Larut di Waerebo-Bagian 2 ALAM

Kampung Wae Rebo bersembunyi di atas teras landai yang seakan menjadi titian antara langit dan bumi. Di sekelilingnya, lereng-lereng curam menjulang bak penjaga abadi, menciptakan benteng alam yang tak mudah ditembus. Di barat dan utara, tebing-tebing terjal yang tak beraturan mengukir wajah pegunungan dengan garis-garis keras. Sementara di timur, tanah tiba-tiba terjun bebas, menghujam curam ke dasar lembah tempat Sungai Wae Rebo mengalir dengan deras, seakan menjadi cermin yang memantulkan kembali bayangan dinding-dinding gunung yang tegak menjulang setelah. Celah antara gunung di sisi selatan memberi jalan untuk menembus ke teras ini.  

Dinding di sisi timur Kampung Waerebo dipisahkan oleh jurang yang dalam dengan didasarnya mengalir sungai.

Sungai itu, yang menyimpan nama yang sama dengan kampung ini, menjadi urat nadi kehidupan. Airnya dipasok oleh aliran-aliran kecil yang turun dari lereng-lereng gunung, membawa serta cerita-cerita dari ketinggian. Di dasar sungai, gelondongan batu-batu raksasa berserakan, seolah menjadi peninggalan dari suatu masa ketika bumi masih bergolak. Dan sumber air panas muncul, mengisyaratkan kemungkinan adanya aktivitas vulkanik yang pernah menggelegar di masa silam. 

Sungai Waerebo terletak di dasar lembah yang dalam (atas), batu sebesar rumah di tepi sungai (tengah) dan air terjun Cunca Newen (bawah)

Jalan menuju Waerebo adalah sebuah perjalanan yang mengajak kita untuk menyelami keheningan sekaligus keramaian alam yang masih asli. Melewati hutan lindung yang lebat, vegetasi hijau menyelimuti setiap jengkal tanah. Walaupun hanya sebagian hutan ini masih berupa hutan primer, tak tersentuh, tak terganggu sejak dahulu, di sana, pohon-pohon asli tegak berdiri dengan megah, seolah menjadi penjaga abadi: moak (Dacrycarpus imbricatus) dan  Rukus (Adinandra javanicayang keras, Natu (Planchonella firma) yang lembut, Worok (Dysoxylum nutans) yang kokoh, dan Pinis (Podocarpus amarus) yang megah. Mereka bersanding dengan jenis-jenis pohon khas pegunungan lainnya, seperti Kenti (Leptospermum flavescens) yang lentur, Rentigi (Vaccinium timorensis) yang menyala, dan Mpuing (Decaspermum fruticosum) yang menyegarkan. Pada musim hujan beberapa jenis anggrek bermekaran baik di dalam hutan maupun semak belukar terbuka. 

Anggrek Calanthe sylvatica, umum bermekaran di tepi jalan setapak antara Poco Roko ke Kampung Waerebo (atas) dan hamparan tumbuhan pandan di daerah Poco Roko (bawah).

Di tengah keheningan hutan, nyanyian burung menjadi orkestra alam yang tak pernah padam. Terutama di pagi hari, atau setelah hujan reda, suara-suara itu mengisi udara dengan harmoni yang memesona. Burung Kokak (Philemon buceroides) dengan panggilannya yang khas, seolah menjadi penanda bahwa hari mulai merangkak menuju senja. Sisiak (Dicrurus densus) yang berisik, Ngkeling (Trichoglossus haematodus) yang datang bersama kabut, Kancilan (Pachycephala pectoralis) yang bersahaja, Ngkor (Caridonax fulgidus) yang senyap, Sepah (Pericrocotus lansbergei) yang lincah, dan Liok (Edolisoma dohertyi) yang parau, saling bersahutan, menciptakan suasana yang ramai. Namun, di antara semua kicauan itu, tak ada yang mampu menandingi keindahan suara burung Nkiong (Pachycephala nudigula). Suaranya merdu, lantang, dan bervariasi, seolah menjadi penghibur sekaligus penenang bagi siapa pun yang mendengarnya. Ia adalah maestro di tengah simfoni alam, membawa kita pada sebuah pengalaman yang tak terlupakan. 

Burung Nkiong, raja penyanyi di Flores (atas) dan Nkeling, paruh bengkok yang sering terbang bersama kabut (bawah). 
Foto oleh: Sidiq Pambudi

Dalam hutan, binatang-binatang besar dan kecil menjalani hidup mereka dengan caranya sendiri. Babi hutan, atau oleh masyarakat setempat disebut Motang (Sus celebensis), adalah yang terbesar di antara penghuni hutan ini. Mereka menjelajahi belantara dengan gagah, sering kali menjadi hama yang mengganggu kebun-kebun warga. Sementara itu, di relung-relung pepohonan, monyet ekor panjang atau Kode (Macaca fascicularis) dan bajing (Callosciurus notatus) bergelantungan dengan lincah, seakan menertawakan siapa pun yang mencoba mengusik mereka. Keduanya, sering dianggap hama karena suka berpesta pora di kebun masyarakat.  Di lantai hutan, wilayah yang gelap dan lembab, para penjelajah malam mengambil alih. Musang, atau Kula (Paradoxurus hermaphroditus), dengan langkahnya yang waspada, dan landak, atau Rutung (Hystrix javanica), dengan duri-durinya yang tajam, menjadi penguasa malam. Musang memiliki posisi yang sakral di hati masyarakat Waerebo. Mereka tidak boleh dibunuh,  karena menurut cerita lisan yang turun-temurun, musanglah yang pernah menyelamatkan leluhur masyarakat Waerebo dari serbuan suku-suku lain yang datang menyerang.  

Dan di antara semua penghuni hutan ini, ada satu makhluk yang paling misterius: tikus raksasa Flores, atau Betu (Papagomys armandvellei). Binatang ini adalah keturunan dari kerabat purba yang telah mendiami Flores sejak masa lalu. Kadang-kadang, satwa ini terlihat di hutan-hutan Waerebo, meski sangat sulit untuk menemukannya. Mereka hidup di lubang-lubang tanah, seolah menyembunyikan diri dari dunia luar, menjadi bagian dari misteri yang masih tersimpan rapat di dalam hutan ini. Betu ibarat penghubung antara masa lalu dan masa kini, antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat, antara manusia dan alam yang masih menyimpan begitu banyak rahasia. 

Kemunculan tanaman kopi bagai sebuah pertanda yang mengabarkan bahwa Kampung Waerebo sudah tak jauh lagi. Pohon-pohon kopi, dengan daun hijau dan dinaungi oleh pohon waek (Albizia chinensis) dan dadap (Erythrina orientalis), seolah menyambut dengan ramah, berjajar di kiri kanan jalan setapak. Namun, dahulu kala, pemandangan ini tak pernah ada. Masyarakat setempat membuka hutan untuk dijadikan ladang. Padi, jagung, dan ubi-ubian tumbuh subur di tanah yang masih perawan. Namun, setelah 5 hingga 7 tahun, tanah itu mulai kelelahan, kesuburannya merosot,  maka mereka pun berpindah, meninggalkan ladang itu untuk sementara waktu. Tanah yang ditinggalkan dibiarkan merenung, ditumbuhi semak belukar, lalu perlahan hutan  kembali menguasai. Siklus ini terus berulang dan pada suatu saat yang tepat, mereka akan kembali ke lahan pertama itu, yang kini telah menjadi hutan lagi, untuk membukanya kembali, memulai sebuah babak baru kembali. 

Ladang yang baru dibuka pada lereng gunung ditanami jagung. 

Sejak tanaman  kopi merambah masuk secara intensif, sistem berladang bergilir yang telah mengalir dalam darah masyarakat pun perlahan surut, digantikan oleh kebun-kebun kopi yang menetap. Namun, tak semua lahan terjamah. Banyak yang dibiarkan terlantar, tumbuh menjadi semak belukar atau hutan sekunder, seakan alam mencoba mengembalikan keseimbangan yang hilang. Pohon kopi arabica (Coffea arabica) mulai dikenal di sini pada tahun 80-an, membawa harapan baru. Sementara kopi robusta (Coffea robusta) telah lebih dulu hadir, sejak tahun 1956, dibawa dari Kampung Manus di Manggarai Timur. Namun, peralihan besar-besaran dari perladangan berpindah ke penanaman kopi baru benar-benar terjadi pada awal tahun 2000. Kini, kopi telah menjadi jantung kehidupan Waerebo, komoditas utama yang mengalirkan nadi ekonomi warga.

Hasil panen setiap petani beragam, ada yang menuai 500 hingga 700 kilogram per tahun dari tiga kebun seluas kurang lebih dua hektar. Biasanya, kopi arabica dipanen mulai April hingga Juni, kadang hingga akhir Agustus, sebelum giliran biji kopi robusta dipetik dari Agustus hingga November.  Kopi yang dipanen disimpan sementara dalam roto (keranjang pandan) dan langkang (keranjang bambu), baru kemudian dikumpulkan dalam karung. 



Pohon waek bertebaran menaungi tanaman-tanaman kopi (atas) dan buha kopi yang telah masak (bawah)

Suku Manggarai memiliki keunikan tersendiri dalam membagi lahan-lahan untuk berkebun. Bentuknya bukan kotak, bukan pula tak beraturan, melainkan menyerupai lingkaran yang terbagi-bagi dari titik pusatnya, seperti potongan-potongan kue yang diiris rapi. Lahan kebun berbentuk lingkaran ini disebut lingko, atau dikenal juga dengan istilah sarang laba-laba. Bentuknya terlihat jelas pada hamparan persawahan yang membentang, seakan alam dan manusia bersepakat menciptakan pola yang harmonis. Masyarakat Waerebo masih setia menerapkan sistem kebun seperti ini, baik untuk tanaman ladang di masa lalu maupun tanaman kopi di masa kini. Semua diwadahi dalam bentuk lingko, sebuah lingkaran kehidupan yang terus berputar.

Dari titik pusat yang disebut lodok, ditarik garis-garis lurus menuju batas lingkaran, membentuk irisan-irisan seperti potongan kue yang dinamakan ladang. Pembagian ladang ini ditentukan berdasarkan iuran dari para peserta, dengan ukuran yang bervariasi tergantung besarnya kontribusi masing-masing. Kewenangan pembagian ini dipegang oleh seorang ketua khusus yang menangani urusan ladang, yaitu ketua Teno. Teknis pembagian dilakukan dengan cara 2 moho, sebuah ritual sederhana namun penuh makna: dua jari diletakkan di titik pusat, lalu dari sisi dua jari itu ditarik garis dengan panjang yang bervariasi, mulai dari 70 meter, 80 meter, hingga 200 meter, sebagai jari-jari lingkaran. Batas luar lingko disebut sising, sementara perbatasan antara satu lingko dengan lingko lainnya disebut rahit. Antar ladang baru kemudian dibatasi oleh bambu yang dicincang, sebelum ditanami tumbuhan pembatas bernama Nao (Cordyline terminalis). 

Ajaibnya, sistem kebun lingko ini seolah memiliki kesamaan roh dengan rumah tradisional Waerebo, Mbaru Niang. Rumah berbentuk kerucut ini, jika direbahkan rangkanya, akan menyerupai irisan-irisan ladang yang terdapat dalam suatu lingko. Seakan menciptakan pola yang selaras antara hunian dan ladang. Biasanya, pembukaan kebun dilakukan dengan membuat lebih dari satu lingko, agar lebih banyak orang dapat berpartisipasi dalam pembagian ladang. Hal ini bukan hanya soal pembagian hasil, melainkan juga untuk meringankan biaya yang diperlukan dalam upacara peresmian kebun, yang dinamakan Randang.

Konon, alam sendirilah yang menentukan kapan suatu lingko atau kumpulan beberapa lingko harus di-Randang. Ketika titik pusat lingko ditancapkan, dan tiba-tiba muncul laba-laba (Wue) yang membuat sarang berbentuk kerucut pada ujung landuk hingga ke kayu Teno (Mellochia umbelata) yang ditancapkan pada lodok, maka Randang harus segera dilakukan. Mungkinkah sarang laba-laba berbentuk kerucut ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Waerebo dalam menciptakan bentuk Mbaru Niang dan lingko? Sebuah pertanyaan yang menggantung, seperti sarang laba-laba yang menari-nari tertiup angin.

Randang dilaksanakan dengan pengorbanan berupa penyembelihan kerbau. Jumlah kerbau yang diperlukan ditentukan oleh alam, yang disampaikan melalui mimpi. Lingko-lingko yang belum "meka" (kedatangan tamu) oleh laba-laba sudah boleh digarap setelah pembagian ladang selesai. Namun, suatu ketika, jika sang laba-laba datang, maka lingko tersebut harus segera di-Randang. Terakhir, upacara Randang dilakukan pada tahun 1991 terhadap tujuh lingko. Di Waerebo, terdapat lebih dari 20 lingko. Di sini, setiap lingko, setiap upacara, dan setiap laba-laba yang datang bukan sekadar ritual, melainkan juga dialog abadi antara manusia dan alam, antara tradisi dan kehidupan yang terus berdenyut. Waerebo, dengan lingko dan Mbaru Niang-nya, adalah sebuah kisah tentang keselarasan yang tak pernah usai.

Memasuki kampung, gonggongan anjing sering kali menyambut, seolah menjadi penanda bahwa kehidupan di sini tak pernah sepi. Sementara itu, ayam-ayam sibuk mematuk-matuk tanah di sekitar Mbaru Niang, seakan ikut serta dalam ritme keseharian yang sederhana. Anjing-anjing itu bukan sekadar penjaga, melainkan juga sahabat setia yang menemani warga berburu atau pergi ke ladang. Ayam—dengan empat variasi warna: putih (bakok), hitam (mitang), merah-hitam (sepang), dan lurik (rae)—menjadi bagian dari ekosistem kecil ini. Mereka memakan sisa makanan dan serangga, kadang juga menjadi bagian dari ritual atau hidangan saat dibutuhkan.

Anjing-anjing Waerebo berperansebagai teman dan penjaga (atas) dan pekarangan rumah biasa (niang) ditanami dengan berbagai tumbuhan bermanfaat (bawah)

Di luar kompleks Mbaru Niang, terdapat rumah-rumah biasa berbentuk persegi, lebih sederhana namun tak kalah hidup. Pekarangan rumah kebanyakan ditanami kopi, namun, ada juga yang menyisakan sedikit lahan untuk menanam beraneka tumbuhan: jeruk (Nderu) dari berbagai jenis, pisang (Muku) dengan beberapa varietas, dan markisa (Passiflora edulis) yang manis. Untuk sayuran, labu dan terung menjadi pilihan utama, sementara tanaman sumber karbohidrat seperti ubi kayu (Manihot utilissima), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Colocasia esculenta) tumbuh subur, seakan tak mau kalah dengan tanaman lainnya. Beberapa pekarangan rumah juga membudidayakan tanaman obat, seperti Lia (jahe), lanjah (lengkuas), wunis (kunyit), temu putih, dan temu hitam, seolah alam telah menyediakan apotek hidup bagi warga. 

Tak jauh dari rumah, kandang-kandang kecil berdiri, menjadi tempat bagi babi peliharaan yang turut serta dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, setiap jengkal tanah, setiap tanaman, dan setiap hewan seolah memiliki peran dalam simfoni kehidupan yang harmonis. Kampung ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sebuah ekosistem yang hidup, di mana manusia, alam, dan tradisi saling merangkul dalam keselarasan yang abadi.


Comments