Larut di Waerebo-Bagian 1 MANUSIA

Di sebuah teras datar, terpancang di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, tersembunyi di balik selimut kabut dan gunung-gunung yang menjulang, berdiri tujuh bangunan kerucut bagai mahkota raksasa yang ditancapkan oleh tangan zaman. Semakin dekat, semakin terungkap kebesaran mereka: bukan bangunan kecil yang sederhana, melainkan monumen-monumen megah yang menjulang tinggi, seakan-akan menyentuh langit. Dan yang lebih mengagumkan, mereka masih hidup, masih bernafas, masih dihuni oleh manusia yang menjaga warisan leluhur dengan penuh kesetiaan. Tempat ini, sungguh spektakuler, adalah Waerebo—sebuah kampung yang menjadi saksi bisu keabadian. Di sini, rumah-rumah adat bukan sekadar bangunan, melainkan jiwa yang berdiri kokoh, menyatu dengan alam dan kehidupan masyarakatnya. Waerebo bukan hanya tempat tinggal, ia adalah sebuah cerita yang terus hidup, sebuah warisan yang tak lekang oleh waktu.

Waerebo telah menjadi bagian dari hidup saya, entah sudah berapa kali kaki ini melangkah menapaki jalannya yang berliku, menembus kabut dan lereng gunung, untuk kembali ke tempat ini. 2013 adalah tahun pertama  ketika saya menginjakkan kaki di sana, dan sejak itu, Waerebo seakan memanggil saya untuk terus kembali. Kunjungan demi kunjungan pun mengalir, dari masa ketika Waerebo masih sunyi, hanya ditemani canda masyarakat, gemerisik angin dan bisikan alam, hingga kini, ketika riuh wisatawan mulai memenuhi ruang-ruangnya. Banyak yang berubah: hal-hal baru baru bermunculan, dan kehidupan pun bergerak lebih cepat. Tapi, di balik semua perubahan itu, ada sesuatu yang tetap bertahan—jiwa Waerebo yang tak tergantikan, yang masih terasa dalam setiap nafas masyarakatnya, dalam setiap lekuk rumah adatnya, dan dalam setiap cerita yang terus hidup di sana.

Tujuh rumah kerucut di Kampung Waerebo

Bagaimana mungkin sebuah kompleks bangunan dengan gaya arsitektur yang begitu unik bisa berdiri megah di tempat yang terpencil dan tersembunyi? Rahasianya terletak pada lorong-lorong sejarah masyarakat Waerebo, yang menyimpan cerita menarik tentang asal-usul mereka. Waerebo, yang dikenal sebagai bagian dari suku Manggarai, memiliki ciri khas bangunan berbentuk kerucut yang memukau. Uniknya, bangunan serupa bisa ditemukan hampir di seluruh wilayah barat Pulau Flores. Namun, jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda membentuk Kerajaan Manggarai, kawasan ini sebenarnya mozaik dari beberapa kerajaan kecil, dengan Todo, Cibal, dan Bajo sebagai yang paling menonjol. Setiap kerajaan ini mencerminkan identitas kesukuan dengan warna dan coraknya sendiri.

Yang menarik, masyarakat Waerebo memiliki keyakinan kuat tentang asal-usul mereka. "Nenek moyang kami berasal dari Minangkabau, Sumatera," begitu jawaban mereka ketika ditanya tentang leluhur mereka. Hal ini menunjukkan keterkaitan erat dengan Kerajaan Todo. Pada era kejayaan Kerajaan Todo, Waerebo menikmati status istimewa sebagai wilayah otonom yang langsung berada di bawah kekuasaan sang raja. Keistimewaan ini diberikan karena Waerebo dipercaya memegang mandat khusus dari raja sebagai penyimpan dan penjaga berbagai pusaka kerajaan.  Menurut cerita turun-temurun, nenek moyang mereka, Empo Maro, pertama kali mendarat di Flores di daerah Warloka, pesisir sebelah selatan Labuan Bajo. Setelah itu, mereka hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan, gunung ke gunung,  sebelum akhirnya menetap di lokasi Waerebo yang sekarang. Menurut perhitungan mereka, generasi saat ini adalah generasi ke-19 atau ke-20 sejak kedatangan pertama di Flores. 


Kampung Waerebo tersembunyi dibalik puncak-puncak gunung (atas), masyarakat Waerebo yang mereka akui sendiri dahulu berasal dari Minangkabau Sumatera (bawah)


Mbaru Niang, demikianlah panggilan bagi rumah-rumah kerucut megah di Waerebo. Mbaru, yang berarti rumah, dan niang, yang bermakna tinggi dan bulat. Setiap niang memiliki namanya sendiri, seolah-olah mereka adalah pribadi-pribadi yang hidup, bernapas, dan bercerita. Niang Gendang, sang pemimpin, berdiri dengan gagah, berdiameter 14 meter, sementara Niang Gena Pirung, Gena Jitam, Gena Maro, Gena Mandok, Gena Jengkong, dan Gena Ndorom mengelilinginya dengan lantai-lantai berukuran 11 meter, bagai pengawal setia yang menjaga harmoni.

Membangun niang bukanlah pekerjaan sederhana. Namun, masyarakat Waerebo, dengan keterampilan yang seolah turun dari langit, mampu menciptakan mahakarya ini dengan penuh ketelitian dan kebanggaan. Tujuh niang yang menjulang tinggi itu bukan sekadar bangunan, melainkan cerminan dari kepercayaan leluhur yang mendalam. Mereka adalah simbol penghormatan kepada tujuh arah puncak gunung yang mengelilingi kampung Waerebo. Puncak-puncak itu diyakini sebagai penjaga kemakmuran, pelindung yang tak terlihat namun selalu hadir, mengawasi  kehidupan di kampung ini.

Material niang sungguh kaya, bagai harta karun yang diwariskan alam. Pernah saya hitung, setidaknya ada enam belas jenis kayu yang digunakan, masing-masing membawa peran dan ceritanya sendiri. Kayu worok dan maras, yang keras dan kokoh, menjadi tiang utama dan tiang tepi, bagai tulang punggung yang menopang tubuh niang. Rukus, uwu, ntorang, wuhar, moak, berkebo, wojang, dan hewang, kayu-kayu yang keras itu menjadi balok dan penyangga, saling menguatkan dalam kesatuan yang harmonis. Kenti, kayu yang lentur namun tak mudah patah, membentuk rangka melingkar, seolah melukiskan keanggunan dalam keluwesannya. Ajang, kayu yang menjadi lantai, menopang setiap langkah dan Natu, kayu yang sederhana namun tegas, membentuk dinding yang melindungi.

Tak cukup sampai di situ, bambu hadir sebagai rangka yang ringan namun kuat, sementara rotan, dengan kelenturannya, menjadi pengikat yang setia. Ijuk dan alang-alang, yang dirajut dengan penuh kesabaran, menjadi atap yang melindungi dari terik matahari dan hujan. Meski menjulang tinggi, konstruksi niang tak goyah. Pernah suatu kali, ketika hujan dan angin kencang menerpa, saya berada di dalam niang. Tak ada goncangan yang saya rasakan, hanya suara pelan "krek-krek-krek" yang terdengar, seolah niang sedang berbicara, menenangkan, dan menunjukkan kekuatannya. Bunyi itu adalah nyanyian niang, tanda bahwa ia sedang bekerja, menahan serbuan angin dengan keteguhan yang tak tergoyahkan.


Bagian dalam niang bagai sebuah dunia yang terbagi dalam lapisan-lapisan ruang, masing-masing memiliki makna dan fungsinya sendiri. Di lantai dasar, yang disebut 'tenda', kehidupan sehari-hari berdenyut. Di sini, enam hingga delapan keluarga tinggal bersama, kamar-kamar mereka tersusun melingkar, bagai lingkaran kehidupan yang saling menguatkan. Sebagian kecil ruang disisihkan untuk menerima tamu, dekat pintu masuk, tempat di mana cerita-cerita dari luar kampung disambut dengan hangat. Bagian tengah, ruang terluas difungsikan sebagai hapo, perapian yang menjadi jantung niang. Di sinilah api menyala, menghangatkan tubuh dan jiwa, tempat memasak dan makan bersama, di mana asap membumbung ke atas, meresap ke dalam atap, sekaligus menjadi penjaga yang tak terlihat. Asap itu, selain mengusir serangga pengebor kayu yang bisa merusak, juga menjadi simbol kehidupan yang terus mengalir, dari dalam niang menuju langit luas.

Pembagian ruang dalam niang tidak hanya horizontal, melainkan juga vertikal, seolah-olah menggambarkan hierarki kehidupan dan kepercayaan. Di atas tenda, ada 'lobo', ruang penyimpanan untuk barang dan bahan makanan, tempat di mana kebutuhan sehari-hari disimpan dengan rapi. Naik lagi, ada 'lentar', ruang yang diperuntukkan bagi benih-benih tanaman, simbol harapan dan kelangsungan hidup. Di atasnya lagi, 'lempa rae' menjadi gudang cadangan makanan, persiapan untuk masa-masa sulit yang mungkin datang. Dan di tingkat paling atas, 'hekang code', ruang suci yang disediakan untuk sesajian kepada leluhur. 


Ada masa niang-niang ini mengalami kerusakan parah, sebagian bahkan roboh,  akibat masyarakat kesulitan pembiayaan untuk merawatnya. Namun kini tujuh niang bangkit kembali berdiri megah dan kokoh. Terima kasih kepada para donatur dan pencinta waerebo yang telah mendukung upaya merenovasi bangunan warisan leluhur ini. 


Niang, dari luar maupun dari dalam, selalu membuat saya tidak mampu berhenti mengagumi. Bagaimana mungkin, di masa ketika kehidupan masih begitu sederhana, ketika teknologi belum secanggih sekarang, orang-orang ini mampu menciptakan mahakarya semacam ini? Apakah di balik kesederhanaan itu tersembunyi sebuah peradaban yang telah maju, yang telah mengajarkan rahasia pembangunan niang kepada mereka? Ataukah ini adalah hasil dari upaya kolektif yang melintasi waktu, sebuah proses panjang di mana setiap generasi belajar dari kesalahan, menyempurnakan rancangan, dan mengasah teknik, sedikit demi sedikit, hingga terciptalah niang yang begitu memukau ini?

Di sini, di balik kerucut-kerucut niang yang menjulang, tersimpan sebuah misteri: apakah ini warisan dari masa lalu yang telah hilang, ataukah hasil dari kerja keras dan kebijaksanaan yang terus-menerus diperbarui? Apapun jawabannya, niang tetap menjadi saksi bisu dari kejeniusan manusia, dari kemampuannya untuk beradaptasi, belajar, dan menciptakan keindahan yang tak lekang oleh waktu.

Mbaru Niang berbentuk kerucut, tinggi dan kokoh (paling atas dan atas), pemasangan atap dari ijuk dan alang-alang (bawah), serta asap di pagi hari dari niang menunjukkan kehidupan di dalamnya (paling bawah). 

Apakah mudah untuk mencapai Waerebo yang tersembunyi? Awalnya, perjalanan ini adalah sebuah tantangan yang menguji kesabaran dan ketahanan. Dari Labuan Bajo, gerbang utama Pulau Flores, kita harus berkendaraan, menembus jalan-jalan berliku yang bisa berubah-ubah kondisinya.  Pertama kali saya menjejakkan kaki ke sana, rute yang saya tempuh adalah melalui Pela, lalu meliuk ke Todo melalui Narang, dihiasi barisan pohon kemiri yang menjulang bak penjaga zaman, sebelum tiba di daerah pesisir bernama Dinthor. Jalanan aspal sebagian rusak, bergelombang, dan penuh lubang, benar-benar mengocok perut dan menguras energi. Perjalanan bisa membengkak menjadi 7-8 jam.  

Beberapa waktu setelahnya saya mencoba sebuah jalur lain yang lebih ramah, lebih memikat: melalui kota Ruteng. Dari sini, perjalanan menembus hutan-hutan lebat, melintasi puncak Golo Lusang, sebelum menurun  ke hamparan persawahan hijau di Iteng, dan akhirnya tiba di Dinthor. Rute ini, meski tetap menantang, hanya memakan waktu 4-5 jam menggunakan mobil. 

Belakangan, muncul lagi sebuah rute baru, yang seperti hadiah dari laut: dari Lembor, melalui Nangalili, menyusuri pesisir Laut Sawu yang biru memesona. Hanya 4 jam dari Labuan Bajo, rute ini menawarkan pemandangan terbaik, seolah alam sedang memamerkan keindahannya yang paling memukau sebelum kita tiba di Dinthor. Terakhir saya mengunjungi Waerebo pada tahun 2023, dan kali ini, saya memilih kembali ke rute Pela-Todo. Jalan yang dulu rusak dan menguji kesabaran, kini telah berubah mulus, memangkas waktu perjalanan menjadi hanya 5-6 jam. Sayangnya, dua rute favorit saya yang lain—melalui Ruteng dan Nangalili—kini telah hancur. 

Jalan di Iteng dengan pemandangan hamparan persawahan (atas), rute pesisir selatan menyusuri Laut Sawu (tengah), dan deretan gunung tempat Waerebo berada terlihat jelas dari Dinthor (bawah)

Kampung kecil bermana Dinthor adalah daerah pesisir terdekat menuju Waerebo.  Dahulu, untuk mencapai Waerebo, orang-orang harus berjalan kaki dari Dinthor, menempuh perjalanan yang memakan waktu hingga 6 jam.  Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di sana, jalan aspal sudah merangkak lebih jauh ke dalam, melampaui Dinthor, hingga ke kampung Denge. Namun, dari sini, perjalanan belum berakhir. Jalan batu koral yang sudah hancur lebur harus dilalui sebelum mencapai batas hutan. Perjalanan kaki yang melelahkan, yang bisa memakan waktu hingga 4 jam, sebelum akhirnya Waerebo menampakkan diri.  


Kini, kendaraan sudah bisa melaju hingga ke batas hutan, di suatu tempat bernama Wae Lomba. Di sini, sungai kecil mengalir dengan tenang, seolah menjadi saksi bisu dari sejarah panjang pertemuan antara dua dunia: orang Waerebo yang hidup di  gunung, dan orang pesisir yang hidup di tepi laut. Dahulu, Wae Lomba adalah titik pertemuan untuk perdagangan, di mana hasil hutan dan kebun dari gunung ditukar dengan garam, ikan, dan beras dari pesisir. Sebuah pertukaran yang bukan hanya tentang barang, tetapi juga tentang cerita, tentang hidup yang saling melengkapi. Dari Wae Lomba, perjalanan berlanjut dengan jalan setapak yang mendaki, menembus hutan yang masih lebat. Dua jam lamanya, langkah demi langkah, kita diajak untuk merasakan denyut alam, untuk mendengar bisikan angin, gemuruh air sungai di lembah, suara burung dan terkadang belaian kabut tebal. Dan akhirnya, setelah semua lelah terbayar, Waerebo pun menyambut kita dengan keheningan yang memikat. 

Aliran sungai di Wae Lomba (paling atas), jalan setapak tanah dalam hutan yang kini berganti dengan perkerasan batu (atas), pemandangan dari Poco Roko titik tertinggi di jalan setapak ke arah pantai (bawah), dan suasana berkabut yang kadang menemani perjalanan (paling bawah) 

Tidak selamanya jalur menuju Waerebo bersahabat. Ada kalanya alam menunjukkan keganasannya, terutama pada bulan Juni, serta di penghujung dan awal tahun, ketika hujan turun deras, kadang disertai badai yang mengamuk tak kenal ampun. Ketika badai terlalu dahsyat, lereng-lereng di sepanjang hutan pun tak kuasa menahan beban, dan longsor pun terjadi di mana-mana. Saya pernah merasakan betapa tak terduganya kekuatan alam ini pad Juni 2013. Sehari sebelum kami berencana mendaki hutan menuju Waerebo, badai menerjang dengan ganas. Keesokan harinya, ketika kami berjalan dari Wae Lomba, pemandangan yang kami temui sungguh memilukan. Longsor terjadi di banyak tempat, menghancurkan jalan setapak yang biasa dilalui. Saya dan tim harus berjalan dengan ekstra hati-hati, melintasi tanah yang rapuh, terkadang bahkan harus merayap di dinding tanah yang licin dan berbahaya. Sebelum tiba di Waerebo, kami terhadang oleh sebuah longsoran besar yang menghilangkan jalan setapak sama sekali. Kami terpaksa merayap turun dan naik, mencari-cari jalan setapak yang masih tersisa. Alam, ketika mengamuk, sungguh tak kenal kompromi. Mungkin ini adalah bagian dari siklusnya, cara alam membersihkan diri, mengingatkan kita betapa kecilnya manusia di hadapannya.

Awan gelap menaungi Waerebo bisa terlihat jelas dari Dinthor tanda ada badai besar (paling atas), perbaikan jalan longsor oleh masyarakat Waerebo dengan menyingkirkan tanah dan mengikis tebing (atas) serta pembuatan jembatan bambu (bawah), dan jembatan bambu tersebut masih dalam kondisi layak setelah lebih dari 3 tahun meskipun kini sudah tidak dipakai karena telah dibuat jalur lain (paling bawah). 
Foto atas dan bawah oleh : Sidiq Pambudi

Namun, yang lebih menakjubkan lagi adalah bagaimana masyarakat Waerebo merespons bencana ini. Malam itu, setelah mendengar cerita kami, mereka segera mengadakan rapat untuk menyikapi longsor yang terjadi. Keesokan harinya, sebagian warga lelaki kampung berangkat. Satu tim berangkat dari Kampung Waerebo, sementara yang lain dari Kampung Kombo, sebelum Denge, yang merupakan tempat tinggal lain orang waerebo. Mereka membagi tugas, memperbaiki jalur yang rusak, kelompok dari Kombo memperbaiki dari Wae Lomba hingga separuh rute dan kelompok lainnya menyapu dari Waerebo. Tim dari Waerebo memiliki tugas yang lebih berat, karena mereka tidak hanya harus memperbaiki jalur yang longsor, tetapi juga membangun jembatan untuk menghubungkan jalur yang terputus.

Dan inilah yang membuat saya terkagum-kagum: hanya dalam waktu satu hari, mereka berhasil menyelesaikan pembuatan jembatan dari bambu sepanjang kurang lebih 15 meter. Kecepatan dan ketangkasan mereka dalam menghadapi bencana, serta kerja sama yang begitu solid, sungguh menginspirasi. Orang-orang Waerebo, dengan segala kesederhanaan dan kebijaksanaan mereka, mengajarkan kita tentang arti ketahanan dan kebersamaan. Mereka adalah bukti nyata bahwa, meski alam bisa mengamuk dengan dahsyat, manusia yang bersatu dan bergotong royong akan selalu menemukan cara untuk bertahan, bahkan melampaui segala rintangan.

-bersambung ke bagian 2-


Comments