Wakatobi- Pulau Wangi Wangi, Kaki sebagai Pusat

Indonesia adalah negeri kepulauan dikelilingi lautan luas. Mudah sekali kita lupa akan hal ini, terutama seperti saya yang tinggal di bagian dalam pulau pada daerah  pegunungan. Dalam lautan ini terkandung kekayaan alam luar biasa. Ikan berbagai ukuran dan gradasi warna berenang-renang berpadu dengan indahnya terumbu karang, liukan gemulai padang lamun, jalinan tumbuhan mangrove, bersama beraneka biota laut lainnya. Dengan lingkungan seperti itu, suku-suku yang mendiami daerah pesisir menyesuaikan diri dan mengembangkan kebiasaan masing-masing, menciptakan begitu beragam kekhasan budaya. Untuk melihat semua ini, tidak ada tempat yang lebih sesuai selain daripada bagian timur Kepulauan Indonesia tepatnya dimana Laut Sulawesi dan Laut Banda terhampar. 


Pulau-pulau kecil pertama yang saya kunjungi pada wilayah Indonesia Timur adalah Kepulauan Wakatobi. Saya pertama kali ke sini pada tahun 2010 berhubungan dengan pekerjaan. Sejak itu hingga kini hampir setiap tahun saya mendatangi tempat ini. Nama Wakatobi sendiri berasal dari singkatan empat pulau besar yang ada yaitu Wangi wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Pulau-pulau ini merupakan gugusan karang dikelilingi oleh terumbu karang hidup yang begitu luas. Terumbu ini menjadi tempat berlindung dan mencari makan ribuan jenis ikan dan biota laut. Sumber daya alam melimpah mengundang orang-orang untuk berdatangan dan memanfaatkannya. Tidak heran di sini terdapat populasi besar suku Bajo atau dikenal suku laut, tersebar dalam 5 kampung. Laut begitu jernih penuh dengan terumbu karang dan biota laut membuat tempat ini surga bagi penyelam. Namun bagi saya Wakatobi lebih dari sekedar itu saja. Karakter dan budaya masyarakat pada 4 pulau besar yang berbeda-beda, membuat tempat ini menjadi tidak pernah membosankan, walaupun untuk mencapainya memerlukan sedikit perjuangan. Pada bagian pertama ini saya akan berbagi cerita mengenai salah satu dari pulau besar tersebut, yaitu Wangi Wangi. 


Perairan dangkal yang luas mengelilingi Pulau Wangi Wangi

Deru pesawat Express Air berkapasitas 32 tempat duduk, tidak mampu mampu menyembunyian gairah saya yang duduk di dalamnya, ketika pesawat memasuki Kepulauan Wakatobi, setelah terbang satu jam dari Makassar. Mata terasa sejuk memandang keindahan dari jendela pesawat. Pulau Wangi Wangi terlapis oleh kehijauan vegetasi dengan beberapa bagian dibatasi oleh pantai-pantai pasir putih. Perairan dangkal mengelilingi pulau ini berwarna kehijauan sebelum terjun ke laut dalam berwarna biru tua, dibatasi oleh dinding atau lereng berselimut terumbu karang. Tidak seperti pulau-pulau kecil yang pernah saya lihat, perairan dangkal ini sangat lebar sekali. Warna hijau berpadu dengan keabu-abuan sangat luas, membentuk lapisan tebal tidak beraturan pada beberapa tepian pulau. Terkadang terdapat 'lubang biru' di tengah lapisan, tempat air menjadi dalam. Ketika pesawat berputar sebelum mendarat, tampak Pulau Oroo yang hijau lebat dan Sumanga, paduan antara kelebatan vegetasi dan hamparan pasir putih luas. Sementara pulau mungil Matahora, seolah terapung tenang tidak jauh dari pulau utama. Ketiga pulau ini merupakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni di dekat Wangi wangi. Pulau satelit lainnya dan terbesar adalah Kapota. di situ terdapat pemukiman masyarakat cukup padat. Pulau Wangi Wangi sendiri mempunyai luas 156,5 km2 dengan bentuk agak bulat. 


Semua ini adalah adalah situasi pada tahun 2010 dan sekarang sudah banyak berubah. Pesawat ke Wakatobi kini menggunakan ATR berkapasitas 70 tempat duduk. Lebih besar, lebih nyaman, namun saya merasa kehilangan pesona pemandangan dari udara yang dulu saya selalu nikmati. Perubahan rute penerbangan, yaitu sekarang dari arah Kendari, mengurangi cukup banyak keindahan pemandangan. Tahun 2014, saya menginjakkan kaki ke Pulau Sumanga. Saya kebingungan mencari hamparan pasir putih luas yang selama ini terlihat dari udara. Pengemudi perahu yang saya sewa berkata, " sudah berkurang banyak pak karena pasirnya ditambang untuk keperluan konstruksi bangunan". Saya terhenyak dan tiba-tiba merasa sedih.

Pemukiman tua di salah satu sudut Kota Wanci, Pulau Wangi Wangi

Dalam legenda masyarakat Wakatobi, 4 pulau besar adalah bagian-bagian tubuh dari Bidadari atau Seorang Puteri. Pulau Wangi Wangi terletak di paling utara, merupakan bagian kakinya. Nama ini sendiri ditafsirkan dalam beberapa arti. Ada berpendapat berasal dari bau harum dari suatu benda yang dibakar. Lainnya mengatakan berasal dari bahasa Mindanao terkait dengan perilaku suka menolong kepada yang membutuhkan perlindungan. Walaupun posisinya adalah kaki, Wangi Wangi justru saat ini menjadi pusat perkembangan pembangunan Wakatobi. Bandara udara Matahora berada di pulau ini, menjadi akses utama Wakatobi. Pada pembentukan Kabupaten Wakatobi tahun 2003 menetapkan kota Wanci di Wangi Wangi sebagai ibukota. Kota ini pun kemudian berkembang sebagai pusat fasilitas Wakatobi.

Keceriaan bermain di laut anak-anak pada hari libur


Cerita-cerita rakyat mengisahkan bahwa penghuni Pulau Wangi Wangi berasal dari Suku Butuni (Buton), Melayu, Bajo, bahkan Maluku. Jika menengok sejarah wilayah tersebut pada beberapa abad lalu maka hal ini bisa dipahami. Hingga abad ke 20, Wakatobi dan sebagian daerah Sulawesi Tenggara termasuk dalam pengaruh Kerajaan Buton. Mereka adalah para pelayar dan pedagang antar pulau, mensuplai berbagai komoditas ke Makassar dan wilayah Indonesia lainnya bahkan hingga ke Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Cina. Konon 4 daerah di Wangi Wangi, yaitu Tindoi, Liya, Mandati dan Kapota merupakan tempat tinggal dari keturunan-keturunan awal penghuni pulau yang tiba di sini pada abad 15. Dua abad kemudian pulau ini, kedatangan para pengikut Raja Hitu dari Maluku bernama Tulukabessi pada abad 17, berdiam di Patuno. Selain itu kawasan ini pada masa lalu juga sering dihampiri kapal-kapal perompak dari timur dan Mindanao-Filipina. Masuk akal jika akhirnya suku-suku ini meninggalkan jejak di pulau ini. 

Sebutan sebagai Kaki sang Bidadari sendiri dimaknai sebagai rajin berjalan mencari sumber penghasilan di kampung lain untuk dibawa ke kampung sendiri. Hal ini sesuai dengan karakter penduduk Wangi Wangi, kebanyakan adalah pedagang antar pulau, merantau dengan berlayar menggunakan perahu besar.

Perairan dangkal luas di sekitar Wangi Wangi

Matahari belum terlalu terik, saat perahu kapal cepat yang saya tumpangi dari Pulau Kaledupa memasuki daerah Mola-Wangi Wangi. Laju perahu melambat, kecepatannya menurun pelan sekali. Laut yang menutupi tempat ini seolah pergi entah kemana. Perahu saya berusaha meliuk-liuk mengikuti alur-alur yang terisi air cukup dalam. Jangan tanya dengan kapal penumpang kayu berukuran besar di belakang. Langsung berhenti dan terpaksa memindahkan penumpang ke perahu-perahu kecil yang berdatangan menghampiri. Air laut sedang menyurut pagi ini. Hamparan area terpengaruh lebar sekali mungkin hingga ratusan meter. Nampak sampan-sampan kecil sudah mulai ramai berkumpul pada daerah surut ini. Para nelayan menjejakkan kakinya lumpur, pasir, karang atau padang lamun. Ada yang terendam sepaha, ada yang sedengkul, ada yang semata kaki, ada yang tidak terendam sama sekali. Mereka mengais-ngais dengan tangan untuk mencari berbagai biota laut. 

Karakteristik daerah pasang surut yang luas merupakan berkah tersendiri bagi warga Wakatobi. Pada masa lalu, ketika para lelaki berkeluarga keluar merantau, mereka meninggalkan keluarga hingga bulanan atau bahkan tahunan. Bekal yang mereka tinggalkan untuk para istri menghidupi keluarga tidaklah mencukupi. Untuk bisa bertahan hidup maka para wanita ini menangkap biota laut pada areal surut atau dikenal dengan istilah 'meti meti'. Sasaran utamanya adalah gurita dan hewan laut lunak berukuran kecil lainnya. Begitu kayanya perairan ini sehingga para wanita bisa mengandalkan dan hidup dari sini. Tentu kini hal tersebut sudah tidak terjadi lagi. Mekanisme pengiriman biaya hidup atau uang sudah ada dalam bentuk canggih dan cepat seperti lewat bank atau kantor pos. Sementara area pasang surut sendiri juga sudah tidak sekaya dulu lagi. Biota laut penghuninya sudah semakin sedikit semakin jarang. 

Wanita tua dari Liya Togo

Pada sisi selatan Pulau Wangi Wangi terdapat kampung lama di daerah perbukitan bernama Liya Togo. Beberapa rumah kayu masih berdiri di dalam kampung yang sesungguhnya masuk ke dalam kompleks pertahanan dalam bentuk benteng. Pada masa jayanya, Liya berada dalam pengaruh Kerajaan Buton. Empat lapisan tembok pertahanan mengelilingi tempat ini dengan 12 pintu masuk dan beberapa meriam terpasang. Kini tinggal reruntuhan tembok yang nampak dan satu dua meriam berserakan. Hanya sebuah mesjid tua tetap berdiri tanpa lelah pada salah satu sudutnya. Saya lebih suka meninggalkan kendaraan bermotor di salah satu tempat, kemudian menjelajah masuk ke jalan-jalan sempit. Suasana kampung akan lebih terasa. Turun ke bagian bawah, di pesisir maka kita memasuki daerah  Liya Bahari. Di sinilah pusat kegiatan para nelayan budidaya  alga (kita mengenalnya dengan rumput laut, padahal secara ilmiah yang dibudidayakan adalah jenis-jenis alga). Mereka menyulap perairan ini penuh dengan pelampung-pelampung kecil dari botol akua atau stirofoam. Pemandangan laut jernih terusik terutama bagi penikmat alam. Pelampung ini memegang erat bentangan tali yang berisi deretan alga agar tidak tenggelam. Saya ke sini biasanya untuk naik perahu menuju ke pulau-pulau kecil tidak berpenghuni yang ada di sekitarnya.    

Kawasan Kampung Bajo di pesisir Wangi Wangi

Sore hari jika sedang tidak ke pasar sore di Wanci (akan saya kisahkan khusus sendiri), maka yang saya lakukan adalah bermain ke Mola. Tempat ini merupakan kampung Suku Bajo atau kita mengenalnya dengan Suku Laut. Orang-orang Bajo ini adalah pelaut sejati karena mereka hidup dari menangkap apapun yang ada di laut dan selalu mengikuti sumber daya laut itu berada. Dimana ada terumbu karang di situlah hidup suku Bajo. Suara sepeda motor, orang-orang ngobrol dan teriakan anak-anak memenuhi Mola setiap saya memasuki kampung. Biasa saya melewati tempat ini untuk naik atau turun kapal ke pulau besar lain. Namun sore hari adalah waktu paling tepat untuk bersantai. Cuaca sudah tidak terlalu panas, aktifitas masyarakat lebih ramai, dan dapat bonus melihat matahari terbenam. Sebenarnya pemukiman di Mola sudah tidak terlalu mencerminkan karakteristik Suku Bajo di masa lalu. Sebagian besar rumah sudah berada di darat -dinding beton beratap seng-, hanya pada bagian depan pesisir beberapa rumah panggung di atas air masih bisa dijumpai. Namun Mola tetap pilihan menarik untuk mengisi waktu di Pulau ini. 

Ketika hujan badai menimpa Wangi Wangi

Badan kering dan segar di pagi hari setelah mandi, dengan cepat akan berkeringat begitu beraktifitas di luar. Seperti itulah cuaca di Wangi Wangi, hal lazim ditemukan di pulau-pulau kecil. Pagi hingga siang saya lebih suka berada di dalam ruangan kecuali bila sedang menjelajahi tempat, kampung atau pulau tertentu. Sore hari, ketika angin laut berhembus sejuk, baru waktu tepat untuk berjalan-jalan menikmati suasana pulau. Pada musim hujan situasinya berbeda. Gumpalan-gumpalan awan hitam atau kelabu berarak di langit dan menumpahkan hujan deras. Terkadang diselingi angin badai. Sekalipun diputari perairan dangkal, namun harap diingat Wakatobi berada pada Laut Banda. Pada musim angin timur (Juni-Agustus) dan angin barat (Desember-Februari), laut yang tadinya teduh (tenang) berubah menjadi ganas. Buih-buih putih dari gelombang-gelombang besar menutupi seluruh lautan. Jika seperti ini situasinya membahayakan bagi pelayaran. Jangan menganggap remeh alam ketika sudah mengamuk. Kapal sebesar apapun bisa ditelannya. 

Terumbu karang yang telah hancur akibat kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan

Motto pemerintah Wakatobi adalah 'Wakatobi Jantung Segitiga Karang Dunia'. Terbayang adalah laut penuh terumbu karang yang indah, pantai-pantai berpasir putih, didukung beraneka fasilitas wisata lengkap. Kalau baru pertama kali ke Wakatobi, jangan terlalu berharap lebih. Penginapan, restoran, dan fasilitas penunjang lainnya masih terbatas, demikian juga dengan kualitasnya. Terumbu karang indah pun tidak bisa dilihat dengan cepat, karena kita mendaratnya di Wangi Wangi. Memang Wakatobi memiliki hamparan terumbu karang begitu luas, namun puluhan tahun lalu kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak menggunakan bom, sianida dan jaring dasar menghancurkan semuanya. Baru sekitar sepuluh tahun lalu kegiatan ini berhenti, menyisakan beberapa areal terumbu karang yang masih baik. Banyak tempat kini berada pada tahapan pemulihan menuju ke karang sehat lagi. Wangi Wangi tidak terlalu beruntung karena hanya memiliki sedikit terumbu karang bagus tersisa dibandingkan Pulau Kaledupa dan Tomia. Kita harus menyeberang ke kedua pulau tersebut bila ingin menikmati keindahan dunia bawah air sesungguhnya. 

Para nelayan berangkat memancing pada sore hari di bawah naungan Sang Pelangi

Perairan di Wangi Wangi sekitar Wanci dan Mola adalah tempat sangat ramai, terutama pada pagi dan sore hari ketika perahu-perahu keluar masuk. Saya pernah melayari daerah ini dengan menggunakan perahu motor kecil bodi batang dari Kaledupa. Memasuki perairan Wangi Wangi sore hari suasananya meriah sekali. Beberapa sampan kecil dengan didayung melintas, tidak lama perahu motor kecil lewat, dikejauhan tampak perahu ukuran sedang dan kapal kayu bergerak bersama kapal bagang, menengok ke belakang tiba-tiba sudah ada  kapal nelayan besar yang dibadannya mengangkut sampan-sampan ukuran kecil. Lalu lintas laut ramai sekali tiada henti. Ini belum termasuk kapal penumpang dengan berbagai ukuran mulai dari kapal motor sedang untuk menyeberang ke Pulau Kapota bolak balik tiada henti; kapal cepat dan kapal kayu ke Kaledupa Tomia atau Binongko; serta kapal penumpang besar ke Kendari, Bau Bau atau Makassar. Selain itu masih ada kapal-kapal barang antar pulau lalu lalang dari model pinisi hingga kapal tonase besar.

Orang Bajo menangkap ikan dengan teknik tradisional

Kecantikan Gadis Bajo Mola

Rumah 'Huma Lakapala, sendirian dalam pelukan keindahan Sang Laut

Walau bagian bawah laut Wangi Wangi sebagian telah rusak tetapi bau harum itu tetap ada. Setidaknya ini menunjukkan bahwa pulau ini tetap merupakan bagian dari alam di luar kendali manusia. Dan alam  terkadang menunjukkan keindahan dengan cara tidak terduga. Suatu hari saya kembali terlalu dari acara di Pulau Kapota. Untung kami sudah memesan perahu sebelumnya guna mengantar kembali ke Wanci. Perahu berjalan dengan pelan menembus keheningan malam di atas laut tenang. Tidak terdengar suara selain riak air dan suara lembut mesin dari perahu kami. Mungkin hanya kami saja yang jalan malam itu. Saya sengaja duduk di luar pada atap perahu, mencari kesejukan udara malam. Langit begitu cerah dan ketika menengok ke atas, saya terpana. Taburan bintang-bintang begitu banyak, begitu terang, berpadu 'Jalan susu' yang berpendar. Kelap kelip, ada bintang berwarna putih, ada kemerahan, ada kebiruan, sungguh luar biasa. Mata saya tidak bisa lepas dari langit begitu menakjubkan malam itu hingga berlabuh di daratan. Ini adalah satu dari sekian pengalaman saya di Wangi Wangi yang tidak akan terlupakan. Ingin rasanya wangi itu tetap ada terus, walau tidak tahu bisakah ini terpenuhi. Karena pembangunan atas nama kemajuan tidak mengenal hal-hal romantis seperti itu.  

Comments

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: Tshirt Dakwah Islam

    Mau Cari Bacaan yang cinta mengasikkan, disini tempatnya Cinta Karena Allah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Danau Anggi (bagian 2) - Keindahan Tanpa Batas

Tangkahan, Kisah Suatu Hutan Tropis

Danau Anggi (bagian 1)- Keindahan Tanpa Batas