Sungai Subayang (bagian 2)-Lubuk Larangan, Tempat Ikan Pantang di Tangkap

Riau dikenal kaya sumber air tawar, memiliki empat sungai besarnya, yaitu Kampar, Siak, Rokan dan Indragiri. Kondisi seperti ini umum ditemukan di berbagai daerah di Pulau Sumatera, aliran-aliran air dari Pegunungan Bukit Barisan mengalir ke dataran rendah di bagian timur, saling bertemu dan membentuk sungai besar untuk kemudian bermuara di Selat Malaka. Sungai berwarna hijau jernih dengan beraneka ragam ikan di dalamnya tersebar dimana-mana. Tetapi itu adalah gambaran pada masa lalu. Semakin ke sini ketika populasi manusia bertambah padat dan pembukaan hutan berjalan terus, sungai-sungai berubah menjadi keruh dan miskin kehidupan. Bisa menemukan sungai jernih dihuni beragam ikan, biota air dan satwa liar adalah kemewahan. Beruntung di Riau, kita masih bisa menjumpai hal ini, tepatnya pada Sungai Subayang. Memang satwa yang suka berkeliaran dekat air sudah jauh berkurang dan sulit dilihat seperti berang-berang dan elang ikan. Namun dalam urusan ikan, Subayang masih bertahan. Beragam jenis ikan masih hidup di sini dalam jumlah melimpah. Tidak ada tempat paling tepat untuk menyaksikannya kekayaan ini selain pada "Lubuk Larangan". 

Lubuk larangan pada Sungai Subayang di Desa Aur Kuning

Interaksi masyarakat desa-desa di sepanjang aliran Sungai Subayang dengan sungai sangat erat, karena banyak pemukiman yang terletak tepat di tepian air. Ikan dari sungai telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai sumber protein. Namun, menariknya, masyarakat tidak hanya mengandalkan cara-cara biasa dalam menangkap ikan, tetapi juga memiliki tradisi yang disebut "Lubuk Larangan." Istilah ini merujuk pada suatu wilayah sungai yang dilindungi, di mana aktifitas penangkapan ikan dilarang sama sekali.

Lubuk Larangan ini bisa dianggap sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Kampar Kiri Hulu, termasuk Subayang, yang telah diwariskan turun-temurun. Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai kapan konsep ini pertama kali muncul, masyarakat setempat menyebutkan bahwa lubuk-lubuk larangan yang ada sekarang baru ditetapkan sekitar tahun 1980-an. Penetapan ini dipicu oleh bencana banjir besar yang melanda desa-desa sepanjang Sungai Subayang pada tahun 1978, yang merusak banyak rumah dan infrastruktur. Pada masa itu, dana untuk pemulihan pembangunan desa sangat terbatas.  

Belajar dari pengalaman tersebut  para tetua, ninik mamak, bersama pemuda dan pemerintah desa, menetapkan kebijakan Lubuk Larangan. Dengan melarang penangkapan ikan pada periode tertentu, mereka berharap jumlah ikan akan melimpah dan bisa dipanen pada waktu yang tepat untuk dijual. Hasil penjualan ikan ini kemudian digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan desa, seperti masjid, fasilitas umum, kegiatan pemuda, dan keperluan publik lainnya. Lebih dari itu, Lubuk Larangan juga bisa dilihat sebagai cadangan ekonomi yang berguna saat musibah seperti banjir datang kembali. Dalam hal ini, pertimbangan ekonomi menjadi lebih dominan daripada aspek pelestarian ikan, meskipun keduanya saling mendukung dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Pemilihan lokasi untuk Lubuk Larangan didasari oleh pengetahuan  masyarakat tentang aliran sungai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Suatu lubuk hanya bisa ditetapkan di bagian sungai yang memang disukai ikan, biasanya di tempat-tempat dengan aliran air yang tenang dan kedalaman memadai. Namun, kedalaman saja tidak cukup; lokasi tersebut juga harus dipertimbangkan dari sisi kemudahan menangkap ikan saat lubuk dibuka. Di musim kemarau, ketika air sungai surut, lokasi harus cukup dangkal agar ikan dapat ditangkap dengan mudah. Selain itu, panjang lubuk juga perlu diperhitungkan—terlalu panjang bagian air yang dalam berarti peluang ikan untuk lolos semakin besar. Setelah kesepakatan tercapai tentang lokasi lubuk, ritual khusus dilakukan dengan membaca surah Yasin dari Kitab Al-Qur’an, sebagai simbol penciptaan ‘pagar’ atau perlindungan pada lubuk tersebut.

Panjang lubuk biasanya berkisar antara 100 hingga 200 meter, dengan lebar bervariasi, tergantung pada bentuk sungai. Bahkan, ada beberapa lubuk yang panjangnya melebihi batas tersebut. Batas-batas lubuk ini biasanya ditandai secara visual dengan pemasangan tali atau kabel setinggi 5-6 meter di atas permukaan air yang membentang melintasi sungai. Terkadang, plastik-plastik kecil diikatkan pada tali tersebut untuk membuat tanda tersebut semakin terlihat jelas. Lokasi lubuk umumnya berada di dekat pemukiman, meskipun ada juga yang cukup jauh dari pusat desa. Semua desa yang terletak di sepanjang Sungai Subayang dan anak sungainya, Batang Bio, dari hulu di Pangkalan Serai dan Pangkalan Kapas hingga hilir di Teluk Paman, memiliki lubuk larangan. Beberapa desa memiliki satu lubuk (seperti Muara Bio), ada pula yang memiliki dua (seperti Tanjung Belit dan Batu Sanggan), bahkan ada yang memiliki tiga atau empat (seperti Kutolamo dan Pangkalan Serai).

Masyarakat dilarang keras untuk menangkap ikan atau merusak lubuk tersebut. Pelanggaran terhadap aturan ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap sumpah yang telah disepakati bersama. Bagi para pelanggar, sanksi yang dikenakan bisa berupa denda dalam bentuk barang—seperti semen, atap seng, atau ternak—atau uang, tergantung kesepakatan yang berlaku di masing-masing desa. Namun, sanksi sosial yang paling berat adalah rasa malu dan kepercayaan akan terkena musibah, yang menjadi ancaman terbesar bagi mereka yang melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Pemasangan pagar pada lubuk larangan di Desa Aur Kuning

Persiapan 

Pembukaan lubuk larangan atau dikenal dengan istilah 'Mencokau' biasanya dilakukan sekali setahun, tepatnya saat puncak musim kemarau, antara bulan Agustus dan September, meski waktu pelaksanaannya bisa sedikit bergeser tergantung pada kedalaman air. Ketika air sungai surut dan dangkal, ikan akan lebih mudah ditangkap. Keputusan mengenai waktu pembukaan lubuk ini biasanya ditentukan oleh para ninik mamak. Sebelum acara dimulai, sehari sebelumnya, warga bergotong royong membangun pagar kayu yang melintang di sepanjang sungai, sambil memasang jaring ikan di antara tiang-tiang penyangganya.

Penangkapan ikan Singgarek  (Belodontichthys dinema) yang hanya ada pada lubuk larangan tertentu di Desa Tanjung Belit 

Tangkapan ikan Tapah -Wallago leeri- (atas) dan  panenan ikan tabangalan -Amblyrhynchichtys truncatus (bawah) di Desa Tanjung Belit 

Pemanenan Ikan Besar
Umumnya pemanenan ikan dilakukan pada pagi hari. Tetapi terdapat lubuk larangan tertentu, memiliki dasar sungai dalam seperti di Desa Tanjung Belit, tempat tinggal ikan ukuran besar seperti Singgarek, Tapah, Geso atau Tabangalan.  Tepat pada malam hari sebelum acara pembukaan lubuk, beberapa warga pilihan tugaskan untuk menangkap ikan-ikan ini dengan menggunakan panah (spearfishing) dan menebar jala. 

Lemparan jaring ikan pertama menandai pembukaan lubuk  (atas) -dan  musik talempong menggema meriah (bawah) 

Pembukaan 
Setelah alunan suara musik talempong memeriahkan suasana, diikuti pembacaan doa, pembukaan lubuk larangan ditandai dengan lembaran jala pertama oleh ninik mamak. Ikan pertama yang tertangkap dipotong menjadi dua. Satu dilempar ke sungai dan lainnya ke tanah sebagai simbol untuk menunjukkan penghargaan kepada 'Ibu Pertiwi'.


Beramai-ramai menangkap ikan saat lubuk secara resmi dibuka di Batu Songgan (paling atas), Kutolamo (tengah) dan Tanjung Belit (paling bawah)

Waktunya Menangkap
Segera setelah Mencokau resmi dibuka, warga berhamburan ke sungai, antusias mengejar peluang menangkap ikan.  Ada yang mengandalkan jala ikan, ada menggunakan panah (spearfishing). Di beberapa  desa, siapa aja boleh ikut serta menangkap ikan, namun ada pula desa yang membatasi hanya pada warga yang ditunjuk. Meskipun aturan berbeda-beda, inti dari semuanya tetap sama: ikan yang ditangkap dari lubuk larangan merupakan milik desa, bukan perorangan. Ini adalah sumber daya bersama bukan pribadi. Ikan  yang berhasil ditangkap kemudian dikumpulkan dan dijual oleh desa.  Hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan  fasilitas umum atau kebutuhan penting lainnya. 

Ikan-ikan tangkapan dari Lubuk Larangan, Kapiek -Barbonimus schwanenfeldii (paling atas dan paling bawah), Barau-Hampala macrolepidota (atas) dan Juaro -Pangasius polyuranodon (bawah)

Para Ikan
Masa kebebasan para ikan di lubuk larangan telah berakhir. Bagi mereka yang tidak bisa menghindari jaring ikan dan panah, tidak punya pilihan selain mengorbankan hidup mereka bagi kebahagiaan manusia. 

Ikan-ikan terpilih diangkut untuk dijual melalui lelang (atas), lelang ikan di Tanjung Belit (tengah), dan lelang ikan di Aur Kuning (bawah) 

Lelang
Jenis ikan-ikan berukuran besar (singgarek, tapah, geso, barau)  atau ikan mahal (Ikan Puteri) dipilih, kemudian dijual ke warga atau pengunjung melalui lelang. Ikan termahal ditentukan dari ukuran, kelangkaan dan rasa. 

Pembagian ikan tangkapan dalam porsi yang sama.

Pembagian
Ikan-ikan berukuran sedang dan kecil dibagikan keseluruh warga desa melalui sistem 'andel'. Ikan dibagi dalam porsi berukuran sama yang disebut andel. Setiap keluarga berhak membeli satu atau lebih andel, sedangkan pengunjung juga diperbolehkan membeli tetapi dengan harga yang sedikit berbeda. Setiap andel berisi 1-2 kilogram ikan tergantung banyaknya jumlah ikan yang berhasil ditangkap. Jika tangkapan melimpah dapat menghasilkan lebih dari 700 andel, namun jika hasil buruk, jumlah andel tersedia hanya  300-400.  

Makan bersama hasil tangkapan ikan pada akhir acara buka lubuk larangan


Pesta
Pemanenan Lubuk Larangan tidak hanya membawa keuntungan ekonomi semata melainkan juga menciptakan manfaat sosial. Kabar rencana pembukaan lubuk larangan menyebar dengan cepat dikalangan warga dan infomasi ini diteruskan ke keluarga, teman dan rekanan yang tinggal di luar desa. Pada hari acara, setiap keluarga mendirikan tenda sederhana dekat lubuk, menjadikannya sebagai tempat berkumpul bagi keluarga dan teman mereka. Setelah ikan-ikan dibeli melalui lelang dan andel, warga pun mulai memasaknya -ada yang dibakar, goreng atau masak kuah. Ketika hidangan ikan siap, mereka menikmati makan siang bersama. Sekitar pukul 2-3 siang, acara buka lubuk resmi berakhir.



Kemeriahan acara Buka Lubuk Larangan yang saya ceritakan ini terjadi pada periode tahun 2016 hingga 2018. Di kala itu air Sungai Subayang masih sering memancarkan kejernihan berwarna hijau dan ikan-ikan bermunculan dalam jumlah melimpah. Namun kini, sunga itu seringkali tampak keruh, berwarna coklat akibat ribuan gelondongan kayu mengalir keluar dari hutan. Ditambah cuaca tidak menentu akibat perubahan iklim, menciptakan ketidakpastian dalam merencanakan acara Mencokau. Akankah Sungai Subayang tetap berkilau seperti namanya dan terus memberi anugerah bagi masyarakat sekitarnya? Mungkin jawabannya seperti cuaca saat ini, tidak ada kepastian. Saya merasa beruntung sempat menyaksikan keindahan, kekayaan dan keajaiban Subayang. Namun menjadi saksi melihat sesuatu tempat menakjubkan yang kemudian dirusak, itu sungguh menyesakkan.






Comments