Riau dikenal kaya sumber air tawar, memiliki empat sungai besarnya, yaitu Kampar, Siak, Rokan dan Indragiri. Kondisi seperti ini umum ditemukan di berbagai daerah di Pulau Sumatera, aliran-aliran air dari Pegunungan Bukit Barisan mengalir ke dataran rendah di bagian timur, saling bertemu dan membentuk sungai besar untuk kemudian bermuara di Selat Malaka. Sungai berwarna hijau jernih dengan beraneka ragam ikan di dalamnya tersebar dimana-mana. Tetapi itu adalah gambaran pada masa lalu. Semakin ke sini ketika populasi manusia bertambah padat dan pembukaan hutan berjalan terus, sungai-sungai berubah menjadi keruh dan miskin kehidupan. Bisa menemukan sungai jernih dihuni beragam ikan, biota air dan satwa liar adalah kemewahan. Beruntung di Riau, kita masih bisa menjumpai hal ini, tepatnya pada Sungai Subayang. Memang satwa yang suka berkeliaran dekat air sudah jauh berkurang dan sulit dilihat seperti berang-berang dan elang ikan. Namun dalam urusan ikan, Subayang masih bertahan. Beragam jenis ikan masih hidup di sini dalam jumlah melimpah. Tidak ada tempat paling tepat untuk menyaksikannya kekayaan ini selain pada "Lubuk Larangan".
Interaksi masyarakat desa-desa di sepanjang aliran Sungai Subayang dengan sungai sangat erat, karena banyak pemukiman yang terletak tepat di tepian air. Ikan dari sungai telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai sumber protein. Namun, menariknya, masyarakat tidak hanya mengandalkan cara-cara biasa dalam menangkap ikan, tetapi juga memiliki tradisi yang disebut "Lubuk Larangan." Istilah ini merujuk pada suatu wilayah sungai yang dilindungi, di mana aktifitas penangkapan ikan dilarang sama sekali.
Lubuk Larangan ini bisa dianggap sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Kampar Kiri Hulu, termasuk Subayang, yang telah diwariskan turun-temurun. Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai kapan konsep ini pertama kali muncul, masyarakat setempat menyebutkan bahwa lubuk-lubuk larangan yang ada sekarang baru ditetapkan sekitar tahun 1980-an. Penetapan ini dipicu oleh bencana banjir besar yang melanda desa-desa sepanjang Sungai Subayang pada tahun 1978, yang merusak banyak rumah dan infrastruktur. Pada masa itu, dana untuk pemulihan pembangunan desa sangat terbatas.
Belajar dari pengalaman tersebut para tetua, ninik mamak, bersama pemuda dan pemerintah desa, menetapkan kebijakan Lubuk Larangan. Dengan melarang penangkapan ikan pada periode tertentu, mereka berharap jumlah ikan akan melimpah dan bisa dipanen pada waktu yang tepat untuk dijual. Hasil penjualan ikan ini kemudian digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan desa, seperti masjid, fasilitas umum, kegiatan pemuda, dan keperluan publik lainnya. Lebih dari itu, Lubuk Larangan juga bisa dilihat sebagai cadangan ekonomi yang berguna saat musibah seperti banjir datang kembali. Dalam hal ini, pertimbangan ekonomi menjadi lebih dominan daripada aspek pelestarian ikan, meskipun keduanya saling mendukung dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Pemilihan lokasi untuk Lubuk Larangan didasari oleh pengetahuan masyarakat tentang aliran sungai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Suatu lubuk hanya bisa ditetapkan di bagian sungai yang memang disukai ikan, biasanya di tempat-tempat dengan aliran air yang tenang dan kedalaman memadai. Namun, kedalaman saja tidak cukup; lokasi tersebut juga harus dipertimbangkan dari sisi kemudahan menangkap ikan saat lubuk dibuka. Di musim kemarau, ketika air sungai surut, lokasi harus cukup dangkal agar ikan dapat ditangkap dengan mudah. Selain itu, panjang lubuk juga perlu diperhitungkan—terlalu panjang bagian air yang dalam berarti peluang ikan untuk lolos semakin besar. Setelah kesepakatan tercapai tentang lokasi lubuk, ritual khusus dilakukan dengan membaca surah Yasin dari Kitab Al-Qur’an, sebagai simbol penciptaan ‘pagar’ atau perlindungan pada lubuk tersebut.
Panjang lubuk biasanya berkisar antara 100 hingga 200 meter, dengan lebar bervariasi, tergantung pada bentuk sungai. Bahkan, ada beberapa lubuk yang panjangnya melebihi batas tersebut. Batas-batas lubuk ini biasanya ditandai secara visual dengan pemasangan tali atau kabel setinggi 5-6 meter di atas permukaan air yang membentang melintasi sungai. Terkadang, plastik-plastik kecil diikatkan pada tali tersebut untuk membuat tanda tersebut semakin terlihat jelas. Lokasi lubuk umumnya berada di dekat pemukiman, meskipun ada juga yang cukup jauh dari pusat desa. Semua desa yang terletak di sepanjang Sungai Subayang dan anak sungainya, Batang Bio, dari hulu di Pangkalan Serai dan Pangkalan Kapas hingga hilir di Teluk Paman, memiliki lubuk larangan. Beberapa desa memiliki satu lubuk (seperti Muara Bio), ada pula yang memiliki dua (seperti Tanjung Belit dan Batu Sanggan), bahkan ada yang memiliki tiga atau empat (seperti Kutolamo dan Pangkalan Serai).
Masyarakat dilarang keras untuk menangkap ikan atau merusak lubuk tersebut. Pelanggaran terhadap aturan ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap sumpah yang telah disepakati bersama. Bagi para pelanggar, sanksi yang dikenakan bisa berupa denda dalam bentuk barang—seperti semen, atap seng, atau ternak—atau uang, tergantung kesepakatan yang berlaku di masing-masing desa. Namun, sanksi sosial yang paling berat adalah rasa malu dan kepercayaan akan terkena musibah, yang menjadi ancaman terbesar bagi mereka yang melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Persiapan
Pembukaan lubuk larangan atau dikenal dengan istilah 'Mencokau' biasanya dilakukan sekali setahun, tepatnya saat puncak musim kemarau, antara bulan Agustus dan September, meski waktu pelaksanaannya bisa sedikit bergeser tergantung pada kedalaman air. Ketika air sungai surut dan dangkal, ikan akan lebih mudah ditangkap. Keputusan mengenai waktu pembukaan lubuk ini biasanya ditentukan oleh para ninik mamak. Sebelum acara dimulai, sehari sebelumnya, warga bergotong royong membangun pagar kayu yang melintang di sepanjang sungai, sambil memasang jaring ikan di antara tiang-tiang penyangganya.


Comments
Post a Comment