Bukit Lawang, Keceriaan Tiada Habis

Ketika menjelajahi hutan tropis datarah rendah, saya memasuki daerah terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hidup. Ribuan jenis mahluk hidup berkeliaran di sini. Tumbuhan, mamalia, primata, burung, reptil, amfibi, serangga dan  masih banyak jenis lainnya. Sayangnya kebanyakan hanya peneliti atau pencinta alam sejati yang mampu menikmati keajaiban hutan tropis ini. Orang awam cuma bisa melihat jajaran warna hijau yang seragam. Lebih dari itu, hutan tipe ini bukan lingkungan ideal bagi manusia. Udara sangat lembab membuat keringat mengucur deras. Belum lagi gangguan dari binatang-binatang berbisa atau penyengat yang rata-rata berukuran kecil. Pacet penghisap darah bisa datang dari segala arah. Gerombolan semut atau tawon tanah siap menyengat jika kita salah menginjak sarangnya. Nyamuk dan tawon kecil berputar-putar mengelilingi kepala dan tubuh kita. Ular berbisa berkeliaran membuat harus ekstra waspada. Semua ini menciptakan kondisi tidak nyaman.

Sungai Bohorok mengalir membelah kawasan Bukit Lawang


Tetapi alam memang menakjubkan. Selalu saja ada bagian tertentu hutan memberi kejutan. Tertata secara alami menyajikan keindahan dan pesona untuk bisa menjadi tempat bermain menyenangkan bagi kita semua. Hutan-hutan dataran rendah di Sumatera Utara memiliki hal tersebut. Itulah sebab saya sering mendatangi daerah ini.  Di antaranya adalah Bukit Lawang, daerah hutan pertama yang berkembang menjadi tempat rekreasi. Sungai Bohorok begitu jernih mengalir membelah hutan dan berlanjut melewati kebun karet dan pemukiman. Sungai ini menjadi urat nadi kehidupan dan juga tempat bermain yang menyenangkan.  

Pagi hari di Bukit Lawang menyuguhkan pemandangan indah dai warna biru sungai berpadu dengan latar belakang hijau vegetasi

Kisah Bukit Lawang dimulai pada tahun 1973, ketika dua orang wanita dari Swiss -Regina Frey dan Monica Borner- datang ke tempat ini, merintis pendirian pusat rehabilitasi orang utan Sumatera . Orang-orang utan peliharaan atau tangkapan, dikumpulkan untuk dilatih mendapat kembali keterampilan bertahan hidup di hutan secara bertahap. Pada bagian akhir, orang utan dilepaskan kembali ke alam dan diharapkan bisa lepas sepenuhnya dari ketergantungan pemberian makan oleh manusia. Keberadaan satwa unik dan langka ini mengundang para pengunjung berdatangan. Awalnya para peneliti dan pelestari alam, kemudian berlalih ke para wisatawan. Pada akhirnya Bukit Lawang berubah menjadi daerah tujuan wisata. Para pemandu wisata bermunculan menawarkan kegiatan melihat orang utan dan trekking hutan, seiring dengan tumbuhnya fasilitas penginapan. Tumbuh pesat, pariwisata mulai menghidupkan sekaligus menyaingi kegiatan rehabilitasi orang utan. Mungkin kondisi ini lah membuat kini pusat rehabilitas ini kemudian ditutup, menghindari kontak berlebihan orang utan dengan wisatawan. Namun beberapa orang utan semi-liar masih sering berdatangan pada saat jam-jam pemberian makan pada pagi dan sore hari. Atraksi ini tetap bertahan di Bukit Lawang.

Memiliki kekerabatan dekat dengan manusia dan cerdas membuat kera besar seperti Orang utan selalu menjadi incaran para wisatawan untuk dilihat.

Gunung Leuser di Aceh dan Sumatera Utara adalah benteng terkuat bagi kera besar berwarna merah,Orang utan Sumatera. Jumlah mereka masih cukup berlimpah dibandingkan di kawasan lainnya di Sumatera. Orang utan menyukai tempat-tempat dimana makanan melimpah, yaitu pucuk-pucuk pepohonan di hutan dataran rendah termasuk rawa-rawa. Bukit Lawang dengan bentang alam berbukit-bukit termasuk habitat yang disukai orang utan. Dibandingkan dengan saudaranya di Kalimantan, Orang utan Sumatera berukuran sedikit lebih kecil, dengan warna rambut lebih terang, lebih tebal dan lebih panjang. Betina dewasanya memiliki berat berkisar 30-40 kiligram sedangkan jantan mampu mencapai 80 kilogram. 


Bukit Lawang mempunyai satu orang utan legendaris yang sangat populer di kalangan pemandu wisata dan wisatawan, bahkan disebutkan juga dalam buku Lonely Planet Indonesia. Orang utan itu adalah Mina, seekor betina alumnus pusat rehabilitasi. Mina dikenal dengan sifat agresifnya, yaitu suka menyerang pemandu dan wisatawan untuk meraebut makanan yang dibawa. Tidak sedikit korban gigitan atau cakarannya. Para pemandu yang memasuki hutan harus ekstra waspada untuk menghindari orang utan betina ini. Pernah saya sekali bertemu dengan Mina, ketika dia menghadang petugas pembawa makanan tepat di jalan masuk menuju lokasi pemberian makan orang utan. Petugas ini merayunya dengan memberi sebuah pisang. Dia tidak bergeming sampai akhirnya bisa membawa satu tandan pisang.  Walaupun demikian Mina adalah cerminan dari kecerdasan orang utan. Dia dapat merancang menyergapan dengan baik, tahu tempat-tempat dan waktu terbaik untuk menghadang. Dia dapat mengenali wajah pemandu mana yang takut kepadanya sehingga dapat menjadi sasaran empuk untuk diserang atau pemandu berani yang harus dihindari. Dia mampu memilih sasaran mana yang harus disergap karena kemungkinan membawa makanan. Di sisi lain, Mina adalah gambaran dampak negatif dari pariwisata. Agresifitas seperti itu muncul akibat pemberian makanan terlalu sering demi memancing kehadiran orang utan agar terlihat oleh wisatawan.  
    
Penduduk lokal Bukit Lawang sedang menyadap pohon karet yang merupakan komoditas pertanian di Bukit Lawang. 


Secara adminstrasi pemerintahan, Bukit Lawang terletak di Kabupaten Langkat yang dahulu merupakan salah satu kerajaan Suku Melayu di tanah Sumatera. Namun di wilayah pedalaman seperti pada tepian Sungai Bahorok, hidup Suku Karo dengan memiliki keahlian sebagai petani. Suku inilah menjadi mayoritas penduduk lokal Bukit Lawang, selain juga terdapat Suku Jawa. Orang-orang Jawa di sini merupakan bagian dari pekerja perkebunan besar, karet dan kelapa sawit, berdatangan sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Hingga kini kebun-kebun karet masih menjadi salah satu mata pencaharian utama penduduk lokal Bukit Lawang, disamping  bekerja di perkebunan Kelapa Sawit. 

 Pohon Meranti besar penghuni hutan Bukit Lawang

Hutan daratan rendah perbukitan di kawasan Bukit Lawang merupakan tempat terkaya dalam hal keaneragamanan hayati. Ratusan atau bahkan ribuan spesies dari berukuran kecil seperti serangga hingga mamalia besar seperti harimau menghuni tempat ini. Pepohonan penyusun hutan bukan hanya mampu mencapai ukuran raksasa melainkan juga bernilai ekonomi tinggi seperti aneka jenis meranti, keruing, merbau. Memandang pohon-pohon besar tersebut yang dahulu pernah melimpah di hutan Sumatera, menyentuh dan membelainya menimbulkan perasaan menakjubkan dan kesedihan. Takjub akan kemampuan pohon ini tumbuh dan memberi makan serta naungan bagi mahluk hidup lain. Sedih karena pohon-pohon ini jumlahnya makin sedikit dan sebentar lagi bisa punah. 

 Kedih, monyet pemakan daun, umum berkeliaran di sekitar Sungai Bohorok.

Pohon-pohon lebat di hutan Bukit Lawang menyediakan makanan melimpah, berupa buah dan dedaunan, menjadi surga bagi primata. Selain orang utan, kera berukuran sedang yaitu Siamang dengan warna hitam dan wau wau tangan putih, menjelajahi hutan ini. Mereka sulit dilihat karena mudah tersamar di kanopi pepohonan, namun suaranya yang melengking dan kencang sering terdengar. Tidak demikian halnya dengan primata lainnya, yaitu Kedih (sejenis monyet pemakan daun), beruk dan monyet ekor panjang. Mereka lebih mudah tampak bermain di sekitar Sungai Bohorok. 


Trekking atau jelajah hutan, kegiatan populer di kalangan wisatawan Bukit Lawang 


Bukit Lawang menyediakan ruang begitu banyak bagi kegiatan jelajah hutan, dari mulai setengah jam sampai beberapa hari perjalanan. Para wisatawan dalam menikmati dan merasakan suasana hutan, melintasi pepohonan besar, mengamati burung-burung, menemukan jejak-jejak mamalia besar dan bila beruntung bertemu dengan primata. 

 Berarung jeram dengan menggunakan ban dalam yang diikat menjadi satu rangkaian.


Sungai Bohorok merupakan tempat bermain yang sangat menyenangkan. Mengarungi jeram-jeram menggunakan ban dalam atau dikenal dengan istilah tubing adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Ban-ban ini bisa dirangkai menjadi satu dan ditumpangi menjelma menjadi suatu perahu sederhana. Atau dapat pula digunakan secara individu. Sore hari adalah waktu terbaik bermain air baik itu tubing, mandi-mandi atau terjun dari tebing ke sungai. Saya menikmati keindahan, keceriaan, tanpa ada rasa bosan atau capai hingga cahaya oranye matahari terbenam menyuruh untuk keluar dari sungai.

Riak-riak indah aliran Sungai Bohorok, pemberi kehidupan sekaligus pembawa bencana.

Tahun 2003, Sungai Bohorok menunjukkan sisi wajah lain, yaitu kemurkaan. Banjir bandang menerjang Bukit Lawang, menyapu 400 bangunan di tepi sungai, mengambil 129 nyawa dan menelan lebih dari 100 orang yang hingga kini belum diketemukan. Jebolnya bendungan-bendungan yang terbentuk pada lembah-lembah sempit akibat pohon-pohon yang terseret longsor, membawa akumulasi aliran air deras beserta ribuan gelondongan kayu. Penginapan, warung makan, toko-toko cinderamata, rumah penduduk disapu bersih dari tepian sungai. Namun tidak butuh waktu terlalu lama, turis mulai berdatangan lagi, penginapan dan fasilitas pariwisata lainnya tumbuh kembali. Sepuluh tahun berlalu, tepian Sungai Bohorok sudah penuh bangunan dan wisatawan berjubel. Tumbuh spontan tanpa ada pengaturan, tanpa mempertimbangkan dampak negatif ke lingkungan. Sepertinya pelajaran dari alam  sudah dilupakan.  

Comments

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas