Anakan pinus akan berjaya sendirian pada lahan-lahan yang sering dibakar karena hanya pohon ini yang bertahan hidup. Hutan alam yang kaya digantikan oleh hutan pinus yang relatif miskin  dalam keanekaragaman. Tetapi bukannya tidak ada manfaat. Getah dan kayu bisa dipanen oleh masyarakat, dan tentunya juga pemandangan menakjubkan. 


Kota Blangkeren di bawah bayang-bayang pegunungan Leuser

Jalan aspal lurus mulus terbagi dua arah dipisah oleh pembatas, menyambut kedatangan di Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Delapan jam lama waktu ditempuh dari Medan. Deretan bangunan berjajaran di sepanjang jalan, dengan pusat perekonomi tidak jauh dari percabangan jalan ini. Lokasi konsentrasi pertokoan, rumah makan, pasar dan fasilitas lainnya. Udara terasa sejuk karena memang kota ini terletak pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut dengan pegunungan sekelilingnya. Mengingatkan kepada kota Bandung di Jawa Barat. Lebih tepatnya Bandung di masa lalu. Gunung, pohon pinus, udara segar, lingkungan asri, dan lalu lintas belum ramai. Keluar sedikit dari radius pengembangan kota, hutan pinus dan  suasana pedesaan langsung dominan. 


Persawahan pada daerah-daerah dataran aluvial di sekitar Blangkejeren

Kincir air untuk menggerakan alat penumbuk padi

Daerah Blangkejeren banyak dilalui oleh sungai-sungai berukuran sedang atau kecil. Sungai-sungai ini mengalirkan sedimen (aluvial) pada daerah dataran cukup luas, terbentuk dari proses geologi dan tektonik. Kaya air dan landai adalah tempat ideal untuk membuat persawahan. Masyarakat yang tinggal di sini tahu akan hal itu. Mereka menanam padi dan juga tanaman lain penyuka air seperti tebu. Teknologi alat penumbuk padi dari kayu digerakkan oleh kincir air menunjukkan bahwa kegiatan menanam padi sudah berlangsung sejak lama.. Tentu, sekarang sudah tidak terpakai lagi, digantikan oleh mesin. Lingkungan mendukung ditambah tanah subur, membuat Blangkejeren dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras berkualitas. Keluar sedikit dari areal aliran-aliran sungai, lahan kembali berbukit-bukit dan akses ke air menjadi sulit. Mengembangkan persawahan tidak memungkinkan, oleh sebab itu dahulu petani menanam padi ladang dan jagung dengan pola berpindah-pindah, sebelum akhirnya digantikan dengan komoditas tertentu pada abad ke 20.

Pengeringan secara tradisional tembakau Gayo yang terkenal sejak jaman Pemerintah Hindia Belanda

Satu hal yang membuat saya takjub adalah kondisi tanah Gayo Lues. Apapun yang ditanam menghasilkan terbaik.  Ketika pemerintah Hindia Belanda membawa tembakau, tanaman tumbuh subur. Kemudian Belanda memperkenalkan kopi, itu pun dengan segera melimpah. Bahkan  tumbuhan yang ditanam dekat kopi pada masa itu dengan tujuan menarik hama perusak tanaman kopi, yaitu ganja, juga tumbuh pesat. Hebatnya lagi semua menghasilkan komoditas kualitas kelas satu, baik yang legal maupun ilegal (ganja).   Sekarang pun saat digalakkan bertanam sereh wangi, tumbuhan ini dengan cepat berkembang dan menghasilkan minyak berkualitas tinggi. Saya bertanya-tanya, apa yang terkandung di dalam tanah ini sehingga hampir semua tanaman budidaya tumbuh subur dan menghasilkan yang terbaik. Apakah kaya kandungan nitrogen, fosfat, mikro nutrien, air dan mikroorganisma? Apakah memiliki komposisi yang tepat antara kandungan air, nutrisi dan mikroorganisma? Saya masih menunggu jawaban tepat hingga kini. 
   
Satu keluarga orang Gayo di desa dekat Blangkejeren dengan rumah masih terbuat dari kayu dan berstruktur panggung

Suku Gayo menghuni pada daerah pegunungan bagian utara Bukit Barisan melebihi batas-batas adminstrasi pemerintahan. Daerah suku ini terbagi ke dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Secara kekerabatan kemungkinan besar suku ini lebih dekat ke suku pegunungan lain pada sisi selatannya yaitu Karo, dibandingkan ke orang Aceh di pesisir. Antropolog John Bowen dalam bukunya tahun 1991 tentang sejarah Gayo, mengatakan secara tata bahasa (linguistik) bahaya Gayo berbeda dengan bahasa Aceh. Bowen juga mengutip dokumen sejarah 'Hikayat Raja-Raja Pasai' pada abad 14, tentang sekelompok masyarakat yang pindah dari Pasai ke hulu sungai Peusangan (merupakan sungai berhulu di danau Laut Tawar di wilayah Gayo). Dokumen lain 'Hikayat Aceh"pada abd ke 17, sudah penyinggung tentang suatu daerah yang memiliki laut tawar berada dalam wilayah kekuasaan Aceh. Penemuan arkeologi berupa kerangka manusia berumur 7.000-8.000 tahun di Aceh Tengah menambah dugaan baru tentang asal usul orang Gayo. Apakah mereka berasal dari keturunan Austronesia yang bermigrasi lewat laut ke Pulau Sumatera 2.000 sebelum masehi? Atau berasal dari keturunan lebih tua yang datang dari Asia melalui jalur darat? Atau percampuran antara keduanya?  Jawabannya masih bisa diperdebatkan, sambil menunggu bukti-bukti temuan baru.

Keindahan Danau Biru  di daerah Tripe Jaya

Hutan tropis luas di dekat bekas kebun tembakau, merupakan pintu masuk pendakian ke Gunung Leuser.

Mr. Jali memberi memberi isyarat untuk diam dan berjalan pelan-pelan. Pemandu handal di wilayah Gunung Leuser menunjukkan ke arah tajuk pohon yang tidak terlalu tinggi. Satu keluarga kera siamang (Sympalangus syndactylus)! Saya terkesima. Selama ini saya lebih sering mendengar suara teriakan kera ini atau sesekali melihat sekelebatan. Tidak pernah sejelas ini, sedekat ini. Satu dari rangkaian kejutan dari sebelumnya: orang utan sumatera (Pongo abelii) dan ungko tangan putih (hylobates lar). Semuanya begitu mudah dijumpai, hanya dalam 1-2 jam trekking di dalam hutan di Keudah, sekitar 14 km  dari Blangkejeren. 

Bagi saya alam di Gayo Lues adalah sangat luar biasa. Hutan masih lebat dan dalam kondisi baik. Penghuninya beragam dan melimpah. Orang utan, siamang, ungko menguasai tajuk pepohonan, sementara harimau, rusa, babi hutan berkeliaran di lantai hutan. Pada daerah lebih rendah,  badak sering muncul di kaki Gunung Kemiri, sementara gajah menyukai bermain di Dataran Tinggi Kappi. Ratusan jenis burung berkicau dan beterbangan, demikian pula dengan amfibi dan reptil. Jangan lupakan Gunung Leuser nan agung. Memerlukan waktu 2 hari melalui hutan lebat agar bisa melihat wujudnya, dilanjutkan berjalan melalui padang rumput pegunungan selama 4-5 hari sebelum menggapai puncak tertinggi 3.466 m dari permukaan laut. Daerah Keudah adalah pintu masuk paling populer untuk pendakian ini. Leuser juga kaya akan air. Aliran-aliran air kecil bergabung membentuk sungai-sungai jernih belum tercemar. Beberapa sungai merupakan tempat menarik untuk berarung jeram. Semuanya bersatu dalam   blok  hutan  besar, menyambung tanpa putus. Karena mempunyai nilai sangat penting kawasan ini tetapkan sebagai daerah konservasi Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas mencapai 1 juta hektar. 

Saat hujan membasahi bumi, keindahan tanah gayo masih terpancar kuat

Saya berdiri di tempat bernama Genting, memandang ke arah gunung-gunung selepas daerah pinus. Punggungan satu gunung berdiri kokoh di depan saya, berjarak dekat sehingga saya bisa melihat jelas pohon-pohon rimba dengan tajuk berwarna hijau tua menutup rapat lereng. Dibelakangnya terdapat lapisan punggungan lain, dengan warna sama, hijau tua dari pepohonan. Dibelakang ada satu punggungan lagi, dibelakang itu ada lagi, warnanya mulai kebiruan. Pada punggungan di kejauhan  tersebut masih ada lagi yang lain setelahnya. Selalu ada punggungan lain dibelakang seolah tidak pernah habis. Pemandangan sama saya jumpai di Tobacco Hut, Agusan dan Ketambe. Leuser adalah benteng paling kokoh hutan Sumatera. 

Tetapi cukup kokohkah untuk menahan keperluan manusia pada masa populasi manusia bertambah terus seperti sekarang? Kebutuhan pangan, kebutuhan energi, kebutuhan tempat bermukim, kebutuhan untuk bisa hidup sejahtera. Penebangan kayu, perburuan, perambahan, alih fungsi hutan secara perlahan tapi pasti sedang berlangsung,  menggerogoti Leuser. Atas nama perikemanusian sepertinya kita harus korbankan hutan dan mahluk hidup lain. Namun kita kadang lupa bahwa hutan memberi banyak hal untuk kelangsungan hidup manusia. Air, udara segar, pencegah bencana alam, dan cadangan genetik dari beragam mahluk hidup.  Kadang lupa bahwa kita sering mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Sebenarnya perkembangan ilmu dan teknologi terkini, memungkin bagi kita semua untuk melestarikan hutan tanpa harus mengorbankan kesejahteraan manusia.  Masalahnya tinggal pada kemauan. Leuser membutuhkan kemauan kuat manusia  untuk bisa tetap bertahan sebagai surga bagi seluruh mahluk hidup.  

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas