Surga Terakhir Kalimantan
When I (am) humble
I can see nature more deeply
-Sooyong Park-
Pulau Kalimantan adalah suatu kisah indah masa lalu. Kekayaan alam begitu hebat, membebaskan imajinasi. Deretan pohon-pohon raksasa penyusun hutan dipterokarpus berdiri kokoh. Rombongan babi hutan jenggot menjelajahi bagian bawahnya mengikuti pola musim buah dari pohon-pohon ini . Mereka tidak sendirian. Kijang, kancil, beruang dan badak yang misterius turut menghuni. Macan dahan mengintai mangsa dari atas, sementara berbagai jenis bajing memanjat dan meloncat. Pohon-pohon tinggi menjadi surga bagi para 'glider' seperti tando, bajing terbang, ular terbang, katak terbang dan kadal terbang, melayang dari satu pohon ke pohon lain, mengefisienkan pergerakan. Desiran kepakan sayap kawanan burung rangkong, dan kicauan ratusan jenis burung menambah semarak hutan. Bagian rawa-rawa merupakan hutan gambut sulit ditembus namun kaya akan buah-buahan. Di sini kera besar orang utan berkeliaran, mencari makan. Bagian sungai berwarna hitam jernih membelah rawa dijaga oleh para buaya sumpit, menunggu kelengahan kawanan monyet berhidung besar bekantan terjebur saat menyeberang. Tidak hanya itu, sungai-sungai besar membelah bumi Kalimantan, tampungan dari ratusan anak sungai. Tidak terhitung jenis-jenis ikannya, dari yang kecil hingga ikan lele raksasa, sampai lumba-lumba pesut yang unik. Semakin ke hulu, aliran berubah menjadi jeram-jeram buas, bersumber dari hutan pada lereng-lereng terjal dari pegunungan berkabut maupun gunung karts nan megah.
Namun juga, Pulau Kalimantan adalah kisah sedih masa kini. Ketika manusia masuk ke dalam alam, seharusnya dia menjadi bagian di dalamnya. Dahulu suku-suku penghuni Kalimantan berburu, mengumpulkan hasil alam, membuka hutan untuk ladang sesuai kebutuhan. Mereka menghormati hutan, gunung, sungai berserta isinya. Keseharian mereka ditambah rasa apresiasi meningkatkan pemahaman akan alam. Pengetahuan mereka tentang hal itu menakjubkan. Tetapi, semua itu meredup. Sistem perekonomian makin terbuka, jalan dan infrastruktur terus membaik, orang-orang dari daerah lain banyak berdatangan. Dalam waktu singkat seluruh sumber daya alam dieksploitasi. Awalnya hutan ditebang untuk mengambil kayu-kayu berkualitas tinggi. Pohon-pohon bertumbangan dan dengan segera hutan menyusut drastis. Ketika kayu sudah mulai jarang, berpindahlah ke dalam bumi. Batu bara digali secara besar-besar. Bersamaan dengan itu, hutan rawa-rawa gambut dikeringkan, berganti dengan kelapa sawit. Masih ditambah dengan kebakaran hutan skala besar tahun 1982-83 dan terulang lagi pada tahun 1997 dan 2015, benar-benar meluluhlantakan semuanya. Data Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) tahun 2017 menunjukkan Pulau Kalimantan pada tahun 1973 masih memiliki sekitar 40 juta hektar hutan tropis tua dalam kondisi baik. Dalam kurun waktu hingga tahun 2010, tinggal tersisa 17 juta hektar dalam kondisi bagus. Lainnya terbabat habis atau rusak terutama pada dataran rendah. Hutan tersisa kebanyakan berada di pegunungan dengan lereng-lereng curam dan memang sulit terjangkau. Jangan tanya apakah perusakan atas nama ekonomi dan pembangunan mempertimbangkan penghargaan pada alam dan mahluk hidup lain. Tidak satu pun. Bahkan kita sendiri juga sehari-hari mungkin memakai produk turunan dari kayu, batu bara atau sawit, tanpa ada rasa bersalah. Suku-suku awal penghuni Kalimantan seperti Punan, Iban, Kayan, Kenyah, Bahau, Ngaju, Ot danum, dan lain-lain, memang mengalami peningkatan kesejahteraan. Tapi toh masih jauh dari yang seharusnya bisa dicapai.
Sekarang hanya pada tempat-tempat dilindungi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa atau hutan lindung, alam asli Kalimantan masih tersisa. Sedikit yang di luar areal itu. Tapi yang sedikit itu kadang malah terbaik seperti pojok timur pulau Kalimantan berbentuk tanduk di Berau. Bagi saya Pegunungan kapur Mangkaliat, menjulang tinggi berselimut hutan, menyambung tanpa putus ke mangrove, padang lamun dan terumbu karang hingga ke karang-karang Atol Maratua dan Kakaban adalah surga terakhir di pulau ini.
Pagi hari di Labuan Kelambu, suatu desa nelayan kecil di Biduk-Biduk, selalu saja menyejukkan hati. Ketika matahari mulai bersinar, cahaya membelai air muara sungai, memancarkan warna kebiruan. Refleksi perahu, rumah dan deretan pohon kelapa serta gumpalan awan bergoyang lembut dalam riak-riak arus muara. Setiap hari arus berganti arah masuk dan keluar muara. Pagi hari bisa air bisa tenang sekali, namun waktu-waktu lain kadang arus mengalir deras. Bersama dengan aliran ini ikut biota-biota laut seperti ikan dan penyu, keluar masuk ke laguna pada bagian belakang muara. Badai kadang datang menghempas, tetapi setelahnya meninggal jejak pelangi mempesona. Perahu-perahu berbagai ukuran keluar masuk muara melalui celah tidak terlalu lebar dibatasi pohon-pohon mangrove. Suatu jembatan kayu sempit -hanya bisa dilalui sepeda motor-menghubungkan kedua sisi muara dan juga mencegah kapal besar masuk laguna. Suatu laguna yang menakjubkan.
Aliran air pasang dari laut masuk ke muara, terus
terdorong ke laguna. Ketika pohon-pohon mangrove sudah berganti dengan
pohon-pohon hutan, pada suatu tempat, aliran menyelinap melewati celah sempit
sebelum akhir terhenti pada kolam berukuran sekitar 5 hektar. Di sini aliran
bertemu dengan sungai tawar bawah tanah yang telah tersaring hutan-hutan tua di
sekeliling dan juga batuan karst. Perbedaan berat jenis dan kerapatan mendorong
air tawar ke atas dan air asin ke bawah. Keduanya tidak bercampur karena sang
angin, kekuatan untuk bisa mengaduk- tertahan pagar pohon-pohon di
sekelilingnya.
Proses
ini menciptakan tampilan luar biasa membuat saya berdecak kagum akan kehebatan
alam. Air berwarna kebiruan begitu jernih. Akar-akar pohon di tepian dan batang
pohon tumbang nampak jelas walau di dalam air. Ketika saya berenang di bagian
tengah terlihat bagian dasarnya kedalaman sekitar 13 meter. Ketakjuban saya
bertambah ketika menengok ke bawah, terlihat ikan nuri melintas, beberapa jenis
ikan tongkol, kawanan ekor kuning. Bahkan menurut informasi sesekali masuk
mahluk-mahluk berukuran besar seperti ikan barakuda atau penyu. Semua adalah
biota laut. Mereka berenang bebas di bagian bawah tapi tidak bisa naik ke
permukaan. Karena bagian atas adalah ranah hidup bagi penghuni air tawar, yaitu
sejenis ikan-ikan kecil, bergerak dalam kerumunan kemana-mana.
Ada sesuatu berbeda dengan hutan mangrove ini. Biasanya tumbuhan bakau atau mangrove tumbuh di atas substrat berlumpur. Identik dengan air keruh, apalagi bila teraduk. Namun di sini, di Sungai Buaya, air begitu jernih dan dasarnya adalah pasir putih. Indah dan unik. Semakin masuk ke hulu, semakin hening suasana. Sesekali dipecahkan oleh kicauan burung. Penyu sisik beberapa kali terlihat berenang, melintas perahu yang saya tumpangi. Sungai ini hanyalah satu dari beberapa aliran memotong barisan mangrove di sepanjang suatu teluk bernama Sulaeman. Ketika sedang surut, sungai-sungai ini terlalu dangkal untuk dilintasi perahu. Tapi saat itulah tersingkap keindahan lain. Dasar sungai dipenuhi alga laut dan sponge dengan berbagai warna. Mangrove terus meluas ke arah tepian pantai. Bahkan di tengah teluk, terdapat pulau bernama Sigending, dipagari oleh pohon-pohon mangrove tua. Sepasang rangkong terbang anggun, hinggap pada pohon-pohon besar ini seolah penyambut kedatangan.
Di dekat laut, Teluk Sulaiman bukan tempat sepi. Perairannya cukup dalam dan terlindung dari gelombang besar. Pemukiman pun berdiri dan kapal-kapal besar pengangkut kayu dan
material jaman pemerintah Hindia Belanda berlabuh. Kompleks bangunan pengolah kayu pernah berdiri saat itu, hanya saja kini tinggal tersisa sumur air tawar. Sumur ini hingga kini masih dimanfaatkan masyarakat kampung. Saya memandang jauh ke tepian daratan, deretan pohon-pohon mangrove berwarna hijau segar berbaris, menyambungkan antara hutan dan laut. Pemandangan yang sudah jarang di Kalimantan.
Dari luar teluk, dilihat dari perairan, tampak Pegunungan Kapur Mangkaliat berdiri kokoh. Hijau tertutup hutan lebat. Pohon-pohon rimbun dan dasar batuan kapur menyebabkan aliran air masuk ke teluk sedikit membawa tanah. Perahu saya mengapung pada laut sangat jernih hingga bagian dasar berpasir putih tampak jelas. Padang lamun dan sponge menancapkan diri di pasir, tumbuh subur. Bayangan tubuh besar penyu hijau samar-samar terlihat dan kepalanya keluar dari air, menghirup udara. Di sana sini mereka berkeliaran mencari makan. Lebih ke arrah luar lagi, padang lamun berkurang digantikan oleh hamparan terumbu karang. Belum tersentuh dan kemungkinan masih menyimpan keajaiban alam lainnya.
Ke arah timur dari perairan Teluk Sulaiman merupakan laut dalam berhadapan langsung dengan Selat Makassar, kaya akan ikan-ikan besar. Ikan paus sering terlihat melintas, kata masyarakat. Suatu teluk besar lain terhampar, yaitu Teluk Sumbang. Berbeda dengan Teluk Sulaiman, perairan ini mempunyai gelombang laut cukup besar terutama pada musim timur akibat mulut teluk terbuka lebar ke arah laut lepas. Terdapat kampung di pesisir, rumah bagi orang-orang Basap. Belum terlalu lama mereka turun meninggalkan “gua-gua”tempat tinggal asli
mereka di pedalaman.
Hutan
di sekitar kawasan Teluk Sumbang dalam kondisi masih bagus, sehingga banyak ditemukan sumber
air membentuk sungai-sungai mengalir ke lembah teluk ini. Air
terjun melimpah, di antaranya ada dekat sekali dengan pantai. Tidak jauh dari Pantai
Teluk Sumbang terdapat pantai Batu Bediri yang panjang dengan pohon kelapa
tersusun rapi milik masyarakat. Pasirnya lembut berwarna putih dan perairan dangkal tenang. Padang lamun dan
terumbu karang masih terlihat bagus, sehingga satwa langka seperti penyu dengan
mudah ditemukan mencari makan. Lumba-lumba pun sering bermain di sini.
Pasir putih di pantai kecil ini begitu lembut bercampur dengan partikel sisa karang berwarna merah. Gelombang tampak tenang, memainkan warna biru hijau dari air. Saya berjalan mengelilingi pulau indah ini dalam waktu tidak sampai 30 menit. Hanya suatu pulau kecil seluas 2 hektar, tempat tinggal tumbuhan pandan dan beberapa jenis pohon. Sesekali penyu hijau mendapat untuk bertelur. Selebihnya adalah ketenangan. Masyarakat menamakan pulau ini, Kaniungan Kecil. Satu dari beberapa pulau di perairan Biduk-Biduk.
Kontras dengan saudaranya, Pulau
Kaniungan Besar letaknya dekat dengan daratan utama, dihuni
masyarakat nelayan kebanyakan orang Bugis. Pulau
ini merupakan salah satu tujuan wisata orang Biduk Biduk untuk
menikmati keindahan pantai dengan aktifitas makan-makan
di tepiannya, berenang, memancing dan skin diving. Terdapat
beberapa makam dengan nisan kayu bertuliskan huruf Bugis kuno, makam para pendatang pendahulu dari Makassar ke Kalimantan. Ada masa ketika Pulau Kanjungan ini merupakan
tempat pedoman bagi warga yang hendak menyeberang ke Pulau Sulawesi karena
merupakan titik terdekat antara dua pulau Sulawesi – Kalimantan.
Daerah Biduk Biduk sendiri berdasarkan
penuturan masyarakat setempat, awal mulanya adalah rimba belantara tidak berpenduduk. Suku-suku
dari Filipina Selatan seperti Solor (Sulu) terkadang mendatangi pesisir wilayah
ini tetapi tidak untuk menetap. Penghuni
pertama justru datang dari orang-orang Bugis yang mendirikan pemukiman di pulau
Kaniungan Besar, kemudian juga di Pulau Balikukup. Gangguan dari para perompak sering kali menghampiri pulau-pulau ini
akhirnya memaksa para penghuninya untuk pindah ke daerah pesisir Biduk Biduk.
Cakrawala tampak gelap sekali, ketika perahu cepat saya tumpangi
berkapasitas sekitar 8 orang meninggalkan Biduk-biduk menuju ke arah utara.
Kami semua terdiam memandang langit dikejauhan, tetapi kapten kapal tampak
tidak ada keraguan sama sekali. Badai mulai menggulung. Ombak menguncang
perahu, kami semua berpegangan. Hujan turun deras. Perahu tetap melaju. Kami
sudah ada di tepian awan badai, dan akan masuk ke intinya. Karena di sanalah
tempat tujuan kami. Gelombang besarkah di sana yang menanti kami? Rupanya
tidak. Mendadak perairan menjadi tenang, nyaris tidak ada ombak. Bagian dalam
badai ternyata malah bersahabat. Hujan berkurang,rintik-rintik. Warna jernih
air laut biru kehijauan mulai tampak bersama pulau-pulau kecil. Kami telah tiba
di Atol Maratua.
Kami melabuhkan kapal cepat di suatu dermaga sangat
panjang menghubungkan dua pulau kecil. Di satu sisi dermaga itu adalah Pulau
Nunukan, tempat sebuah dive resort beroperasi. Keindahannya sungguh sulit
dijabarkan dengan kata-kata, apalagi dilihat setelah badai berlalu. Paduan
antara warna terang laut dengan ufuk biru gelap. Pulau-pulau ini merupakan
bagian dari Atol Maratua seluas 690 km2. Atol ini sudah tidak menutup
sempurna jika dilihat dari permukaan air, seolah sebagian karangnya telah
rontok.
Maratua hanya satu dari beberapa pulau di daerah pesisir
Berau. Masih ada pulau cukup terkenal lain seperti Derawan, Sangalaki atau Atol
Kakaban. Keanekaragaman jenis
biota air sangat beranekaragam. Menurut hasil survei, jenis karang
keras mencapai 460-470 jenis , menempati posisi nomor setelah Kepulauan Raja
Ampat- Papua dalam keanekaragaman karang keras dunia. Jenis ikan karang
mencapai 872 jenis dengan spesies dominan dari keluarga Gobidae, Labridae,
dan Pomacentridae. Di Biduk Biduk sendiri, survei pada tahun 2003
berhasil menemukan 150 jenis karang keras (sekitar pulau Kaniungan Besar) dan
sekitar 165 jenis ikan karang (pulau Kaniungan Besar dan Teluk Sulaiman).
Sedangkan Sangalaki adalah tempat Pari Manta berkeliaran. Tingginya massa zooplankton yang sangat melimpah
di lokasi ini menjadikan lokasi tempat berkumpulnya ikan ini, mencari
makan dengan cara menyaring air laut.
Keberadaan ikan
pari manta khususnya di
pesisir Berau menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan khususnya
para penyelam. Biasanya manta berkumpul mencari makan saat
air laut menjelang pasang dan surut kerena saat itu terjadi mobilisasi
massa zooplankton yang tinggi di sekitar Pulau Sangalaki. Sayangnya ketika saya
datang, para pengelola wisata selam dan wisawatannya bercerita kemunculan Pari
Manta sudah tidak sesering dulu lagi tanpa diketahui penyebabnya.
Sore hari adalah waktu paling menyenangkan untuk
bersantai di dermaga desa Payung-payung di Maratua. Tidak butuh waktu lama itu
melihat bayangan besar di air. Lalu keluarlah kepala mahluk ini ke permukaan.
Penyu hijau biota laut yang paling mendapat perhatian dan merupakan
ikon Berau. Hamparan padang lamun
sangat luas di
perairan ini dan penyu hijau sangat menyukainya untuk dimakan. Di samping
itu terdapat pulau-pulau kecil dengan pantai berpasir seperti
Sangalaki, tempat ideal untuk bertelur. Habitat sempurna ini membuat
wilayah perairan di Pesisir Berau (Derawan, Maratua, Biduk-Biduk) sebagai
tempat berkumpul penyu hijau plus lokasi peneluran Penyu yang
terbesar di Asia Tenggara. Tidak perlu bersusah-susah melihat penyu di malam
hari,cukup di hari terang, mahluk ini berenang lalu lalang dihadapan
kita.
Begitu melimpahnya populasi penyu ini akhirnya mengundang
manusia memanfaatkan telur
penyu untuk diperdagangkan. Ini sudah berlangsung sejak masa kerajaan
di Berau dan terus berlanjut di era setelah kemerdekaan. Kapal demi
kapal, telur penyu diangkut dan perdagangkan hingga keluar peraturan pemerintah
Indonesia pada tahun 1999. Peraturan ini menetapkan seluruh jenis penyu harus
dilindungi dari kepunahan, sejak itu pemanenan telur penyu mulai dibatasi.
Walau pada kenyataannya untuk menerapkan aturan ini tida semudah membalikkan
telapak tangan.
Mahluk-mahluk kecil itu
melayang, melintas di muka saya, saat merenangi perairan berwarna hijau di
Kakaban. Di tepian saya temukan setidaknya tiga jenis mahluk ini dengan bentuk
berbeda-beda, bergerak gemulai di antara tumbuhan air atau alga. Lepas dari tepian
adalah tempatnya satu jenis lain, berenang-renang. Kecil-kecil, kadang ada yang
sekepalan tangan. Semakin ke tengah, semakin banyak mereka, seolah
mengelilingi saya. Mahluk ini adalah ubur-ubur tanpa penyengat, hanya ditemukan
pada danau (sebenarnya bagian tengah atol) di Kakaban. Proses isolasi
geografis yang berlangsung ratusan tahun menjadikan ubur-ubur danau
Kakapan berbeda dengan di luar danau, membuat ke empat jenis yaitu Mastigias,
Cassiopeia, Aurellia, dan Tripedalia, kehilangan daya
sengatnya.
Jalan aspal itu mulus, membelah hutan yang masih bagus di
Maratua. Bagian pangkalnya ada di desa Payung-payung, melintasi bandara kecil
sedang taraf ujicoba dan berujung di pelabuhan masih baru. Setelah itu adalah
hutan. Jalan dan bandara menandai tahapan baru pengembangan pariwisata.
sebenarnya kegiatan ini di wilayah Berau diperkirakan mulai ada sejak masa
industri batu bara pada jaman pemerintah Belanda. Kehadiran pekerja-pekerja
asing biasanya menimbulkan kebutuhkan tempat-tempat rekreasi untuk
mengisi hari-hari libur mereka. Demikian pula dengan pekerja-pekerja domestik
dari luar Berau yang berdatangan sejak tahun 1970-an. Kemungkinan besar Pulau Derawan
dengan pantai dan gugusan terumbu karang indah serta merupakan tempat
mencari makan dan bertelur penyu hijau, adalah salah satu sasaran mereka. Pulau
ini telah dikenal sejak jaman kerajaan sebagai pusat penghasil telur penyu
terbesar di Kalimantan.
Namun, catatan pasti dimulainya pariwisata adalah
pendirian Derawan Dive Resort pada tahun 1992 di pulau Derawan. Sejak itu
lokasi ini sering dikunjungi oleh para wisatawan mancanegara dengan tujuan
untuk menyelam dan melihat penyu hijau. Pada masa itu, penginapan belum terlalu
banyak, perairan masih berwarna biru jernih dan penyu bermain-main.
Perbaikan infrastruktur di Kabupaten Berau pada tahun 2008 dalam rangka
penyelenggarakan Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke 17 di propinsi Kalimantan Timur
– Pulau Derawan sendiri menjadi lokasi bagi beberapa cabang pertandingan-,
menjadi titik penting dalam perkembangan pariwisata. Sejak itu tingkat
kunjungan meningkat drastis terutama wisatawan nusantara bahkan melebihi
jumlah wisatawan mancanegara. Jumlah penginapan naik pesat, para pengusaha
berlomba-lomba membuat dermaga menjorok ke perairan, mempersempit ruang
aktifitas di pantai. Air yang tadinya biru jernih berubah menjadi hijau keruh.
Para penyu pun mulai menyingkir, mencari lokasi yang tidak terpolusi.
Di ujung dermaga
penginapan Maratua Paradise, saya menyeburkan diri dan berenang di sore hari,
bersama kumpulan ikan-ikan bergerak ke sana kemari. Duduk di tangga dermaga
terendam air sambil memandang ke laut. Sebatang kayu lewat mengapung.
Pemandangan ini umum sekali saya jumpai selama menjelajahi perairan Berau.
Batang-batang kayu berbagai ukuran mengapung terombang-ambing di laut. Juga
serpihan-serpihan sampah kayu, kecil-kecil mengambang di laut. Iseng saya
meraup dengan tangan ke serpihan kayu itu. Saya taruh di telapak tangan.
Tiba-tiba serpihan itu bergerak. Kaget, saya jatuhkan ke laut. Penasaran
saya raup lagi serpihan kayu lain. Kali ini dengan kedua telapak tangan untuk
menahan agar ada air. Dan benar, serpihan itu bergerak. Dia mahluk hidup! Mungkin
sejenis larva. Saya amati seksama ke air di dekat saya dan serpihan-serpihan
itu bergerak. Hidup. Sungguh menakjubkan. Mereka berevolusi menyerupai bentuk
serpihan kayu untuk menyamarkan diri dari pemangsa. Alam memang luar biasa,
selalu menemukan jalannya.
Lalu saya memandang ke
belakang penginapan, tempat jalan aspal baru dibangun ketika saya ke sana
terakhir pada tahun 2016. Di sepanjang jalan terdapat aktifitas konstruksi
resor. Saya hitung, setidaknya ada 6 pembangunan. Sementara tanah di sepanjang
pesisir ini telah dibeli oleh orang luar pulau. Hanya masalah waktu untuk nanti
dibangun. Saya hanya berpikir, berapa banyak penginapan yang akan berdiri di
sini? siapakah yang akan mengatur jumlah dan tipe bangunan? kemanakah limbahnya
akan dibuang? darimana mendapatkan air bersih? akankah hutan yang masih bagus
di bagian tengah juga dibabat? Akankah mengulang kejadian pembangunan tanpa
kontrol yang merusak lingkungan pada pulau lain di wilayah ini? Belum
lagi adanya potensi untuk penambangan semen putih di Teluk Sumbang.
Thanks, infonya sangat bermanfaat. Kunjungi website kami juga ya om https://bit.ly/2RNeCTv
ReplyDelete