Surga Terakhir Kalimantan

When I (am) humble
I can see nature more deeply
-Sooyong Park-

Pulau Kalimantan adalah suatu kisah indah masa lalu. Kekayaan alam begitu hebat, membebaskan imajinasi. Deretan pohon-pohon raksasa penyusun hutan dipterokarpus berdiri kokoh. Rombongan babi hutan jenggot menjelajahi bagian bawahnya mengikuti pola musim buah dari pohon-pohon ini . Mereka tidak sendirian. Kijang, kancil, beruang dan badak yang misterius turut menghuni. Macan dahan mengintai mangsa dari atas, sementara berbagai jenis bajing memanjat dan meloncat. Pohon-pohon tinggi menjadi surga bagi para 'glider'  seperti tando, bajing terbang, ular terbang, katak terbang dan kadal terbang, melayang dari satu pohon ke pohon lain, mengefisienkan pergerakan. Desiran kepakan sayap kawanan burung rangkong, dan kicauan ratusan jenis burung menambah semarak hutan. Bagian rawa-rawa merupakan hutan gambut sulit ditembus namun kaya akan buah-buahan. Di sini kera besar orang utan berkeliaran, mencari makan. Bagian sungai berwarna hitam jernih membelah rawa dijaga oleh para buaya sumpit, menunggu kelengahan kawanan monyet berhidung besar bekantan terjebur saat menyeberang. Tidak hanya itu, sungai-sungai besar membelah bumi Kalimantan, tampungan dari ratusan anak sungai. Tidak terhitung jenis-jenis ikannya, dari yang kecil hingga ikan lele raksasa, sampai lumba-lumba pesut yang unik. Semakin ke hulu, aliran berubah menjadi jeram-jeram buas, bersumber dari hutan pada lereng-lereng terjal dari pegunungan berkabut maupun gunung karts nan megah.


Namun juga, Pulau Kalimantan adalah kisah sedih masa kini. Ketika manusia masuk ke dalam alam, seharusnya dia menjadi bagian di dalamnya. Dahulu suku-suku penghuni Kalimantan berburu, mengumpulkan hasil alam, membuka hutan untuk ladang sesuai kebutuhan. Mereka menghormati hutan, gunung, sungai berserta isinya. Keseharian mereka ditambah rasa apresiasi meningkatkan pemahaman akan alam. Pengetahuan mereka tentang hal itu menakjubkan. Tetapi, semua itu meredup. Sistem perekonomian makin terbuka, jalan dan infrastruktur terus membaik, orang-orang dari daerah lain banyak berdatangan. Dalam waktu singkat seluruh sumber daya alam dieksploitasi. Awalnya hutan ditebang untuk mengambil kayu-kayu berkualitas tinggi. Pohon-pohon bertumbangan dan dengan segera hutan menyusut drastis. Ketika kayu sudah mulai jarang, berpindahlah ke dalam bumi. Batu bara digali secara besar-besar. Bersamaan dengan itu, hutan rawa-rawa gambut dikeringkan, berganti dengan kelapa sawit. Masih ditambah dengan kebakaran hutan skala besar tahun 1982-83 dan terulang lagi pada tahun 1997 dan 2015, benar-benar meluluhlantakan semuanya. Data Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) tahun 2017 menunjukkan Pulau Kalimantan pada tahun 1973 masih memiliki sekitar 40 juta hektar hutan tropis tua dalam kondisi baik.  Dalam kurun waktu hingga tahun 2010, tinggal tersisa 17 juta hektar dalam kondisi bagus. Lainnya terbabat habis atau rusak terutama pada  dataran rendah. Hutan tersisa  kebanyakan berada di pegunungan dengan lereng-lereng curam dan memang sulit terjangkau. Jangan tanya apakah perusakan atas nama ekonomi dan pembangunan mempertimbangkan penghargaan pada alam dan  mahluk hidup lain. Tidak satu pun. Bahkan kita sendiri juga sehari-hari mungkin memakai produk turunan dari kayu, batu bara atau sawit, tanpa ada rasa bersalah. Suku-suku awal penghuni Kalimantan seperti  Punan, Iban, Kayan, Kenyah, Bahau, Ngaju, Ot danum, dan lain-lain, memang mengalami peningkatan kesejahteraan. Tapi toh masih jauh dari yang seharusnya bisa dicapai. 


Sekarang hanya pada tempat-tempat dilindungi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa atau hutan lindung, alam asli Kalimantan masih tersisa. Sedikit yang di luar areal itu. Tapi yang sedikit itu kadang malah terbaik seperti  pojok timur  pulau Kalimantan berbentuk tanduk di Berau.  Bagi saya Pegunungan kapur Mangkaliat, menjulang tinggi berselimut hutan, menyambung tanpa putus ke mangrove, padang lamun dan terumbu karang hingga ke karang-karang Atol Maratua dan Kakaban adalah surga terakhir di pulau ini. 


Pagi hari di Labuan Kelambu, suatu desa nelayan kecil di Biduk-Biduk, selalu saja menyejukkan hati. Ketika matahari mulai bersinar, cahaya membelai air muara sungai, memancarkan warna kebiruan. Refleksi perahu, rumah dan deretan pohon kelapa serta gumpalan awan bergoyang lembut dalam riak-riak arus muara. Setiap hari arus berganti arah masuk dan keluar muara. Pagi hari bisa air bisa tenang sekali, namun waktu-waktu lain kadang arus mengalir deras. Bersama dengan aliran ini ikut biota-biota laut seperti ikan dan penyu, keluar masuk ke laguna pada bagian belakang muara. Badai kadang datang menghempas, tetapi setelahnya meninggal jejak pelangi mempesona. Perahu-perahu berbagai ukuran keluar masuk muara melalui celah tidak terlalu lebar dibatasi pohon-pohon mangrove. Suatu jembatan kayu sempit -hanya bisa dilalui sepeda motor-menghubungkan kedua sisi muara dan juga mencegah kapal besar masuk laguna. Suatu laguna yang menakjubkan.  



Aliran air pasang dari laut masuk ke muara, terus terdorong ke laguna. Ketika pohon-pohon mangrove sudah berganti dengan pohon-pohon hutan, pada suatu tempat, aliran menyelinap melewati celah sempit sebelum akhir terhenti pada kolam berukuran sekitar 5 hektar. Di sini aliran bertemu dengan sungai tawar bawah tanah yang telah tersaring hutan-hutan tua di sekeliling dan juga batuan karst. Perbedaan berat jenis dan kerapatan mendorong air tawar ke atas dan air asin ke bawah. Keduanya tidak bercampur karena sang angin, kekuatan untuk bisa mengaduk- tertahan pagar pohon-pohon di sekelilingnya.  

Proses ini menciptakan tampilan luar biasa membuat saya berdecak kagum akan kehebatan alam. Air berwarna kebiruan begitu jernih. Akar-akar pohon di tepian dan batang pohon tumbang nampak jelas walau di dalam air. Ketika saya berenang di bagian tengah terlihat bagian dasarnya kedalaman sekitar 13 meter. Ketakjuban saya bertambah ketika menengok ke bawah, terlihat ikan nuri melintas, beberapa jenis ikan tongkol, kawanan ekor kuning. Bahkan menurut informasi sesekali masuk mahluk-mahluk berukuran besar seperti ikan barakuda atau penyu. Semua adalah biota laut. Mereka berenang bebas di bagian bawah tapi tidak bisa naik ke permukaan. Karena bagian atas adalah ranah hidup bagi penghuni air tawar, yaitu sejenis ikan-ikan kecil, bergerak dalam kerumunan kemana-mana. 

Masyarakat sekitar menamakan kolam ini Danau Labuan Cermin. Sesuai pantulan sempurna dipancarkan dari danau ini. Saya beberapa kali ke sini, mencoba waktu berbeda-beda. Terbaik adalah pagi-pagi sekali. Saat cahaya matahari menyinari pucuk-pucuk pohon, puluhan ekor bekantan bermain, diselingi kehadiran lutung, beruk, monyet ekor panjang, dimeriahkan oleh  lengkingan burung raja udang dan kepakan sayap burung kangkareng. 


Ada sesuatu berbeda dengan hutan mangrove ini. Biasanya tumbuhan bakau atau mangrove tumbuh di atas substrat berlumpur. Identik dengan air keruh, apalagi bila teraduk. Namun di sini, di Sungai Buaya, air begitu jernih dan dasarnya adalah pasir putih. Indah dan unik. Semakin masuk ke hulu, semakin hening suasana. Sesekali dipecahkan oleh kicauan burung. Penyu sisik beberapa kali terlihat berenang, melintas perahu yang saya tumpangi. Sungai ini hanyalah satu dari beberapa aliran memotong barisan mangrove di sepanjang suatu teluk bernama Sulaeman. Ketika sedang surut, sungai-sungai ini terlalu dangkal untuk dilintasi perahu. Tapi saat itulah tersingkap keindahan lain. Dasar sungai dipenuhi alga laut dan sponge dengan berbagai warna. Mangrove terus meluas ke arah tepian pantai. Bahkan di tengah teluk, terdapat pulau bernama Sigending, dipagari oleh pohon-pohon mangrove tua. Sepasang rangkong terbang  anggun, hinggap pada pohon-pohon besar ini seolah penyambut kedatangan. 
  
Di dekat laut, Teluk Sulaiman bukan tempat sepi. Perairannya cukup dalam dan terlindung dari gelombang besar. Pemukiman pun berdiri dan  kapal-kapal  besar pengangkut kayu dan material jaman pemerintah Hindia Belanda berlabuh.  Kompleks bangunan pengolah kayu pernah berdiri saat itu, hanya saja kini tinggal tersisa sumur air tawar. Sumur ini hingga kini masih dimanfaatkan masyarakat kampung. Saya memandang jauh ke tepian daratan, deretan pohon-pohon mangrove berwarna hijau segar berbaris, menyambungkan antara hutan dan laut. Pemandangan yang sudah jarang di Kalimantan. 



Dari luar teluk, dilihat dari perairan, tampak Pegunungan Kapur Mangkaliat berdiri kokoh. Hijau tertutup hutan lebat. Pohon-pohon rimbun dan dasar batuan kapur menyebabkan aliran air masuk ke teluk sedikit membawa tanah. Perahu saya mengapung pada laut sangat jernih hingga bagian dasar berpasir putih tampak jelas. Padang lamun dan sponge menancapkan diri di pasir, tumbuh subur. Bayangan tubuh besar penyu hijau samar-samar terlihat dan kepalanya keluar dari air, menghirup udara. Di sana sini mereka berkeliaran mencari makan. Lebih ke arrah luar lagi, padang lamun berkurang digantikan oleh hamparan terumbu karang. Belum tersentuh dan kemungkinan masih menyimpan keajaiban alam lainnya. 



Ke arah timur  dari perairan Teluk Sulaiman merupakan laut dalam berhadapan langsung dengan Selat Makassar, kaya akan ikan-ikan besar. Ikan paus sering terlihat melintas, kata masyarakat. Suatu teluk besar lain terhampar, yaitu Teluk Sumbang. Berbeda dengan Teluk Sulaiman, perairan ini mempunyai gelombang laut cukup besar terutama pada musim timur akibat mulut teluk terbuka lebar ke arah  laut lepas. Terdapat kampung di pesisir, rumah bagi orang-orang Basap. Belum terlalu lama mereka turun meninggalkan “gua-gua”tempat tinggal asli mereka di pedalaman.


Hutan di sekitar kawasan Teluk Sumbang dalam kondisi masih bagus, sehingga banyak ditemukan sumber air membentuk sungai-sungai  mengalir ke lembah teluk ini. Air terjun melimpah, di antaranya ada dekat sekali dengan pantai. Tidak jauh dari Pantai Teluk Sumbang terdapat pantai Batu Bediri yang panjang dengan pohon kelapa tersusun rapi milik masyarakat.  Pasirnya lembut berwarna putih dan  perairan dangkal tenang. Padang lamun dan terumbu karang masih terlihat bagus, sehingga satwa langka seperti penyu dengan mudah ditemukan mencari makan. Lumba-lumba pun sering bermain di sini.


Pasir putih di pantai kecil ini begitu lembut bercampur dengan partikel sisa karang berwarna merah. Gelombang tampak tenang, memainkan warna biru hijau dari air. Saya berjalan mengelilingi pulau indah ini dalam waktu tidak sampai 30 menit. Hanya suatu pulau kecil seluas 2 hektar, tempat tinggal tumbuhan pandan dan beberapa jenis pohon. Sesekali penyu hijau mendapat untuk bertelur. Selebihnya adalah ketenangan. Masyarakat menamakan pulau ini, Kaniungan Kecil. Satu dari beberapa pulau di perairan Biduk-Biduk.  

Kontras dengan saudaranya, Pulau Kaniungan Besar letaknya dekat dengan daratan utama, dihuni masyarakat nelayan kebanyakan orang Bugis. Pulau ini merupakan salah satu tujuan wisata orang Biduk Biduk untuk menikmati keindahan pantai dengan aktifitas makan-makan di tepiannya, berenang, memancing dan skin diving. Terdapat beberapa makam dengan nisan kayu bertuliskan huruf Bugis kuno, makam para pendatang pendahulu dari Makassar ke Kalimantan.  Ada masa ketika  Pulau Kanjungan ini merupakan tempat pedoman bagi warga yang hendak menyeberang ke Pulau Sulawesi karena merupakan titik  terdekat antara dua pulau Sulawesi – Kalimantan.


Daerah Biduk Biduk sendiri berdasarkan penuturan masyarakat setempat, awal mulanya adalah  rimba belantara tidak berpenduduk. Suku-suku dari Filipina Selatan seperti Solor (Sulu) terkadang mendatangi pesisir wilayah ini tetapi tidak untuk menetap.  Penghuni pertama justru datang dari orang-orang Bugis yang mendirikan pemukiman di pulau Kaniungan Besar, kemudian juga di Pulau Balikukup. Gangguan  dari para perompak  sering kali menghampiri pulau-pulau ini akhirnya memaksa para penghuninya untuk pindah ke daerah pesisir Biduk Biduk.


Cakrawala tampak gelap sekali, ketika perahu cepat saya tumpangi berkapasitas sekitar 8 orang meninggalkan Biduk-biduk menuju ke arah utara. Kami semua terdiam memandang langit dikejauhan, tetapi kapten kapal tampak tidak ada keraguan sama sekali. Badai mulai menggulung. Ombak menguncang perahu, kami semua berpegangan. Hujan turun deras. Perahu tetap melaju. Kami sudah ada di tepian awan badai, dan akan masuk ke intinya. Karena di sanalah tempat tujuan kami. Gelombang besarkah di sana yang menanti kami? Rupanya tidak. Mendadak perairan menjadi tenang, nyaris tidak ada ombak. Bagian dalam badai ternyata malah bersahabat. Hujan berkurang,rintik-rintik. Warna jernih air laut biru kehijauan mulai tampak bersama pulau-pulau kecil. Kami telah tiba di Atol Maratua.



Kami melabuhkan kapal cepat di suatu dermaga sangat panjang menghubungkan dua pulau kecil. Di satu sisi dermaga itu adalah Pulau Nunukan, tempat sebuah dive resort beroperasi. Keindahannya sungguh sulit dijabarkan dengan kata-kata, apalagi dilihat setelah badai berlalu. Paduan antara warna terang laut dengan ufuk biru gelap. Pulau-pulau ini merupakan bagian dari Atol Maratua seluas 690 km2. Atol ini  sudah tidak menutup sempurna jika dilihat dari permukaan air, seolah sebagian karangnya telah rontok. 


Maratua hanya satu dari beberapa pulau di daerah pesisir Berau. Masih ada pulau cukup terkenal lain seperti Derawan, Sangalaki atau Atol Kakaban. Keanekaragaman jenis biota air  sangat beranekaragam. Menurut hasil survei, jenis karang keras mencapai 460-470 jenis , menempati posisi nomor setelah Kepulauan Raja Ampat- Papua dalam keanekaragaman karang keras dunia. Jenis ikan karang mencapai  872 jenis  dengan spesies dominan dari keluarga GobidaeLabridae, dan Pomacentridae. Di Biduk Biduk sendiri, survei pada tahun 2003 berhasil menemukan 150 jenis karang keras (sekitar pulau Kaniungan Besar) dan sekitar 165 jenis ikan karang (pulau Kaniungan Besar dan Teluk Sulaiman). Sedangkan Sangalaki adalah tempat Pari Manta berkeliaran.  Tingginya massa zooplankton yang sangat melimpah di lokasi ini menjadikan lokasi tempat berkumpulnya ikan ini,  mencari makan dengan cara menyaring air laut. Keberadaan ikan pari manta khususnya di pesisir Berau menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan khususnya para penyelam. Biasanya manta berkumpul mencari makan saat air laut  menjelang pasang dan surut kerena saat itu terjadi mobilisasi massa zooplankton yang tinggi di sekitar Pulau Sangalaki. Sayangnya ketika saya datang, para pengelola wisata selam dan wisawatannya bercerita kemunculan Pari Manta sudah tidak sesering dulu lagi  tanpa diketahui penyebabnya.


Sore hari adalah waktu paling menyenangkan untuk bersantai di dermaga desa Payung-payung di Maratua. Tidak butuh waktu lama itu melihat bayangan besar di air. Lalu keluarlah kepala mahluk ini ke permukaan. Penyu hijau biota laut yang paling mendapat perhatian dan merupakan ikon  Berau.  Hamparan padang lamun sangat luas di perairan ini  dan penyu hijau sangat menyukainya untuk dimakan. Di samping itu terdapat  pulau-pulau kecil dengan pantai berpasir seperti Sangalaki, tempat ideal untuk bertelur.  Habitat sempurna ini membuat wilayah perairan di Pesisir Berau (Derawan, Maratua, Biduk-Biduk)  sebagai tempat berkumpul penyu hijau plus lokasi  peneluran Penyu yang terbesar di Asia Tenggara. Tidak perlu bersusah-susah melihat penyu di malam hari,cukup di hari terang, mahluk ini berenang lalu lalang dihadapan kita. 


Begitu melimpahnya populasi penyu ini akhirnya mengundang manusia memanfaatkan telur penyu untuk diperdagangkan. Ini sudah berlangsung sejak masa kerajaan di Berau dan terus berlanjut di era setelah kemerdekaan.  Kapal demi kapal, telur penyu diangkut dan perdagangkan hingga keluar peraturan pemerintah Indonesia pada tahun 1999. Peraturan ini menetapkan seluruh jenis penyu harus dilindungi dari kepunahan, sejak itu pemanenan telur penyu mulai dibatasi. Walau pada kenyataannya untuk menerapkan aturan ini tida semudah membalikkan telapak tangan. 


Mahluk-mahluk kecil itu melayang, melintas di muka saya, saat merenangi perairan berwarna hijau di Kakaban. Di tepian saya temukan setidaknya tiga jenis mahluk ini dengan bentuk berbeda-beda, bergerak gemulai di antara tumbuhan air atau alga. Lepas dari tepian adalah tempatnya satu jenis lain, berenang-renang. Kecil-kecil, kadang ada yang  sekepalan tangan. Semakin ke tengah, semakin banyak mereka, seolah mengelilingi saya. Mahluk ini adalah ubur-ubur tanpa penyengat, hanya ditemukan pada danau (sebenarnya bagian tengah atol) di Kakaban.  Proses isolasi geografis yang berlangsung ratusan tahun menjadikan ubur-ubur  danau Kakapan berbeda dengan di luar danau, membuat ke empat jenis  yaitu Mastigias, Cassiopeia, Aurellia, dan Tripedalia, kehilangan daya sengatnya.


Jalan aspal itu mulus, membelah hutan yang masih bagus di Maratua. Bagian pangkalnya ada di desa Payung-payung, melintasi bandara kecil sedang taraf ujicoba dan berujung di pelabuhan masih baru. Setelah itu adalah hutan. Jalan dan bandara menandai tahapan baru pengembangan pariwisata. sebenarnya kegiatan ini di wilayah Berau diperkirakan mulai ada sejak masa industri batu bara pada jaman pemerintah Belanda. Kehadiran pekerja-pekerja asing biasanya menimbulkan kebutuhkan tempat-tempat rekreasi  untuk mengisi hari-hari libur mereka. Demikian pula dengan pekerja-pekerja domestik dari luar Berau yang berdatangan sejak tahun 1970-an. Kemungkinan besar Pulau Derawan dengan pantai dan  gugusan terumbu karang indah serta merupakan tempat mencari makan dan bertelur penyu hijau, adalah salah satu sasaran mereka. Pulau ini telah dikenal sejak jaman kerajaan sebagai pusat penghasil telur penyu terbesar di Kalimantan. 


Namun, catatan pasti dimulainya pariwisata adalah  pendirian Derawan Dive Resort pada tahun 1992 di pulau Derawan. Sejak itu lokasi ini sering dikunjungi oleh para wisatawan mancanegara dengan tujuan untuk menyelam dan melihat penyu hijau. Pada masa itu, penginapan belum terlalu banyak,  perairan masih berwarna biru jernih dan penyu bermain-main. Perbaikan infrastruktur di Kabupaten Berau pada tahun 2008  dalam rangka penyelenggarakan Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke 17 di propinsi Kalimantan Timur – Pulau Derawan sendiri menjadi lokasi bagi beberapa cabang pertandingan-, menjadi titik penting dalam perkembangan pariwisata. Sejak itu  tingkat kunjungan  meningkat drastis terutama wisatawan nusantara bahkan melebihi jumlah wisatawan mancanegara. Jumlah penginapan naik pesat, para pengusaha berlomba-lomba membuat dermaga menjorok ke perairan, mempersempit ruang aktifitas di pantai. Air yang tadinya biru jernih berubah menjadi hijau keruh. Para penyu pun mulai menyingkir, mencari lokasi yang tidak terpolusi. 


Di ujung dermaga penginapan Maratua Paradise, saya menyeburkan diri dan berenang di sore hari, bersama kumpulan ikan-ikan bergerak ke sana kemari. Duduk di tangga dermaga terendam air sambil memandang ke laut. Sebatang kayu lewat mengapung. Pemandangan ini umum sekali saya jumpai selama menjelajahi perairan Berau. Batang-batang kayu berbagai ukuran mengapung terombang-ambing di laut. Juga serpihan-serpihan sampah kayu, kecil-kecil mengambang di laut. Iseng saya meraup dengan tangan ke serpihan kayu itu. Saya taruh di telapak tangan. Tiba-tiba serpihan itu bergerak. Kaget,  saya jatuhkan ke laut. Penasaran saya raup lagi serpihan kayu lain. Kali ini dengan kedua telapak tangan untuk menahan agar ada air. Dan benar, serpihan itu bergerak. Dia mahluk hidup! Mungkin sejenis larva. Saya amati seksama ke air di dekat saya dan serpihan-serpihan itu bergerak. Hidup. Sungguh menakjubkan. Mereka berevolusi menyerupai bentuk serpihan kayu untuk menyamarkan diri dari pemangsa. Alam memang luar biasa, selalu menemukan jalannya.

Lalu saya memandang ke belakang penginapan, tempat jalan aspal baru dibangun ketika saya ke sana terakhir pada tahun 2016. Di sepanjang jalan terdapat aktifitas konstruksi resor. Saya hitung, setidaknya ada 6 pembangunan. Sementara tanah di sepanjang pesisir ini telah dibeli oleh orang luar pulau. Hanya masalah waktu untuk nanti dibangun. Saya hanya berpikir, berapa banyak penginapan yang akan berdiri di sini? siapakah yang akan mengatur jumlah dan tipe bangunan? kemanakah limbahnya akan dibuang? darimana mendapatkan air bersih? akankah hutan yang masih bagus di bagian tengah juga dibabat? Akankah mengulang kejadian pembangunan tanpa kontrol yang merusak lingkungan  pada pulau lain di wilayah ini? Belum lagi adanya potensi untuk penambangan semen putih di Teluk Sumbang. 

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala saya.  Bagi saya Maratua, Kakaban, Biduk-biduk dan Mangkaliat adalah nirwana, bukan hanya untuk manusia namun juga mahluk hidup lain. Seharusnya kita melindungi, menjaga dan merawat alam yang begitu mengagumkan ini. Saya ingat bagaimana seorang turis pria dari Perancis, tidak sengaja bertemu di Maratua, sedih dan marah melihat perkembangan yang terjadi. Walau tidak sesederhana yang dia ungkapkan namun pandangannya sepaham dengan saya tentang surga ini. Tapi toh kita bak segelintir orang kesepian dalam pemikiran. Dan di hari tua nanti hanya bisa berkisah  tentang nirwana yang tinggal dalam kenangan ini pada generasi mendatang. 

Comments

  1. Thanks, infonya sangat bermanfaat. Kunjungi website kami juga ya om https://bit.ly/2RNeCTv

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas