Singkil yang Terlupakan

Pesisir Barat Pulau Sumatera adalah tempat yang terlupakan. Padahal di sinilah kontak pertama orang luar dengan Nusantara terjadi, cikal bakal perdagangan dengan dunia luar. Kota-kota seperti Natal, Sibolga, Barus dan Singkil  pernah menjadi pusat-pusat gemilang yang menghubungkan Nusantara dengan dunia luar.

Pusat perdagangan tertua di Barus diperkirangan sudah berkembang sejak abad 1, jauh sebelum kerajaan Sriwijaya berdiri. Posisi pesisir barat berhadapan dengan Laut Andaman yang menyambung ke India membuka peluang pedagang-pedagang untuk berdatangan dari arah barat  mencari harta karun dunia timur yaitu Kapur Barus (Kamper). Bahkan, jejak Kapur Barus ditemukan dalam pengawetan mumi-mumi Mesir Kuno, mengisyaratkan bahwa komoditas ini telah diperdagangkan sejak ribuan tahun yang lalu. 

Namun belakangan ini Barus diyakini lebih sebagai lokasi pusat ekspor, sedangkan sumber utama Kapur Barus sendiri berada di tempat lain. Pohon-pohon besar, disebut dengan nama Kapur, adalah asal barus dihasilkan dari getahnya yang disadap. Kurang lebih 200 kilometer menyusuri pantai ke utara, terdapat kawasan hutan luas dengan pohon-pohon kapur menjulang. Tempat yang dikenal dengan nama Singkil. Di sinilah getah kapur barus mengalir keluar, menggerakan roda ekonomi, membangun kerajaan-kerajaan, memunculkan tokoh-tokoh legendaris. Sampai akhirnya bencana alam dahsyat -gempa dan tsunami-, perang berkepanjangan dan perpindahan pusat perdagangan ke pantai timur Sumatera, perlahan meredupkan kegemilangan pesisir pantai barat termasuk Singkil, menyisakan kisah-kisah yang hampir terlupakan. 

Saya berkesempatan mengunjungi Singkil beberapa kali, dalam rentang waktu yang cukup jauh. Pertama kali, saya menjejakkan kaki di sana pada tahun 2003, di tengah konflik antara pemerintah Indonesia dan Aceh, ketika ketegangan masih terasa di setiap sudut. Kemudian, terakhir pada 2019, saat perdamaian telah menyelimuti daerah ini, membawa suasana yang jauh lebih tenang.

Meski setiap kunjungan saya singkat, tak cukup lama untuk benar-benar menyelami kehidupan sehari-hari masyarakatnya, saya selalu berusaha mencari jejak-jejak peradaban yang tersisa. Di antara lanskap yang sunyi dan sejarah yang terpendam, saya membayangkan masa lalu Singkil yang penuh kejayaan—saat kapal-kapal pedagang bersandar, ketika Kapur Barus menjadi komoditas berharga, dan kerajaan-kerajaan kecil berjaya di pesisir barat Sumatera.

Sungai Alas di Singkil sebelum bersatu dengan Samudra Hindia

Sungai Alas dan Peradaban

Setelah melewati daerah orang-orang Pakpak di Sumatera Utara, saya memasuki kawasan Singkil, yang terletak di Provinsi Aceh. Salah satu pemandangan pertama yang menyapa adalah sebuah danau besar yang dikenal dengan nama Anak Laut. Namun, bukan ini yang benar-benar menarik perhatian saya. Suatu sungai besar dan lebar  lebih mencuri pandangan saya. Masyarakat setempat menyebutnya Sungai Singkil, atau lebih dikenal dengan nama Alas.

Sungai ini berasal dari Gunung Leuser di bagian tengah Aceh, mengalir membelah hutan-hutan lebat, dan membentang sepanjang lebih dari 260 kilometer sebelum akhirnya bermuara ke Samudra Hindia di Singkil. Di seberang sungai, terlihat dataran hijau yang konon dulunya merupakan pusat sebuah kerajaan kuno yang kini telah hilang, tersapu oleh gelombang tsunami. Sungai Alas adalah saksi bisu dari bencana ini yang diperkirakan terjadi pada tahun 1394 dan 1450. Jejak-jejak tsunami purba ini ditemukan oleh para ahli geologi dalam bentuk lapisan sedimen di sepanjang pesisir barat Sumatera, termasuk di kawasan Singkil. Masyarakat setempat mengenal bencana ini dengan nama geloro, yang berarti ombak besar yang datang tanpa peringatan. Tsunami ini berperan besar dalam pergeseran jalur perdagangan dari pesisir barat ke pesisir timur Sumatera, ke Pasai dan Malaka.

Keberadaan Kerajaan Singkil Kuno pertama kali disebutkan dalam catatan penjelajah Portugis Tome Pires pada abad ke-16. Beberapa peneliti bahkan meyakini bahwa kerajaan ini sudah ada sejak abad ke-7. Kawasan di seberang sungai yang kini dikenal dengan nama Singkil Lama, sedangkan kota Singkil yang sekarang disebut Singkil Baru. 

Makam Syekh Abdul Rauf as-Singkili (atas) dan penyair mistis Hamzah Fansuri (bawah) di tepi Sungai Alas

Dua Tokoh Sufi 

Suatu bangunan dengan kubah kecil di tepian Sungai Alas di Kampung Kilangan Singkil, menarik perhatian saya. Sekilas saya pikir sebuah musholla sederhana, namun ternyata pada papan nama tertera bahwa di sini adalah Makam Syekh Abdulrauf as Singkili. Nama itu bukan sekadar nama. Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah ulama besar, sufi, dan cendekiawan Muslim terkemuka pada abad ke-17. Lahir di tanah Singkil, ia menjadi sosok penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, menjembatani keilmuan Islam dari Timur Tengah dengan tradisi keislaman di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai pendiri Tarekat Syattariyah di Indonesia, salah satu tarekat paling berpengaruh yang membentuk perkembangan spiritual Islam di kawasan ini. Pencapaiannya yang luar biasa adalah menjadi ulama pertama yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu, membuka akses pemahaman agama yang lebih luas bagi masyarakat lokal.

Belakangan, saya baru menyadari bahwa Sungai Alas  juga menyimpan jejak  sufi besar lainnya. Menelusuri sungai ini ke arah utara, sekitar 90 kilometer dari Singkil, terdapat makam Hamzah Fansuri, seorang ulama, penyair, dan sufi terkemuka dari Aceh yang hidup pada abad ke-16.

Di tepian sungai yang sama, di mana alam bersenandung dalam gemercik air dan bisikan angin, Hamzah Fansuri dimakamkan. Ia adalah sosok yang tidak hanya mendalami tasawuf, tetapi juga merangkai ajaran mistisisme Islam dalam untaian syair yang indah. Karyanya yang kaya makna menjadikannya pelopor sastra sufi Melayu, menginspirasi banyak penyair setelahnya. Dalam dunia sastra dan spiritualitas Islam di Nusantara, ia anggap sebagai bapak sastra Melayu-Islam. 

Dua tokoh besar dimakamkan di tepian Sungai Alas, meskipun hingga kini masih ada perbedaan pandangan di masyarakat tentang keabsahan lokasi makam mereka. Beberapa orang meyakini bahwa makam  keduanya berada di tempat lain, menciptakan misteri yang terus hidup dalam ingatan kolektif. 

Saat mengunjungi kedua tempat ini, saya termenung. Imajinasi saya melayang jauh ke masa lalu, membayangkan Sungai Alas yang lebih lebar, dikelilingi oleh hutan lebat, dengan jejak manusia yang masih jarang. Di tepiannya, dua sosok ini pernah menapakkan kaki, meninggalkan jejak spiritual yang hingga kini masih dikenang.

Bagi para pengikutnya, dua makam ini lebih dari sekadar tempat peristirahatan terakhir—mereka adalah simbol warisan intelektual dan spiritual yang tak ternilai. Bagi masyarakat umum, pasti ada kisah-kisah menarik yang menunggu untuk diceritakan. Tidakkah kedua makam ini mencerminkan nilai sejarah yang dikandungnya? Seharusnya, tempat ini bisa lebih tertata, lebih rapi, lebih bersih—sebuah penghormatan yang layak bagi warisan besar yang mereka tinggalkan.

Rawa Singkil, pusat keanekaragaman hayati di Kawasan Singkil

Rawa Penyaring Air 

Setiap kali berkunjung ke Singkil, saya selalu menyempatkan diri berperahu menyusuri daerah rawa-rawa. Ada sesuatu yang magis di sana—suatu dunia yang terasa berbeda, liar, dan penuh kehidupan. Saya masih mengingat dengan jelas pertama kali memasuki kawasan ini: pohon-pohon besar berdiri kokoh di tepian, mencerminkan bayangannya di air yang tenang, sementara sekawanan rangkong hitam melintas rendah, mengepakkan sayapnya dengan megah. Setelah itu, hamparan terbuka yang luas menyambut sebelum akhirnya perahu kembali menyelinap ke dalam kegelapan hutan.

Rawa-rawa ini sejatinya adalah hutan gambut, yang merupakan bagian terbesar dari wilayah Singkil. Hingga tahun 1992, Rawa Singkil tercatat sebagai kawasan hutan rawa gambut terakhir di pantai barat Sumatera yang masih utuh, dengan luas sekitar 80.000an hektar (BKSDA, 2018). Secara geologi, terbentuknya Rawa Singkil memiliki kisah panjang yang berakar dari salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah bumi—Letusan Gunung Toba sekitar 75.000 tahun lalu. Material letusan yang dahsyat ini menghalangi aliran Sungai Alas, memaksanya berbelok menuju Samudra Hindia, sambil membawa serta endapan vulkanik yang akhirnya membentuk ekosistem rawa yang kita kenal sekarang (Yayasan Leuser International, 1995).

Beberapa peneliti mengibaratkan Rawa Singkil sebagai "ginjal" dari hutan yang sangat luas, di Kawasan Ekosistem Leuser. Seperti organ vital dalam tubuh, rawa ini berperan sebagai penyaring alami, di mana air merembes perlahan melalui lapisan gambut sebelum mengalir ke laut. Air yang telah tersaring ini kaya akan unsur hara, menyuburkan perairan lepas pantai dan menjadikan laut di sekitar pesisir barat Singkil sebagai surga bagi biota laut. Tak heran, perairan ini menghasilkan tangkapan ikan laut yang mencapai 360.000 ton per tahun, menjadi sumber penghidupan utama bagi banyak nelayan di wilayah ini.

Lebih dari itu, hutan rawa gambut di SM Rawa Singkil adalah rumah bagi berbagai jenis pohon yang menjadi sumber pakan orangutan Sumatera. Keanekaragaman hayati di kawasan ini membuatnya menjadi habitat dengan kepadatan populasi orangutan tertinggi di seluruh Sumatera. Tak hanya orangutan, rawa ini juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis ikan air tawar, menjadikannya sumber kehidupan penting bagi masyarakat lokal yang bergantung pada hasil alam.

Tumbuhan bakung, pertahanan Rawa Singkil yang sulit ditembus (atas), Orang utan yang sedang mencari makan (tengah), musim anggrek pensil (Vanda hookerinia) di rawa. 

Setiap kali menjelajahi rawa dengan perahu kecil bermotor, baik melalui jalur Ulububu atau Lae Trep, saya selalu gagal menembus lebih jauh. Barisan tumbuhan bakung yang mengapung seperti benteng kokoh, menutup aliran sungai, sulit untuk ditembus. Rawa ini, seakan, belum siap membagikan keindahan dan misterinya kepada orang luar, hanya para nelayan lokal para penangkap limbek, sejenis lele rawa, yang tahu bagaimana menghadapinya. 

Laut indah (atas), mangrove berair jernih (tengah) dan pantai pasir putih (bawah) di Pulau Banyak

Surga Tersembunyi

Lepas dari mulut Sungai Alas terhampar Samudra Hindia, terbentang laut sejauh 25-30 kilometer, sebelum bertemu dengan pulau-pulau kecil. Tempat ini disebut dengan Pulau (Kepulauan) Banyak, terkenal di kalangan para peselancar asing.  Kepulauan ini terdiri dari lebih dari 60 pulau kecil, meskipun hanya sekitar 20 pulau yang berpenghuni.  Pulau-Pulau ini merupakan bagian dari rangkaian pulau di bagian barat Sumatera berupa Simelue, Nias, Siberut dan Enggano. 

Keindahan Pulau Banyak memukau, pantai berpasir putih, air laut jernih, terumbu karang yang indah, dan kehidupan bawah laut yang kaya. Dua pulau terbesarnya yaitu Tuangku dengan hamparan hutan di bagian tengah dan Bangkaru tempat penyu hijau dan belimbing bertelur. Awalnya pulau ini banyak didatangi wisatawan manca negara untuk berselancar. Posisinya di Samudra Hindia membangkitkan ombak besar pada beberapa tempat yang ideal untuk selancar. Ketika penyeberangan dari daratan Singkil ke Pulau Banyak semakin lancar, penginapan bermunculan dan kini pulau ini lebih sering didatangi wisatawan lokal. Mengingat begitu banyaknya pulau, masih banyak tempat-tempat indah tersembunyi yang menunggu ditemukan.  

Pulang menangkap ikan (atas) dan menjemur potongan daun nipah untuk rokok (bawah)

Menjaring ikan di Kuala Baru (atas), pasar lokal di kota Singkil (tengah) dan lele rawa yang telah diasap.

Keragaman budaya masyarakat penghuni Singkil

Orang Singkil

'Kami orang Singkil', begitulah kalimat yang kerap saya dengar. Bahasa yang mereka gunakan memang benar-benar beda  dengan bahasa Aceh, menandakan kekayaan budaya yang unik. Jauh sebelum itu kawasan Singkil  telah menjadi titik pertemuan berbagai etnis sejak berabad-abad silam,   apalagi sejak abad ke 16 ketika berbagai suku di Sumatera dan para pedagang dari India, Arab dan China bertransaksi di sini. Menurut Al-Fairusy dan Abdullah (2020), Singkil dihuni dua kelompok besar: daerah pesisir dan daerah hulu. Pada pesisir dan pulau-pulau kecil pengaruh Suku Minang Sumatera Barat  sangat terasa dengan bahasa yang digunakan perpaduan antara Melayu-Minang. Sedangkan daerah hulu, terutama di sepanjang sungai Alas, bahasa yang dipakai memiliki kemiripan dengan Suku Pakpak dari kawasan Tapanuli.

Kehidupan masyarakat pesisir mayoritas bergantung pada laut, dengan nelayan sebagai profesi utama.  Sementara kehidupan di hulu juga tidak lepas dari sungai baik untuk  menangkap ikan atau mencari lokan (sejenis kerang), juga berkebun dan mencari madu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Singkil , saya masih menyaksikan langsung orang-orang yang memproses sagu diambil dari pohon-pohon sagu yang tumbuh subur di tepian anak-anak Sungai Alas. 

Ketenangan dan keasrian Kampung Kuala Baru di masa lalu (2003)

Tidak Ada yang Abadi 

Saat pertama kali memandang kampung Kuala Baru pada tahun 2003, saya terkesima. Deretan rumah-rumah tradisional kayu berjajar rapi dibelah jalan tanah berpasir, dipagari pohon-pohon kweni. Semua memancarkan kesederhanaan memikat, keasrian menyejukkan dan ketenangan mendamaikan. Kendaraan bermotor hampir tidak ada yang lalu lalang, sampai-sampai ada wisatawan asing yang menjuluki Kuala Baru sebagai tempat tanpa mobil dan bensin (without car and oil).  Tahun 2007, suasana itu masih bertahan meskipun perlahan sepeda motor sudah mulai melintas. Namun ketika datang kembali di tahun 2019, semua tinggal kenangan. Pemandangan kampung telah berubah total. Sepertinya keasrian dan ketenangan yang dulu begitu mencolok, kini seolah sulit ditemukan. 

Perubahan tidak hanya terjadi di Kuala Baru. Tiang-tiang beton berdiri kokoh berderet di Sungai Alas, siap menompang jembatan yang menghubungkan Singkil Lama dan Singkil Baru (mungkin sekarang sudah beroperasi). Mobil Colt L300 bertulisan 'Pulau Banyak' yang dulu sering mondar-mandir antara Medan-Singkil mengangkut para peselancar mancanegara, sudah hilang.  Jalan tempat rumah-rumah kayu banyak ditemukan yang mana saya menginap di sana, kini sudah di dasar air akibat gempa besar tahun 2005. Beberapa pulau ikut tenggelam tetapi sekarang Pulau Banyak ramai wisatawan dengan munculnya penginapan-penginapan. Wilayah rawa mungkin masih terlihat sama, namun banyak cerita semakin sering aktifitas manusia di dalam hutan. 

Tentu perubahan ini harus disikapi dengan bijaksana dan positif, karena bagaimanapun jaman terus bergulir dan kebutuhan masyarakat pun turut berganti. Beberapa perubahan memang mempermudah kehidupan masyarakat dan mendongkrak perekonomian lokal. Namun dibalik itu ada perubahan terasa pahit bagi saya. Setiap kali mengunjungi Singkil, saya selalu berusaha berusaha mencari keberadaan pohon kapur. dan setiap kali pula, upaya ini berakhir dengan kekecewaan. Pohon ini semakin sulit ditemukan, padahal  inilah yang dahulu membuat Singkil terhubung dengan jaringan perdagangan global sejak awal masehi, bahkan mungkin sebelumnya. Penemuan terbaru  menunjukkan bahwa penggunaan kapur barus dalam proses mumifikasi di Mesir Kuno telah berlangsung sejak 600 tahun sebelum masehi. Diperkirakan eksploitasi hutan sejak tahun 1980an berkontribusi terhadap kelangkaan pohon ini. Kehilangan Pohon Barus bukan hanya kehilangan satu jenis mahluk hidup, tetapi juga sebagian sejarah dan identitas Singkil yang pernah berjaya. 

Demikian pula dengan jejak perdagangan kuno di Singkil, peradaban Pesisir Barat Sumatera, dan para tokoh sufi yang pernah menghiasi tanah ini. Seiring dengan berjalannya waktu, kisah-kisah itu makin sayup, perlahan menghilang ditelan jaman. Seolah tinggal menunggu waktu sebelum semuanya benar-benar menjadi kenangan yang terlupakan.  

Comments