Sungai Subayang (bagian 1)-Surga Hijau Terakhir di Riau

Untuk merayakan keindahan alam
Bukan menghancurkannya

Saat menerima undangan ke daerah bernama Rimbang Baling, saya tidak mengenal apapun mengenai tempat ini. Hanya tahu pasti, lokasinya  berada di Riau. Cukup untuk mengurangi semangat karena terbayang kebun sawit luas, hutan rusak dan asap dari kebakaran hutan. Itulah persepsi saya terhadap Riau. Pada akhirnya saya menginjakkan kaki ke Rimbang Baling di tahun 2015 dan semua  pandangan ini berubah total. Nuansa perbukitan berlapis vegetasi hijau segar dengan dibelah sungai jernih sungguh menakjubkan. Mengingatkan saya pada hutan dataran rendah nan lebat di Kawasan Leuser di Sumatera Utara dan Aceh. Terlebih sungai utama berkelok-kelok bernama Subayang, membuat tempat ini serasa surga. Makin ke dalam saya jelajahi makin banyak temuan mengagumkan. Namun bersamaan dengan itu makin banyak juga hal menyedihkan bagi masa depan surga ini. 


SANG SUNGAI

Pada saat cuaca cerah dan tinggi permukaan air normal, pagi hari terasa begitu indah dan menyegarkan di  Sungai Subayang.


Aliran air hijau jernih mengalir cepat di sungai namun dalam alunan suara lembut. Hanya pada bagian bagian dangkal gemuruh riam terdengar. Laju air melambat pada lubuk-lubuk dalam atau lekukan di tepian. Ketika udara cerah, pantulan biru langit turut mewarnai bagian tengah permukaan badan air.  Sungai Subayang mengalir-meliuk liuk sepanjang 61,5 km dari sumbernya di daerah Sumatera Barat. Di ujung sungai ini bergabung  dengan Sungai Kampar Kiri,  untuk kemudian bertemu dengan saudaranya Sungai Kampar Kanan membentuk Sungai Kampar, satu dari empat sungai besar di Riau. Pada akhir perjalanan, aliran sungai  menjelma menjadi ombak Bono nan legendaris lalu masuk ke Selat Malaka. 

Ratusan anak anak sungai berair sangat jernih, seperti Sungai Sidu ini, adalah pembentuk Sungai Subayang


Setelah beberapa kali mengunjung Sungai Subayang, dalam benak saya  ada satu hal bisa diidentikan dengan sungai ini. Air yang begitu jernih. Kebeningan ini didapatkan dari pasokan air  oleh anak-anak sungai. Jumlahnya ratusan, mengalir dari lembah-lembah sempit pada perbukitan terjal tidak beraturan. Sungai Bio adalah anak sungai terbesar, lalu ada Sidu, Miring,  Telago, Tikun, Biawik, Salo, Biuang dan Silumbung. Mereka disuplai oleh aliran-aliran air lebih kecil yang tidak terhitung jumlahnya. Ketika menjelajahi anak-anak sungai ini, saya sering terhenyak, menyaksikan pemandangan luar biasa berupa  air sebening kaca hingga bebatuan di dasarnya terlihat jelas. Tidak hanya indah namun juga membuat badan terasa segar dan mata menjadi sejuk.  


 Hamparan pantai berbatu pada musim kemarau merupakan ciri khas dari Sungai Subayang

Sebagai sungai yang telah terbentuk dalam waktu cukup panjang, Subayang memiliki beberapa karakter tertertentu. Pada tepian sungai, umum dijumpai hamparan batu dan kerikil berserakan terutama ketika air surut. Ukuran batu dan kerikil beragam dari kecil sampai sedang, kadang membentuk bukaan cukup luas. Masyarakat lokal menyebut tepian berbatu ini dengan istilah pantai. Pada beberapa ruas, tumpukan batu ini membentuk pulau di tengah sungai. Bila diamati, batu dan kerikil ini melapisi sebagian dasar sungai. Faktor tersebut tidak terlepas dari kondisi batuan penyusun wilayah ini. Secara geologi tempat ini, terbentuk sejak Permian dan Karbon (248-360 juta tahun lalu). Kekuatan air dalam kurun waktu sangat lama kemungkinan menggerus batuan, menghanyutkan batu serta kerikil, dan mencucinya hingga bersih. Kemudian arus berperan menyeret dan menumpuk batu-batu di bagian tertentu sungai, membentuk kondisi yang terlihat sekarang. Karena sungai bersifat dinamis, air selalu berusaha menemukan jalannya sendiri, maka besar kemungkinan  posisi pantai dan pulau batu bisa berubah-ubah. 


Aliran air sempit dan berarus deras mewarnai perjalanan penuh tantangan di bagian hulu Sungai Subayang

Subayang bukan sungai dengan satu tampilan melainkan memiliki sejumlah wajah berbeda. Ruang dan waktu menentukan tampilannya. Semakin menjelajah ke hulu, lebar sungai menyempit dan dangkal, menciptakan arus kencang dan riam-riam berukuran sedang. Perjalanan ke daerah hulu adalah  penuh tantangan. Bukan hanya melewati riam tetapi juga harus menyeret  perahu karena badan air terlalu dangkal untuk dilewati. Sekalipun demikian, air sungai  jernih dan menyegarkan serta vegetasi hijau di kiri kanan tepian, menghilangkan semua kelelahan ini.  

Turun ke hilir, bentuk sungai berubah. Badan sungai makin melebar, aliran air melambat, pantai dan pulau batu makin sering dijumpai. Tepian sungai banyak terbuka baik berupa kebun atau pemukiman menyebabkan erosi tanah berlangsung. Akibatnya dasar sungai mulai dipenuhi endapan lumpur dan ini membuat air mengeruh. Kondisi yang sangat kontras dengan di bagian hulu. 



Mendorong dan menarik perahu kandas di bebatuan selalu menjadi bagian dari pengarungan sungai di musim kemarau.

Memasuki bulan Maret, hujan sudah berkurang. Matahari bersinar terik, aliran-aliran air mengecil karena pasokan dari langit terhenti. Hanya mengandalkan simpanan air di tanah yang selama ini ditahan oleh akar-akar tumbuhan. Permukaan air menurun, dan semakin jernih, bebatuan dan kerikil tersingkap. Gemercik suara air Sungai Subayang terdengar lebih keras. Pada saat inilah di musim kemarau ini, di balik keindahan tersaji, perjalanan mengaruhi sungai menjadi tidak mudah. Sungai dangkal sering mengkandaskan perahu. Masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai, mengganti pemakaian perahu besar dengan yang berukuran lebih kecil. Kadang itu pun masih harus dibantu dengan mendalamkan beberapa ruas sungai tertentu agar perahu dapat lewat. Saat kemarau mencapai puncak pada bulan Agustus atau September, bagian hulu Subayang benar-benar sulit untuk dilewati, sekalipun oleh perahu kecil.  

Musim hujan ditandai dengan kenaikan muka air sungai dan bila berlebih bisa menimbulkan banjir

Surutnya Sungai Subayang biasanya berlangsung hingga memasuki musim hujan. Tetes air dari atas mengisi lagi sumber-sumber air, memulihkan kembali sungai. Bahkan berlebih. Pada bulan-bulan berakhir 'ber' dan awal tahun, hujan bisa berlangsung berhari-hari. Terkadang turun dengan deras sekali diselingi petir menggelegar. Dalam kondisi ini, air akan naik. Warna sungai berubah menjadi coklat kehijauan menandakan  gerusan tanah sudah masuk ke badan air. Pantai dan pulau batu hilang dari pandangan, terendam di bawah air. Dalam kondisi ekstrem muka air naik drastis, arus sungai kencang sekali, menyapu semuanya. Sang sungai menunjukkan kekuatannya. 

Bagian dasar sungai bisa terlihat dengan jelas dalam kejernihan air Subayang

Kondisi di antara surut dan banjir adalah masa terbaik dari Sungai Subayang. Yaitu tinggi muka air tidak terlalu dangkal dan juga tidak terlalu dalam. Umumnya muncul di masa peralihan, tidak lama setelah musim hujan berhenti namun air belum terlalu surut, atau di awal musim hujan ketika pasokan air baru mulai mengisi kembali sungai. Di saat itulah Subayang memberikan penampilan terbaiknya.  Indah dan lembut. Air berwarna hijau jernih hingga sebagian dasar sungai terlihat jelas, berpadu dengan kesegaran hijau tumbuhan sepanjang kiri-kanan sungai, di bawah naungan langit biru. Sekalipun sudah berkali-kali saya menikmati momen ini, tapi rasanya tidak pernah bosan mengagumi keelokan sungai ini.



Kehadiran ikan melimpah di Subayang merupakan sumber protein bagi masyarakat setempat

Sungai Subayang bukanlah sekedar air saja, melainkan penuh dengan kehidupan. Ikan adalah rajanya. Keaneragaman jenis ikan yang hidup di sini sangat luar biasa. Sebanyak 72 jenis ikan ditemukan oleh tim survei dari Universitas Riau dan WWF Indonesia di tahun 2015. Jumlah ini kemungkinan besar masih akan bertambah, mengingat begitu luas dan beragam cangkupan area sungai ini. Ikan yang hidup di daerah hulu bisa berbeda dengan di hilir, yang di tempat dangkal belum tentu sama dengan di lubuk dalam, yang di arus deras tidak serupa dengan di air tenang,  yang di sungai besar boleh jadi lain dengan di anak sungai kecil, yang di air jernih tidak mirip dengan di air keruh.  Hanya sedikit sungai di Sumatera masih memiliki kekayaan ikan seperti ini. 


Kapiek (Barbonymus schwanenfeldii), ikan paling umum dijumpai pada Sungai Subayang 

Kerumunan ikan-ikan pantau berukuran kecil hampir selalu memenuhi tepi sungai, bersiap menyambar makanan jatuh pada permukaan air. Di bagian dasar berbatu, ikan-ikan selimang batu sibuk mencari makan, sedangkan saudaranya selimang batang menguasai tempat  batang-batang kayu terendam air bersama sikucam. Sementara itu ikan buntal dengan giginya setajam silet mengintai menunggu kelengahan dan siap menyambar mereka. Agak ke tengah di bagian lebih dalam, ikan barau berukuran sedang,  dengan tenaga kuat berburu mencari mangsa. Di tempat yang sama berkeliaran ikan kapiek dalam jumlah besar. Anak sungai adalah wilayah bermain ikan kecil. Pitulu dengan bentuk mulutnya yang rumit menjaga pintu masuk sungai dengan dasar agak berlumpur, sedangkan ikan berwarna kuning cantik pilogong dan julung-julung yang mirip pensil masuk lebih jauh ke dalam. Aliran berarus deras tidak sepi dari penghuni. Ikan jurung nan kuat serta kulai dan makpai dengan struktur hisap di mulutnya mampu bergerak melawan arus. Dasar tebing-tebing tanah di tepian adalah lokasi favorit para ikan baung. Sedangkan kegelapan di dasar lubuk-lubuk dalam merupakan rumah ikan-ikan besar singgarek, tapah, geso, belida dan tabangalan. Semua relung di sungai sudah ada penghuninya. 

Pada waktu-waktu tertentu fenomena menakjubkan terjadi, yaitu migrasi ikan. Masyarakat tepi sungai menyebutkan dengan istilah 'ikan mudiek'. Ikan-ikan bertelur di Sungai Subayang untuk menerima kenyataan telur-telur mereka dihanyutkan oleh arus sungai.  Setelah mengalami perjalanan, pada waktunya telur-telur ini menetas, jauh dari tempat kelahirannya. Namun alam mempunyai mekanisme tersendiri penuh misteri. Saat anak-anak ikan ini sudah beranjak dewasa, mereka berombongan memulai perjalanan melawan arus menuju ke tanah kelahiran. Ikan canggak, makpai, siban, selimang, pawe dan jenis-jenis lainnya berenang beriring menciptakan suara riuh di sungai. Ketika migrasi ini terjadi, masyarakat beramai-ramai berperahu dan menebar jala. Bukan hanya manusia, penghuni-penghuni hutan pun turut keluar untuk ikut pesta ini.

Perenang kuat, Biawak (Varanus salvator) selalu rutin berpatroli di sungai dan tepiannya  


Ikan tidak sendirian menguasai sungai. Udara di atas sungai menjadi wilayah bagi beberapa jenis burung Raja Udang pemangsa ikan. Burung elang ikan sudah hilang dari sungai besar, tetapi kadang tampak di anak-anak sungai yang masih sepi. Predator ukuran kecil di udara di kuasai oleh para capung. Sungai sendiri juga tempat tinggal bagi udang sungai kecil maupun udang galah. Demikian pula labi-labi dengan tempurung datar di sungai besar atau kura-kura daun pada anak sungai kecil.  Sedangkan tepi-tepi sungai becek atau berawa diramaikan oleh suara-suara katak dan kodok. Biawak sering dijumpai mencari makan di tepian, terkadang berenang melintasi sungai. Mereka sudah tidak memiliki pesaing lagi, karena gerombolan berang-berang sekarang sudah hilang dari sungai ini. 

Kelompok Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menghabiskan waktu sore hari di tepian sungai

Ketika matahari mulai condong ke barat dan terik berkurang, udara sekitar sungai menyejuk. Suasana di sungai terlihat tenang, damai dan indah. Para satwa liar paham akan hal itu. Mereka semua turun mendekati sungai. Babi hutan dan monyet ekor panjang bersantai di pantai-pantai batu. Monyet kokah dan beruk saling mendahului untuk menguasai pohon kayu aro atau durian sebagai tempat tidur malam. Para kerbau peliharaan manusia merumput dan tidur-tiduran pada tempat-tempat terbuka sepanjang sungai. Sementara pemiliknya yaitu masyarakat, turun ke sungai untuk mandi dan menyegarkan diri. Semua menikmati sore hari di sungai yang selalu saja penuh keindahan.

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas