Arfak - Gunung yang Tidak Pernah Terlupakan

Kabut turun di Arfak
Membasuh daun-daun
dan hati

Deretan gunung-gunung menjulang terjal dari pantai-pantai Teluk Dorei selalu mengesankan bagi para pengunjungnya. Luas dan lebat,  memicu keinginan untuk mendatangi. Saya bisa merasakan, saat mengamati pegunungan ini dari hotel berlokasi puncak bukit di Manokwari. Mungkin hal  sama dirasakan oleh Jacob Weyland dari Belanda saat menginjakkan kaki di Teluk Dorei tahun 1705. Atau  Alfred Russel Wallacea yang terkenal pada tahun 1858, diikuti dua peneliti alam dari Italia Odoardo Beccari dan Luigi M. d’Albertis pada tahun 1872-1873. Atau para pengunjung yang datang jauh sebelum orang-orang Barat tersebut, yaitu pedagang dan petualang dari pulau-pulau di sekitarnya. Penduduk pesisir menyebut gunung tersebut, Arfak atau Gunung Besar. Lereng-lereng tertutup pepohonan lebat, kabut merayap, liukan tarian Burung Cendrawasih, cemerlang warna bunga rhododendron, keriuhan suku-suku penghuni, mitos dan cerita-cerita mistis, sesuatu yang tidak mudah dilupakan saat menjelajahi Arfak.  


Hampir seluruh lereng dan puncak-puncak Pegunungan Arfak tertutup vegetasi lebat. Sekitar 68 ribu hektar lahan berisi pohon-pohon berukuran besar pada kaki gunung, menyambung ke hutan-hutan lumut terselubung kabut di ketinggian hampir mencapai 3.000 meter dari permukaan laut. Kegiatan penelitian alam telah lama diberlangsung, sejak jaman Alfred Russel Wallacea -penggagas teori evolusi bersama Charles Darwin- dari Inggris tinggal selama beberapa bulan di Teluk Dorei. Serangkaian eksplorasi mengungkap kekayaan gunung ini. 110 jenis mamalia termasuk kuskus, opussum, kuskus ekor kait dan kanguru pohon berkeliaran. Lebih dari itu Arfak adalah surga burung. Telah dikenali sekitar 333 jenis burung hidup mulai dari kaki hingga puncak gunung. Sebagian dari binatang ini jenis endemik  atau tidak bisa ditemukan di tempat lain di dunia kecuali di sini. Kenyataan ini bisa jadi berhubungan dengan sejarah geologi di Arfak. Gunung ini termasuk pada wilayah Kepala Burung Papua. Suatu kawasan yang diketahui pernah terpisah dari daratan utama Papua menjadi suatu pulau tersendiri pada masa awal Cretacious (138-66 juta tahun yang lalu). Selama periode pulau, spesies penghuni berevolusi secara terpisah dari jenis yang sama pada daratan utama. Ketika menyambung lagi dengan daratan, beberapa jenis telah berkembang menjadi spesies baru dengan ciri-ciri unik berbeda dibandingkan kerabat asalnya. 


Kendaraan saya tumpangi melaju dengan kencang, seiring angin sejuk masuk dari jendela. Sungai beraliran air begitu jernih dilewati dengan santai. Lapisan jalan berganti-ganti dari aspal, kerikil lalu tanah dilalui dengan mulus. Memasuki tanjakan,  supir dengan sigap ganti gigi mesin dan mobil ibarat mencengkram tanah, naik dengan perlahan tapi pasti. Terkadang tanjakan tidak main-main curamnya. Truk pun tidak sanggup melaluinya. Hanya mobil-mobil gardan ganda yang mampu menembus keterjalan tidak beraturan Pegunungan Arfak.  Mobil kabin ganda terutama Toyota hilux mendominasi pemandangan sehari-hari dan merupakan kendaraan angkutan umum bagi warga lokal. Ketidakstabilan lahan menyebabkan situasi berubah-ubah. Lereng longsor lalu menimbun jalan adalah hal umum.  Tahun sebelumnya jalan masih dalam kondisi mulus, namun tahun berikutnya bisa saja sudah hancur. Lokasi terdekat  Arfak yang sering saya kunjungi ada di Mokwam, sejauh 61 km dari Manokwari. Kalau lancar, 2 jam sudah tiba di sana. Itu jauh lebih baik dibandingkan masa lalu saat jalan belum ada. Butuh 2-4 hari berjalan kaki.  Atau terbang dengan pesawat kecil jenis Cesna milik misionaris dan mendarat pada landasan perintis di Mokwam, sambil bercampur rasa was-was karena cuaca suka tidak menentu. 


Hutan lebat bukan kendala bagi manusia untuk hidup di dalamnya, termasuk di Arfak. Bahkan kenyataan menunjukkan bahwa pegunungan ini memiliki populasi manusia cukup padat. Banyak kampung-kampung tersebar di dalamnya, mulai dari Mokwam hingga Danau Anggi. Karena itu dalam perjalanan di Arfak akan mudah untuk berjumpa dengan penduduk lokal. Para pria membawa karung mengangkut hasil kebun,  ibu-ibu dengan tas noken dilingkarkan pada kepala, atau pemburu dengan busur dan anak panah. Mereka semua merupakan bagian dari suku besar penghuni Arfak. Setidaknya ada empat suku dominan yaitu Hatam, Moile, Sougb dan Meyah. Keempat suku tersebut memiliki kebudayaan relatif sama namun berbeda dalam bahasa. 


Memasuki Kampung Kwau pada ketinggian sekitar 1.150 meter dari permukaan laut, pemandangan terasa segar. Deretan rumah berjajar rapi dan berhadap-hadapan dibelah jalan tanah tertutup rumput. Rumah berbentuk persegi, sederhana, berdinding kayu atau batako-semen dengan atap seng. Satu dua rumah bergaya tradisional masih tampak. Halaman rumah cukup luas, diberi pagar pembatas, dan ditanami tumbuhan hias, menambah semarak suasana. Latar belakang kampung ini sungguh luar biasa, lereng-lereng curam gunung tertutup hutan lebat. Tidak jauh dari Kwau, mendekati ketinggian 1.300 meter dan terpisah oleh suatu jurang lumayan dalam berdiri kampung lain yang sudah cukup tua yaitu Mokwam.  Kampung ini terletak pada punggungan lebar dan landai, tidak heran terdapat landasan perintis untuk pesawat terbang kecil. Dahulu penerbangan digunakan untuk transportasi dan angkutan logistik para misionaris, tetapi kini landasan sudah tidak berfungsi lagi. Satu kampung lagi di komplek ini adalah pemekaran dari Mokwam, yaitu Syoubri lokasinya paling dekat ke jalan raya dan paling tinggi, antara 1.400-1.600 meter. Beda dengan dua kampung sebelumnya, Syoubri berdiri pada lahan miring dan ujungnya langsung berbatasan dengan hutan. Ketiga kampung inilah yang beberapa kali saya kunjungi bila sedang ke Arfak. 



Di antara deretan rumah di Kwau, ada satu tampak berbeda. Rumah tersebut berstruktur panggung dengan jumlah tiang banyak sekali dan bagian luar dindingnya dilapisi oleh kerangka dari kayu dan bambu. Inilah rumah asli suku Arfak disebut Igkojei oleh orang Hatam atau Tumisen oleh orang Sougb, dan dipopulerkan dengan nama rumah kaki seribu. Diberi julukan demikian karena tiang penyangga tegak bangunan panggung jumlahnya bisa mencapai 50-70 batang. Lantai disusun dari batang-batang pohon dan bambu, kadang dilapisi kulit kayu. Dinding dibuat dari kulit kayu dipipihkan dan diatur agar menutupi seluruh bangunan. Sedangkan atap biasanya menggunakan anyaman daun pandan dan rumput ilalang, namun sekarang banyak digantikan oleh seng karena lebih tahan lama. Hanya ada dua akses masuk rumah, pintu depan dan pintu belakang, tanpa ada jendela sama sekali. Bagian dalam adalah ruang lebar tanpa sekat, terbagi beberapa fungsi. Satu bagian untuk memasak dan makan, satu sisi tempat aktifitas perempuan dan ruang lainnya untuk kegiatan pria, dari beberapa keluarga yang mendiami rumah tersebut. Bentuk banguan tertutup rapat rumah kaki seribu merupakan adaptasi terhadap lingkungan. Tidak ada celah bagi udara dingin, serangan musuh atau binatang berbahaya.  

Walaupun pada beberapa kampung lain di Arfak, rumah kaki seribu masih sering dijumpai, namun di Kampung Kwau, Mokwam, dan Syoubri saat ini semakin jarang bahkan hampir hilang sama sekali. Penduduk lebih menggemari rumah non-panggung dari batako dan semen karena tahan cuaca, awet, serta bahan mudah diperoleh tanpa mengambil kayu hutan.



Saat saya berjalan kaki menuju Kwau atau Mokwam, nampak bekas-bekas lahan terbakar dibatasi oleh dinding pagar rapat dari tumpukan kayu. Rupanya penduduk lokal sedang menyiapan lahan. Mata pencaharian utama mereka adalah berladang. Hutan dibuka untuk ditanami hingga kurun waktu tertentu kemudian berpindah ke lahan baru ketika kesuburan tanah sudah habis. Kol, labu diam, seledri, petsai dan daun bawang tumbuh subur. Bersama buah markisa yang berlimpah, hasil panen mereka jual ke pasar Wosi di Kota Manokwari. Sementara ubi jalar, keladi dan ubi kayu ditinggal di rumah untuk konsumsi sendiri. Teknologi pertanian mereka gunakan masih sederhana sekali. Meskipun demikian saya tidak berhenti kagum ketika melihat daun bawang dibawa mama-mama untuk dijual ke pasar. Ukurannya dua kali lipat daun bawang di Jawa.  


Serangga tersebut menggantung di antara kepompong-kepompong coklat tua. Dia baru saja menyelesaikan metamorfosis menjadi kupu-kupu berwarna cemerlang. Tubuh dan sayap belakang kuning, dipadukan dengan  hijau cerah pada sayap depan. Penampilan cantik dari Kupu-kupu sayap burung (genus Ornithoptera). Disebut demikian, karena ukurannya sangat besar sehingga para penjelajah awal sempat mengira kupu-kupu ini adalah burung sedang terbang. Tubuhnya bisa mencapai 7,6 cm sementara rentangan sayapnya 28 cm. Pegunungan Arfak merupakan pusat keanekaragaman dari Kupu-kupu sayap burung. Keindahan tampilan serangga ini, banyak digemari para kolektor. Awetan kupu-kupu bisa dihargai hingga puluhan juta. Karena itu usaha penjualan awetan kupu-kupu sayap burung dari hasil budidaya pernah dirintis masyarakat Mokwam dengan bantuan beberapa lembaga swadaya masyarakat. Sekalipun teknik mengembangbiakan kupu-kupu sudah berhasil namun usaha ini macet akibat terbentur proses perijinan. Sisa fasilitas budidaya terlihat terbengkalai di Mokwam. Belakangan usaha ini coba diintis kembali, namun sayang, bukan dilakukan lagi oleh orang-orang Arfak.


Udara pagi masih terasa dingin, ketika Zeth Wonggor memandu kami memasuki kawasan hutan di atas kampung Syoubri. Matahari belum mau menampakkan diri dan tetesan air membasahi dedaunan, saat kami bertemu dengan suatu kontruksi sederhana di tengah hutan. Bentuk persegi dari rangka kayu, lalu dibungkus oleh bagor plastik warna kecoklatan. Zeth membangun pondok ini sebagai tempat pengamatan burung cendrawasih. Untuk menyamarkan dengan kondisi sekitarnya, dinding dilapisi dengan daun paku-pakuan atau tumbuhan lain. Saya dan teman-teman masuk ke dalam, sudah disediakan bangku dari kayu untuk 3-4 orang. Tepat di depan bangku dinding bagor berlubang mengarah ke permukaan tanah yang bersih dari serasah. Tempat tarian burung cendrawasih. 'Tunggu di sini dan jangan bersuara', kata Zeth. Kami diam dan menunggu. Nyamuk mulai menggigiti badan saya. Jam 07.00, terdengar suara nyaring mendekat. Sang burung telah tiba. Cendrawasih Parotia Arfak atau orang lokal memanggilnya Kurang. Seekor jantan hinggap di tanah, terbang lagi berputar, mendarat lagi. Memantau situasi. Warna hitam dengan bercak berkilauan di dada dan  jambul di kepala berbentuk kawat berjumlah dua belas. Satu ekor burung betina berwarna coklat tua datang bertengger. Lalu muncul lagi satu, datang lagi satu dan akhir enam ekor betina bertengger di atas panggung pertunjukkan. Berbeda dengan jantan yang berwarna-warni, betina cenderung berwarna kusam. Tetapi mereka yang  akan menentukan pilihan. Maka mulai menarilah sang jantan, menggoyang-goyangkan antena kepala, meliuk-liukan badan, memainkan sayap, maju mundur atau geser kiri kanan. Tarian baru berhenti ketika salah satu betina memutuskan untuk menerima ajakan kencan sang jantan. Burung jantan hampir selalu menunjukkan kebolehan pagi dan sore, setiap hari. 

Parotia Arfak hanyalah salah satu dari beberapa jenis cendrawasih di Arfak. Masih ada delapan jenis lainnya, berkeliaran di hutan sekitar Syoubri, Mokwam dan Kwau,. Mereka adalah Toowa cemerlang (Ngemo), Belah rotan (Kenang), Cendrawasih kerah (Nyiet), Manukodia terompet (Kebang), Paradigalla ekor-panjang (Sifo), Paruh-sabit ekor kuning (Sigroi), Paru-sabit kurikuri (Tembelai), dan Astrapia Arfak (Ukmeng). Surga burung cendrawasih ini mulai mencuat ke dunia, saat organisasi konservasi dunia WWF telah melakukan survei dan pemetaan di pegunungan Arfak, diikuti kedatangan produser terkenal film terkenal dari BBC, David Attenborough, pada tahun 1991 untuk membuat film tentang cendrawasih di sekitar Mokwam. Terbitnya buku Bird of Paradise karya Tim Laman (National Geographic) dan Edwin Scholes (Cornell Lab of Ornitology) pada tahun 2012, membuat nama Arfak semakin melambung di kalangan para wisatawan pengamat burung dari mancanegara. Ini disebabkan Arfak adalah salah satu lokasi paling sering disebutkan pada foto-foto spektakuler cendrawasih di buku tersebut. 


Saya tidak habis pikir, ketika melihat konstruksi suatu bangunan kecil di tengah hutan. Berbentuk seperti kerucut setinggi 1 meter dengan bagian depan terbuka, dibuat dari ranting-ranting. Mengamati jalinan rantingnya, ini bukan pekerjaan mudah.  Ruangan di dalam cukup untuk seorang anak kecil masuk. Bagian depan pintu masuk dihiasi oleh berbagai benda alami diletakkan pada permukaan dari hutan berupa bunga, jamur, biji dan buah. Dikelompokkan berdasarkan warna, merah, kuning, hitam, biru, oranye. Cita rasa pembuatnya sangat tinggi. Siapa yang percaya kalau semua ini dibangun oleh seekor burung. Orang Arfak menyebut burung ini Mbreceuw, kita mengenalnya sebagai burung pintar atau namdur. Sarang berselera tinggi ini dibuat oleh namdur polos (Amblyornis inornatus). 


Berbulu warna coklat zaitun kusam tidak menyolok, burung namdur polos jantan mempunyai cara lain dalam memikat betina. Dia menjelma sebagai arsitek, konstruktor dan desainer interior, membangun rumah seindah mungkin untuk para betina. Bila rumah sesuai seleranya, maka sang betina akan diterima lamaran. Menurut Zeth Wonggor, burung ini benar-benar pintar sesuai namanya. Dia bisa menirukan berbagai suara. Bunyi kucing, anjing, gergaji kayu, genderang, atau burung lain. Ketika kami menaruh benda lain di antara hiasan rumahnya, dengan segera dia menyingkirkannya. Dia tahu bahwa itu bukan bagian dari rancangannya. Burung ini mampu berimprovisasi dalam mencari bahan ornamen. Benda-benda non alami dari sampah manusia di hutan baik itu bungkus mie instans atau botol plastik bekas, terkadang dimasukkan dalam daftar belanjaan. Selama semua itu berwarna mencolok. 


Ada pohon berbuah aneh. Menggantung seukuran buah cempedak, ujungnya ada seperti batang panjang dengan daun-daun berbentuk baling-baling. Di Arfak cukup mudah menemukan pepohonan seperti ini. Benda-benda menggantung tersebut bukanlah buah, melainkan jenis tumbuhan lain, menempel pada batang pohon. Semut selalu merayap di dekatnya sehingga tumbuhan ini dipanggil tumbuhan sarang semut.  Keberadaan semut-semut ini sebenarnya bagian dari strategi bertahan hidup. Tumbuhan menyediakan tempat berlindung bagi semut. Bagian dalam tanaman penuh saluran-saluran labirin buat tempat tinggal para semut. Sebagai imbalannya semut akan menjaga tumbuhan dari serbuan serangga dan jamur. Bahkan semut bisa menyediakan nutrisi. Suatu kerja sama saling menguntungkan.


Ular tidak terlalu umum ditemukan di Arfak. Pada ketinggian seperti ini, udara terlalu dingin bagi kebanyakan jenis ular. Namun pada lereng-lereng rendah yang cukup hangat, di Kwau misalkan, ular berkeliaran. Bila berpapasan cukup untuk membuat orang Arfak loncat, karena mereka tidak menyukai hewan melata ini. Ular pohon coklat (Boiga irregularis) adalah salah satunya.  Ular ini memburu burung, kadal, kelelawar dan tikus pada malam hari. Panjangnya bisa sampai 2 meter, warna bervariasi dari coklat tua, kuning, sampai kemerahan dengan pupil mata vertikal seperti mata kucing. Ular ini memiliki bisa tapi karena taringnya kecil, tidak berongga dan terletak di bagian belakang mulut, efek gigitannya jarang berakibat fatal.

Pernah acara pertemuan kami dengan penduduk kampung Kwau dibubarkan oleh ular ini. Saat itu kami dan masyarakat berkumpul berdiskusi di balai desa. Bangunan tanpa plafon ini memang agak jarang digunakan. Di tengah pertemuan, seorang mama tiba-tiba berteriak dalam bahasa lokal sambil menunjukkan ke atas. Pada langit-langit, sekelebatan melintas seekor ular. Semua bubar keluar. Karena tidak ada yang berani akhirnya kami berusaha menangkapnya dengan segala cara. Berhasil, ular disingkirkan jauh-jauh dan masyarakat berkumpul lagi. Tidak lama, sebelum berhamburan akibat kemunculan ular berukuran lebih besar. Meskipun demikian sukses kami tangkap lagi. Tapi ketika ular ketiga muncul, akhirnya pertemuan benar-benar bubar. Rupanya bagian dalam atap dan para-para balai desa sudah menjadi tempat tinggal nyaman para ular ini. 


Warna-warni bunga selalu menghiasi halaman depan rumah orang Arfak. Bunga Rhododenron zoelleri berwarna oranye kekuningan adalah favorit. Tumbuhan ini asli hidup di hutan pegunungan Arfak. Kelompok tumbuhan rhododendron memang terkenal dengan bunganya yang indah. Pada daerah-daerah lebih tinggi, tempat kabut selalu turun dan udara dingin menggigit, R.zoelleri tidak sendirian. Jenis-jenis rhododendron lain dengan berbagai warna menemaninya. Tumbuh subur, memberi pesona pada gunung-gunung. 


Untaian bak janggut berwarna kuning, menggantung pada dahan dan ranting pohon kering, melambai tertiup angin.  Terkadang memberikan warna kontras menonjol dibandingkan hijaunya hutan Arfak. Pemandangan seperti ini dibuat oleh mahluk hidup yang bernama lumut janggut (Usnea). Mereka sesungguhnya bukan lumut sejati melainkan lumut kerak. Yaitu simbiosis antara dua organisme, jamur dan alga. Lumut ini tumbuh lebat pada pohon mati atau sekarat. Ketiadaan daun-daun membuat mereka leluasa menyerap cahaya matahari tanpa ada halangan. Cuma hal ini membuat mereka sering menjadi tertuduh penyebab kematian pohon. Padahal lumut janggut hanya sekedar menumpang saja, tanpa menyedot nutrisi dari pohon. Lumut ini juga sensitif terhadap perubahan kualitas udara. Udara bersih akan mendorongnya tumbuh subur berukuran besar sampai 20 cm.  Namun begitu udara tercemar  ukuran lumut akan menyusut drastis.



Berjalan memasuki hutan Arfak, saya merasakan kesegaran mendalam. Pohon-pohon ramping berbalut lumut dan penuh dedaunan hijau. Semua indah dan seimbang. Masyarakat yang tinggal di Arfak mungkin juga memiliki perasaan seperti itu. Mereka telah tinggal secara turun temurun cukup lama di sini. Hutan merupakan gantungan hidup mereka. Karena itu mereka berusaha membagi peruntukan lahan agar semua tetap seimbang. Perladangan berpindah-pindah dilakukan pada daerah ketinggian paling rendah dinamakan 'Miaingoisi'. Di sini digarap kebun ubi jalar ( 'bikausi'), kebun jagung ('tremti') dan kebung keladi ('menoisi'). Naik lebih atas, ditemukan hutan-hutan sekunder bekas kebun ditumbuhi pohon muda umur 10-20 tahun. Tempat ini dinamakan 'susti'. Selanjutnya mendaki makin tinggi kita memasuki  'namahamti' yaitu hutan sekunder tua, biasanya dari bekas kebun dibiarkan kembali menjadi hutan hingga lebih dari 30 tahun. Di atas ini adalah hutan alami dengan lapisan lumut tipis pada lantai hutan dan pepohonan. Banyak tumbuhan rotan hidup di sini. Daerah paling tinggi hingga ke puncak gunung di sebut 'tumti atau tumbuti', berupa hutan lumut. Lantai hutan dan pohon dilapisi oleh lumut tebal. 

Dalam perjalanan waktu, pemaknaan tipe-tipe lahan ini berkembang. Masyarakat pegunungan Arfak mengenal istilah Hanjop atau yang diartikan sebagai “batas”. Peningkatan kesadaran bahwa Arfak memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tidak dijumpai pada tempat lain, mencuatkan istilah  “ Igya Ser Hanjop”. Artinya Mari Menjaga Batas Hutan. Ajakan untuk menjaga hutan pada formasi Tumti, Bahamti dan Namahamti. 


Rasanya ada yang kurang bila berkunjung ke Arfak, tanpa bertemu Om Zeth. Ya Zeth Wonggor dari Kampung Syoubri, orang paling dicari oleh para pengamat burung. Keahliannya dalam menemukan burung cendrawasih sungguh menakjubkan. Menurut saya, dia adalah pemandu burung cendrawasih no 1 di dunia. Pengetahuannya tentang seluk beluk hutan sudah berkembang sejak kecil karena sering mengikuti ayahnya ke hutan. Berhenti sekolah, Zeth tumbuh menjadi memburu handal. Dia tahu bagaimana mengintai dan menemukan berbagai jenis satwa hutan untuk kemudian ditangkap dan dimakan. Sampai suatu hari datang pengamatan burung dari Inggris,  meminta dipandu untuk melihat cendrawasih. Pengalaman ganjil ini ini memberi makna mendalam. Karena untuk pertama kali ada orang mengamati cendrawasih tanpa dibunuh. Ketika rombongan demi rombongan pengamat burung datang meminta dipandu, Zeth mulai sadar bahwa  burung cendrawasih jauh lebih menguntungkan bila dibiarkan hidup. Profesi pemburu mulai dia tinggalkan beralih menjadi pemandu wisata pengamatan burung. Zeth lebih sering masuk ke hutan untuk mencari tempat-tempat tarian burung parotia dan belah rotan, serta sarang burung pintar. Dia juga mencari area bermain burung-burung cendrawasih lain pada hutan-hutan lumut. Lebih dari itu, Zeth juga mempelajari perilaku dari para burung. Oleh karena itu tingkat keberhasil bertemu dengan para cendrawasih sangat tinggi bila berjalan dengan dia. Bisa jadi para burung ini telah menerimanya sebagai bagian dari mereka atau zeth bisa bahasa burung. Mungkin kedua-duanya.    


Hari masih siang ketika kabut turun. Udara dingin menyelimuti Gunung Urong dan Ndon, rumah para cendrawasih. Burung-burung tersebut kini makin populer diberbagai belahan dunia. Nama Zeth makin dikenal. Aktifitas dia menginspirasi, penduduk Arfak lain  yaitu Hans Mandacan dari Kampung Kwau, melakukan hal yang sama. Menjual paket pengamatan burung ke wisatawan. Zeth juga berusaha mengajak penduduk lainnya agar terlibat dalam kegiatan pengamatan burung, sebagai cara untuk menyebarkan keuntungan yang diperoleh. Tujuan utamanya supaya masyarakat turut menjaga kelestarian burung. Sesuatu yang tidak mudah. Populasi penduduk bertambah terus, kampung-kampung bermekaran. Tuntutan kebutuhan hidup meningkat, perburuan pun tidak terelakan. Sementara menunggu kedatangan wisatawan membutuhkan kesabaran. Hal yang kadang tidak bisa dipahami masyarakat Arfak. Sampai kapan kurang, ngemo, kenang, sifo, ukmeng menari-nari dan burung pintar berkreasi membangun rumah-rumah indah di Arfak, tidak ada yang tahu. Mungkin butuh lebih banyak Zeth dan Hans untuk menjamin mereka tetap hidup nyaman di Arfak. 

Comments

  1. tempatnya indah banget k. kalau dari kota nya dekat gk si k?
    jika pengen maen ke jogja,moggo di cek-cek harga k. :-)
    Rental Mo`bil Jogja

    ReplyDelete
  2. indah sekali ya pegunungan arfak ini
    kak, kalau ke jogja kunjungi kami juga ya. mksh
    kursus android jogja

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas