Flores-Matahari pun Tenggelam Begitu Indah di Labuan Bajo

Perubahan suatu tempat sering tidak terduga. Alam membentuk, kehidupan mengisi. Tumbuh dan berkembang. Kadang tumbuh linier, kadang berfluktuasi namun tidak pernah berbalik ke masa lalu. Penerima manfaatpun mengikutinya silih berganti. Labuan Bajo, suatu pelabuhan kecil di ujung barat Pulau Flores, tidak terlepas dari proses ini. Saya sungguh beruntung pada rentang waktu tertentu mengikuti perubahan yang terjadi. Perubahan yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Berikut adalah kisahnya.



Pagi hari di Labuan Bajo, tidak ada yang lebih nikmat dari pada sarapan dan minum kopi Flores sambil memandang ke perairan dengan pulau-pulau kecil tersebar. Saya biasanya memilih penginapan, dengan tempat makan menghadap ke laut agar bisa mendapatkan momen ini. Puluhan kapal bertebaran dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sebagian besar adalah kapal wisata untuk melayani wisatawan ke Pulau Komodo, Rinca, Padar, Gili Laba dan pulau-pulau kecil lain. Pikiran saya masuk ke mesin waktu, menerawang masa lalu. Dahulu tempat ini adalah pemukiman kecil para nelayan dari suku penggembara laut, Orang Bajo. Mungkin awalnya hanya sebagai tempat persinggahan sementara mereka saat menjelajahi lautan. Kapan orang bajo pertama datang ke sini dan dari mana berasal, seperti halnya kisah Suku Bajo di tempat lain, adalah sesuatu yang tidak mudah dijawab. Beberapa keturunan orang bajo di Labuan mengatakan, nenek moyang mereka berasal dari sulawesi selatan. Di sini mereka melakukan perdagangan barter dengan orang-orang dari pedalaman. Ikan ditukar dengan beras, jagung, ubi, pisang atau hasil bumi lainnya. Awal tahun 2000an, ketika saya kemari, perahu-perahu penangkap ikan dengan berbentuk bagang dengan dua sayap di kiri kanan mendominasi pemandangan di pelabuhan, dan di udara burung-burung elang laut terbang berseliweran, sambil mengintai mangsanya.  

Deru mesin kapal mulai dinyalakan, membuat saya kembali ke dunia nyata. Kapal-kapal wisata ke Komodo mulai berangkat. Bising suara mobil dan sepeda motor memenuhi jalanan. Hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun, Labuan Bajo mengalami transformasi besar-besaran. Kalau ada satu hal penting mempengaruhi perubahan ini, itu adalah transportasi. Kedatangan burung-burung besi di angkasa membuat tempat ini semakin mudah dijangkau.   


Dari jendela pesawat ATR kapastitas 72 kursi, terlihat Kepulauan Komodo mengapung di perairan jernih dengan tepian warna-warni, lalu berganti kantung-kantung sempit hutan mangrove dan perbukitan Waecicu dan akhirnya mendarat di Bandara Komodo. Penerbangan tidak terlalu jauh, hanya 1,5 jam dari Denpasar. Sangat cepat dibandingkan sebelum ada transportasi udara. Saya mengingat masa lalu ketika menuju Labuan Bajo memerlukan perjuangan panjang. Pulau Bali harus diselusuri hingga Pelabuhan Padang Bai, untuk menyeberang ke Pulau Lombok, diteruskan perjalanan melintas pulau hingga ujung timur, sebelum menyeberang ke Pulau Sumbawa. Perjalananan dilanjutkan melintas Sumbawa dari barat ke timur hingga pelabuhan Sape untuk diteruskan menyeberang hingga tiba di Labuan Bajo. Total perjalanan memakan waktu 2 hari. Meskipun melelahkan tetapi para wisatawan terutama dari mancanegara, tetap datang untuk bisa  melihat satwa legendaris : Kadal Raksasa Komodo. 

Kini semuanya menjadi mudah dengan pesawat udara. Awalnya memang tersendat-sendat, jadwal penerbangan bisa tidak menentu. Dengan berjalannya waktu, kondisi ini berangsur-angsur membaik, terdapat kepastian. Pengunjung pun makin banyak, pesawat penuh terus. Operator-operator penerbangan berdatangan mulai turut membuka rute penerbangan ke Labuan Bajo. Saya sempat menduga bahwa akan ada menurunkan jumlah penumpang dalam satu pesawat dengan semakin banyaknya frekuensi penerbangan dari Denpasar. Ternyata itu meleset. Pada saat musim kunjungan seperti Juni-Juli-Agustus, semua pesawat terisi penuh. Padahal saat ini setidaknya rute Denpasar-Labuan Bajo dilayani oleh 4 operator penerbangan dengan jumlah total penerbangan setiap hari mencapai 7 kali. Lebih dari 70 ribu wisatawan datang membanjiri tempat ini setiap tahunnya. Tentu para wisatawan ini membutuhan kenyamanan, maka konsekuensinya pembangunan di daratan pun tidak terelakkan lagi.   


Awal tahun 2000an, saya duduk-duduk di restoran Hotel Gardena,  daerah kampung tengah. Satu-satunya hotel paling lumayan di tempat ini. Beberapa penginapan 'budget' buat wisatawan 'backpacker' juga sudah ada. Kalau ingin pemandangan lebih indah, maka saya lari ke Golo Hilltop. Sedangkan Hotel Jayakarta dan Bajo Eco-Lodge di Pantai Pede, tidak terjangkau harganya. Sepanjang jalan kampung tengah berdiri satu dua restoran dan beberapa diveshop atau tur operator menawarkan paket-paket wisata ke Komodo. Orang-orang asing terutama dari Belanda dan Italia, terlihat cukup banyak terlibat dalam mengelola fasilitas-fasilitas tersebut. Lalu lintas lumayan ramai, mobil dan sepeda motor lalu lalang, tetapi jalanan masih cukup lengang.  

Tahun demi tahun, kemajuan pembangunan Labuan Bajo berjalan perlahan sampai  lima tahun terakhir ini, tiba-tiba berlari. Setiap tahun terjadi perubahan begitu cepat, begitu menakjubkan. Kawasan Pantai Pede menjelma sebagai tempat hotel-hotel berbintang, sedangkan daerah Waecicu tumbuh resor-resor kecil. Kampung tengah ramai sekali. Restoran menjamur, divecenter dan tour operator tambah banyak, mini market bermunculan. Jalanan di kampung tengah semakin riuh, sehingga tidak bisa menyeberang dengan santai lagi. Wilayah perbukitan pun mulai digarap, penginapan  tersebar kemana-mana. Perairan depan pelabuhan penuh dengan kapal-kapal wisata live aboard. Pada musim puncak kunjungan, Labuan Bajo sangat padat sekali dan terkesan tidak teratur.     



Kampung Ujung pada malam hari adalah tempat yang tidak saya lewatkan untuk menikmati hidangan laut. Ikan kakap, kerapu, baubara, cumi dan udang selalu mengundang selera walaupun dihidangkan  dalam menu sesederhana tempatnya, yaitu  meja-meja di bawah tenda, memunggungi tepian laut. Awalnya hanya ada beberapa tenda dan wisatawan nusantara atau penduduk saja yang mau mampir. Ketika Labuan Bajo semakin ramai, tenda semakin banyak dan wisatawan asing mulai turut makan. Bulan Juli 2017, saya sudah kesulitan untuk mendapatkan meja, meskipun tenda-tenda berjajar memanjang dari ujung yang satu ke ujung lainnnya. Semua penuh! Kemeriahan ini berdenyut sampai ke kampung tengah. Para wisatawan berkeliaran untuk mencari makan atau sekedar menikmati suasana malam. Apalagi pada  malam ketika kapal Pelni dari Makassar bersandar di pelabuhan, maka jalanan macet total, penuh dengan mobil penjemput atau kendaraan sewaan. Akhirnya ketidakteraturan telah datang di Labuan Bajo.  

Suatu malam di tengah keriuhan, terbersit dipikiran. Kemanakah perginya penduduk awal Labuan Bajo, ketika masih berupa pemukiman nelayan.  


Pagi hari pada pasar tradisional di Kampung Ujung, perahu-perahu kayu bersandar. Penuh dengan orang-orang lokal dari pulau-pulau kecil sekitar. Dari pulau Mesa, Papagarang, Komodo, Seraya dan lainnya, mereka datang  dengan segala keperluannya. Pulang kembali dengan membawa belanjaan, bahkan jerigen-jerigen air tawar. Kehidupan sepertinya tidak banyak berubah. Benarkah? Saya tidak tahu, karena belum menemukan penelitian khusus tentang ini, bagaimana suku-suku penghuni Labuan Bajo, seperti Bajo, Bugis, Bima dan Manggarai mengambil manfaat dari hiruk pikuk pariwisata. Serbuan wisatawan dan para pengusaha dari luar semakin gencar sejak Labuan Bajo ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas. Milyaran rupiah digelontorkan untuk membangun infrastruktur demi mengejar target wisatawan hingga setengah juta orang. Hotel, resor, kapal wisata, kapal cruise, restoran, rental kendaraan, spa, mini market, toko suvenir bakal melimpah ruah. Puluhan pertanyaan hilir mudik di kepala saya. Sanggupkah Labuan Bajo menerima orang sebanyak itu? Siapkah untuk mengelola manusia dan fasilitas sebanyak itu? Siapa yang akan paling dapat manfaat? Berapa besar keuntungan yang akan tinggal di Labuan Bajo, berapa banyak yang cuma mampir sejenak? Akankah Labuan Bajo mengikuti jejak Kuta di Bali, dari kampung kecil menjadi tempat wisata global? 

Ditengah gemerlap dan kepusingan ini setidaknya ada ada satu hal tetap tidak berubah. Dan itu selalu saya kejar ketika ke Labuan Bajo. 






Bagi saya, Labuan Bajo adalah satu dari beberapa tempat terbaik di Indonesia untuk menikmati matahari terbenam. Warna kuning diikuti merah menyala, bentuk bulat sempurna matahari, pantulan cahaya di air laut, awan dan rerumputan, latar belakang gunung Api di Pulau Sangeang-Sumbawa, warna-warni cahaya senja (twillight) selalu tampil konstan. Simfoni perubahan alam ini begitu indah  dipandang dari sudut manapun di Labuan Bajo. dari pantai Pede, dari pelabuhan, dari Golo, dari Waecicu.  Pesona yang tidak lekang oleh waktu, dinikmati sejak para penghuni sebelumnya. Mulai dari para kadal raksasa Komodo, para gajah kerdil Stegodon, para manusia purba Homo erectus dan Hobbit, hingga manusia modern kita semua. Sungguh saya benar-benar menikmatinya dan sambil berharap, tenggelamnya matahari di Labuan Bajo diiringi oleh terbitnya hari esok yang tidak kalah indah. Bukan kegelapan malam yang terus menerus.   

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas